“Hana, kamu dimana , nak. Kok udah gelap masih belum balik?”
Suara khawatir Bibi Yi terdengar dari seberang sana membuat Hana menggigit bibirnya. “Maaf, Bi. Tadi Hana ga enak badan trus agak pusing, jadi istrirahat bentar dulu.”
“Oh syukurlah. Tapi beneran kamu ga apa-apa kan? Udah makan? Ini udah jam 8, lho!”
“Udah, Bi. Ini lagi makan. Bibi sama Yuri udah makan?” Hana sedikit kaget karena sedari tadi dia belum melihat jam.
“Udah, kamu makan aja dengan tenang. Yuri juga lagi nonton kartun di tivi. Tadi sempat nanyain kamu tapi Bibi bilang kamu lagi ada urusan bentar. Untungnya banyak kartun, jadi dia ga rewel.”
Setelah Bibi Yi berkata hati-hati saat pulang, Hana menutup telponnya. “Terima kasih ya, Kak. Udah repot anterin ke rumah sakit.”
Aryo memandang Hana yang terlihat kurus dan ringkih. Ingatannya kembali mengingat perkataan dari dokter yang menangani Hana saat di rumah sakit tadi.
'Pasien kelelahan dan terlihat ada tanda-tanda tekanan. Apakah Bu Hana sedang punya masalah atau punya trauma sebelumnya?'
“Ga masalah, Han. Kamu habiskan makannya ya, biar ada tenaga. Dan ini jerukmu tadi, hampir aja ketinggalan.”
Mau tak mau Hana tersenyum kecil. Bisa-bisanya Aryo ingat membawa jeruknya saat dia pingsan tadi. Lagian jeruk itu juga belum dibayar kan? Apa Aryo yang membayarnya.
“Ini kakak yang bayar? Aku ganti ya?” Hana buru-buru membuka tasnya.
“Udah ga usah diganti, ini digratisin sama supermarket tadi, karena kamu pingsan gara-gara bau amis ikan.” Balas Aryo cepat.
Dan Hana yakin seyakin-yakinnya jika Aryo hanya membual. Lagi-lagi dia tak mampu menahan senyum. Aryo yang mendapatkan rejeki nomplok karena candaannya tidak garing ikut tertular senyum Hana yang sangat manis.
“Ternyata Kak Aryo bisa bercanda juga.”
“Eh, kamu ga tau aku humoris?”
Hana menggeleng dan menjawab jujur, “Enggak, karena dulu Kak Aryo galak sama aku…eh, maaf aku ga bermaksud..” Hana terlihat panik. Sikap Aryo yang sangat berbeda, jauh lebih hangat membuat dirinya hampir lupa diri.
Aryo menundukkan kepalanya, tertawa miris. Sebelum Hana sadar dia sudah kembali membuat ekspresinya lebih rileks, “Mungkin karena pengaruh umur kali, Han. Jadi lebih sabaran sekarang. Udah cepat makan, biar ga lemes lagi kayak tadi. Kamu tuh ringan banget lho, Han!”
Wajah Hana kembali memerah. Padahal dia sudah sempat lupa dengan kejadian tadi malah diingatkan lagi. “Iya, Kak.”
Setelah dokter berkata jika tensi darah Hana rendah begitupun gula darah dan kolesterolnya, Aryo langsung membawa Hana ke restoran padang yang cukup besar. Memesan segala menu yang entah bisa dihabiskan Hana atau tidak.
Aryo hanya memperhatikan Hana makan yang ternyata cukup cepat juga untuk ukuran seorang wanita. Bibirnya mengulum senyum geli. Sebenarnya banyak yang ingin dia tanyakan pada Hana namun momen seperti ini saja sudah cukup buat Aryo saat ini.
‘Pelan-pelan, Ar. Pelan-pelan.’
“Aku cuci tangan dulu ya, Kak.”
Aryo tersentak dari lamunannya. Ternyata Hana sudah menghabiskan makanannya tanpa sisa dan hal itu membuat Aryo tersenyum puas. “Iya.”
Setelah Hana kembali Aryo sudah berdiri dan mengambil jaket yang dia gantungkan disandaran kursi. Tanpa beban dia menyampirkan jaket itu ke bahu Hana. Tingkahnya sontak membuat Hana membeku. Aroma parfum Aryo melingkupi tubuhnya.
“Biar ga masuk angin.”
“Makasih, Kak.” Hana menarik jaket itu lebih rapat. Membuat Aryo lagi-lagi tersenyum seperti orang gila.
“Yuk!”.
Aryo mencuri-curi pandang kearah Hana saat wanita itu melihat pemandangan jalanan diluar jendela mobil. Tarik nafas. Buang. Tarik lagi. Buang.
“Han…”
Hana menoleh ke Aryo saat namanya disebut. “Iya, Kak?”
“Kamu…selama ini kemana aja? Ibu dan…aku nyariin, lho?” kali ini Aryo menoleh penuh ke Hana dan kembali lagi melihat jalan.
Hana tidak langsung menjawab. Wanita itu meremas-remas jemari tangannya. Beberapa kali Aryo melihat Hana menarik nafas dan menelan ludahnya. Aryo menunggu dengan sabar.
“Tante Ika dan Om Yudha, apa kabar, Kak?” Hana menolak membicarakannya. Dan Aryo langsung paham. Dia tidak akan mendesak lagi.
“Baik, semua baik. Kamu ga nanya kabar aku, Han? Masa Ayah sama Ibu aja yang ditanya.”
Hana tersenyum malu, dengan polos membalas, “Kan, Kak Aryo yang sakit cuma lututnya doang…”
Aryo tertawa dan hal itu tak luput dari mata Hana. Ada desiran aneh saat mendengar pria yang selalu sinis dan kasar padanya ini tertawa lepas. Aryo terlihat semakin tampan dimatanya. Mantan tunangannya memang mempesona.
“Kamu udah pinter ngeledek ya! Ini sakit banget lho, Han! Udah membiru lho, eh hijau deh!”.
Hana tersenyum geli melihat Aryo mengangkat ujung celana, memperlihatkan bekas memar dilututnya, setelah itu dia melempar pandangannya kembali ke luar. Untunglah jarak rumah sakit tidak terlalu jauh dari hotel tempat Hana menginap. Dan akhirnya mereka sampai.
“Kamu nginap disini berapa lama, Han?”
Mata Hana melihat hotelnya sebelum menjawab, “Tiga hari, Kak. Ini udah hari kedua.”
Aryo manggut-manggut sok mengerti. Padahal beribu pertanyaan sudah mau meledak di kepalanya.
Kenapa Hana kembali ke Jakarta?
Kenapa dia tidak tinggal dirumah lama neneknya?
Apa dia sudah menikah?
dan
Siapa Yuri?
“Kalau gitu aku pamit dulu ya, Kak. Makasih banyak bantuannya hari ini. Nanti aku ganti biaya rumah sakit dan makanannya.” Hana beranjak keluar mobil sambil membawa bungkusan makanan yang sengaja Aryo beli untuknya.
“Kalau mau ganti, berarti kamu harus tau nomorku dong?”, Aryo ikut keluar dan melancarkan modus mautnya.
“Eh, iya..”
“Sini hapenya!” Aryo mengambil ponsel Hana dan dengan lancar mengetik nomornya sendiri dan menghubungkan panggilan. Tidak lama ponselnya bergetar dan dengan puas dia menyimpan nomor Hana. “Ini nomorku, simpan ya, jangan dihapus trus kasih nama.”
“Iya, Kak.” Hana menerima ponselnya kembali.
“Udah sana. Aku liatin sampe kamu masuk.” Aryo bersandar dimobilnya dengan tangan disilangkan.
Hana mengangguk dan tersenyum malu-malu sebelum berbalik dan masuk ke dalam hotel.
Setelah Hana menghilang kedalam lobi hotel, Aryo buru-buru langsung masuk kedalam mobil dan memegang dadanya yang berdebar sangat kencang.
“Ya ampun, dapat serangan bertubi-tubi…”
Entah berapa kali Hana tersenyum padanya hari ini. Walaupun hanya senyuman samar dan terkesan malu-malu namun efeknya sangat dasyat untuk Aryo. Wajahnya kini sudah memerah dan pria bodoh itu menutup wajahnya sambil teriak-teriak tidak jelas.
“Hana….kamu gemesin banget sih! Kan jadi makin sukaaaa…!”
Tok!
Tok!
Jendela mobilnya diketuk. Aryo kembali menguasai diri. Tampangnya kini kembali ke setingan awal. Dengan santai dia menurunkan jendela mobil, “Ya, kenapa?”
“Pak, jangan parkir disini. Nanti mobil lain tidaks bisa masuk.”
Aryo mengamati sekitarnya dan benar saja posisi mobilnya menghalangi pintu masuk hotel. “Oh iya, maaf!” Dan Aryo kembali melihat kearah hotel dan tersenyum. Perlahan dia memajukan mobilnya dan menjauh pergi dengan hati yang berbunga-bunga.