"Harus ya? Apa tidak bisa diganti Surat Keterangan Lahir dari bidannya, bu? Kalau itu saya ada...nanti difotokopi."
"Tidak bisa bu Hana, maaf. Tapi sesuai peraturan yang dibuat Kepala Yayasan yang baru, pendaftar harus melampirkan fotokopi Akte Kelahiran dan memperlihatkan yang asli pada pihak sekolah."
Sungguh, salah satu guru yang memang sudah mengenal Hana tidak tega melihat wajah lesu wanita itu. Tapi apa boleh buat. Kepala Yayasan yang sekarang begitu ketat dengan peraturan.
Ada sih beberapa sekolah yang masih menerima Surat Lahir tapi lokasinya terlalu jauh hanya untuk TK. Dan Yuri sudah sangat bersemangat untuk masuk sekolah. Gadis kecil itu pasti kecewa jika Hana membatalkannya.
"Ya sudah bu...apa boleh buat. Terima Kasih ya, bu. Permisi." pamit Hana.
"Sama-sama bu Hana. Sekali lagi saya minta maaf."
Hana hanya membalas dengan senyum dan anggukan samar.
Sampai diluar, Hana kembali berbalik dan memandang bangunan yang dia kira bakal menjadi sekolah putrinya. Desahan lelah dan kesal pun terhembus.
"Ck...kenapa juga Kepala Yayasan harus ganti pas Yuri mau masuk..." gerutunya sambil berjalan kearah parkiran motor.
Hana pulang dengan membawa kembali berkas-berkas Yuri.
Rika. Mahasiswi yang sedang liburan dan pulang kekampung. Hitung-hitung memperbaiki gizi katanya.
Gadis manis itu sekarang sedang bermain dengan Yuri dan seekor kucing berbulu setengah lebat. Hasil perselingkuhan kucing persia Pak RT dengan joni, si kucing kampung yang suka berkeliaran didekat Panti Asuhan.
"si Kutil makin gede makin lucu ya, Dek?"
Yuri manggut-manggu dengan semangat. "Iya Kak Lika...lucu banget deh...Adek suka. Tapi mamanya udah ga cinta cinta lagi sama joni..."
Rika takjub. Apa ini. Inikah wujud anak gen alpha yang sebenarnya. TK aja belum udah tau cinta cinta.
"Ee...emang adek tau cinta itu apa?" tanya Rika penasaran.
"Tau dong!"
Bibi Yi yang sudah memperhatikan mereka dari tadi jalan mendekat dan duduk disebelah Rika. Sama-sama penasaran.
"Cinta cinta itu kalo cowok sama cewek ketawa-ketawa beldua, bicik-bicik tlus dekat-dekat."
Tawa Rika langsung pecah dan Bibi Yi mengurut dada mengucap syukur. Untung Yuri tidak berpikir jauh. Mulai malam ini Bibi Yi akan melarang sinetron diputar di Panti. Nenek Dana harus nurut dan tidak boleh membantah. Padahal Bibi Yi dan Hana juga suka nimbrung. Nonton bareng, bahas bareng, baper bareng, emosi bareng.
Suara motor Hana terdengar mendekat. Ketiga perempuan berbeda generasi itu langsung menoleh.
Yuri yang tahu bundanya pulang langsung bangkit berlari kearah motor Hana yang sudah berhenti.
Yuri menunggu Hana selesai mematikan mesin dan menggantung helm, baru gadis kecil itu melompat kepelukan bundanya.
"Bunda gimana? Adek jadi sekolah kan?"
Hana tersenyum dan menyelipkan anak rambut Yuri kebalik telinganya. Dengan gemas dicubitnya pipi gembil itu lembut.
"Iya dong, Dek...masa ga jadi. Tapi syaratnya Adek harus bobo siang sekarang, ya?"
Yuri langsung merosot turun dari gendongan Hana dengan cepat sampai membuat Hana kaget.
"Dek Yuri jangan gitu lagi, bahaya!"
Yuri tertawa sambil berlari kearah Panti dan berbalik saat sudah dekat pintu.
"Bunda kalo malah gitu milip Om Ganteng!" teriak Yuri dan tertawa. Belum sempat Hana membalas putrinya itu sudah masuk kedalam Panti.
Mood Hana semakin memburuk saat diingatkan tentang Valdie. Hana meletakkan berkas-berkas Yuri keatas saung dengan sedikit membanting. Rika memandang Bibi Yi yang mengangkat bahu tanda tidak tahu.
"Kenapa Hana? Ada masalah tentang sekolah?"
Hana menghela napas lelah dan ikut duduk, "Iya, Bi. Harus pakai Akte Kelahiran katanya."
"Cari sekolah lain aja mba, kalau disitu susah..." saran Rika. Bibi Yi juga mengangguk setuju.
"Tadinya sempat mikir gitu, Ka. Tapi sekolah lain kan lumayan jauh..." Hana menarik napas sebelum melanjutkan.
"...mana tadi mba baru sadar kalau Surat Keterangan Lahir Yuri ga dicap sama bidannya."
"Ya ampun...ada-ada aja.." Bibi Yi menyesali keteledoran mereka. Kehamilan yang tadinya tidak diinginkan, kelahiran yang terburu-buru dengan biaya yang pas-pasan membuat mereka tidak memperhatikan hal-hal penting seperti ini. Sudah kejadian baru sadar.
"Trus sekarang gimana, mba?"
Hana terdiam. Sepanjang jalan pulang dia sudah memikirkan segala cara. Namun tetap buntu. Hingga saran dari Rika sampai ketelinganya.
"Kenapa mba Hana ga balik ke Jakarta lagi aja?"
.
.
Valdie terus berjalan lurus tanpa memperdulikan orang-orang yang didominasi paruh baya terbungkuk-bungkuk menyambutnya dan terus berbicara penuh pemujaan dan penjilatan.
Dasar mental kacung tetap saja menjadi kacung walau sudah didandani dengan jas dan dasi mahal.
Valdie tiba-tiba berhenti. Tubuhnya berputar kebelakang pelan dengan kesombongan yang sangat terpancar.
"Anda semua tahu jika saya paling tidak suka dengan penjilat. Jadi diamlah." dan Valdie berjalan menjauh meninggalkan orang-orang yang membeku dan bingung apakah berhenti atau tetap mengikuti Valdie dan terus menjilat tanpa rasa malu.
Om Indra yang ada dibelakangnya tersenyum puas. Mata tuanya menangkap wajah-wajah koruptor itu memucat seperti mau digantung. Senang rasanya saat Valdie menghubunginya tadi pagi. Penantiannya berakhir.
Bayangan hari pensiun yang diisi dengan acara memancing sudah menari-nari dimatanya.
Saatnya putra mahkota itu mengambil alih apa yang memang menjadi kuasanya.
Bocah jenius berhati kejam yang lebih memilih bermain-main dengan kehidupannya.
Om Indra yang sedikit memberi jarak dibelakang memandang bangga pada punggung tegap Valdie.
Mampus para penjilat itu sekarang.
Valdie berhenti tepat didepan lift. Pria muda yang ditugaskan menjadi asistennya memencet tombol lift kelantai 3. Lantai khusus ruangan CEO perusahaan.
Saat suara dentingan lift terdengar, para penjilat yang ternyata lebih memilih mengabaikan rasa malunya, mencoba berdesakan agar dapat tempat mengekori Valdie.
"Rapat satu jam lagi. Lebih baik siapkan diri kalian daripada mengikutiku seperti anjing."
Dan pintu lift terbuka tepat saat Valdie selesai bicara. Pria itu masuk dan hanya mengizinkan asisten serta Om Indra bersamanya. Meninggalkan wajah-wajah ketakutan, tersinggung, sinis dari kumpulan manusia-manusia yang akan menerima hukuman matinya nanti.
Begitu pintu lift tertutup,Valdie menggeram dan mendengus jijik.
"Om Indra, Kau ini mati rasa atau apa?. Mampu bertahan bersama orang-orang gila itu. Semenit lagi disana, aku rasa aku akan muntah."
Om Indra terkekeh. "Mereka begitu karena itu kau, Valdie. Padaku mereka sama sekali tidak perduli dan merendahkanku. Berusaha menjatuhkanku dengan cara-cara kotor. Syukurlah Zaki selalu awas dan teliti."
Zaki, pria muda yang sekarang menjadi asisten Valdie mengangguk hormat atas perkataan Om Indra.
"Ruang rapat sudah disiapkan, Pak. Dan ini berkas-berkas penting yang Anda minta." Zaki menyerahkan map putih dengan isi berkas yang cukup tebal kepada Valdie.
Valdie mengambil map berkas itu dan membuka isinya. Mata tajamnya memindai seluruh informasi dan angka-angka yang berjejer rapi disana.
"Bagus. Tarik lagi data terbaru sekarang. "Valdie kembali menyerahkan berkas itu pada Zaki.
"Baik, Pak."
Om Indra tersenyum. "Sudah berkali-kali aku peringatkan, sekarang baru tau rasa mereka". Valdie membalas dengan seringai sinis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar