Sabtu, 11 Oktober 2025

16

Tiga hari sudah berlalu.

Semakin memberikan kepastian dibenak Indi jika dia hanyalah permainan semata. Entah sudah senyum miris yang keberapa kali dia keluarkan hari ini. Menertawai dan mengasihani dirinya sendiri. Yah, kasihan karena dicampakkan dengan cepat dan begitu mudah. Bahkan Sisca saja  masih lebih lama menjabat sebagai gundik CEO nya.

Semenjak hari itu, Reza bahkan tidak meliriknya sedikitpun. Jujur, dalam hati kecilnya dia masih akan menerima dan memaafkan pria itu jika datang dan kembali merayunya. Tapi kenyataannya apa?

Malah sekarang Indi yang mengemis-ngemis dalam hati berharap Reza mau kembali padanya walaupun dia hanya sebagai yang kedua. Indi rela.

Bagaimanapun cintanya pada Reza terlalu besar untuk menutupi otaknya dari untaian kata yang bertajuk 'harga diri'.

Indi memijit pangkal hidungnya dan berharap rasa pusing ini segera berlalu.

Selama tiga hari ini juga Indi menyumpahi dirinya karena sok jual mahal dengan memutuskan Reza. Indi menyesal. Sungguh-sungguh menyesal.

Apa aku harus menerobos keruangan kerjanya dan memberikan pelayanan oral, agar Reza sudi memungutku kembali sebagai kekasihnya? pikir Indi yang sudah kehilangan harga diri sepenuhnya.

Persetan dengan perasaannya. Seharusnya dia bersyukur karena pria yang dia cintai sudi meliriknya setelah sekian lama. Perlakuan Reza membuatnya sombong dan lupa diri.

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu sukses membuyarkan lamunan Indi. "Yah, masuk!" perintahnya.

Eka. Pemuda awal dua puluhan yang direkrut sebagai pengganti Mirna itu menyembulkan kepala dan langsung mengatakan maksud kedatangannya. Ciri khas laki-laki yang malas berbasa-basi. Dan Indi menyukainya.

"Ibu dipanggil ke ruang rapat sekarang."

"Sekarang? bukankah disana sedang ada rapat direksi?" Indi melontarkan pertanyaan yang sia-sia. Jelas saja pemuda itu hanya bisa berkata tidak tahu.

Dengan cepat Indi beranjak dari duduknya dan sekilas merapikan penampilan.

"Jika ada orang dari Bank tolong kau temani dulu."ucap Indi pada Eka. Pria itu mengangguk sebagai jawaban.

Indi berjalan menuju ruang rapat dan menemukan kumpulan para sekretaris termasuk Sisca berdiri menunggu di luar ruang rapat. Bisa saja sewaktu-waktu perintah dadakan keluar dari balik pintu besar itu.

"Oh Indi, senang melihatmu." sapa Yani, sekretaris Tuan Joko Maheswara yang terhormat. Paman Reza yang memegang salah satu perusahaan keluarga dibidang Eksport-Import.

"Aku juga. Bagaimana kabar putrimu? pasti sedang lucu-lucunya..."balas Indi tak kalah ceria.

Baru juga Yani mau menjawab, ucapan ketus Sisca langsung merusak suasana bahagia itu. "Cepatlah, kau sudah ditunggu. Entah masalah apa yang kau buat kali ini?"

'Kali ini' kata sigundik berdada busa itu. Semut pun tau jika Indira Khairina adalah pegawai teladan yang paling bersih di kantor ini.

Indi ingin menghina keadaan Sisca yang berdiri menunggu perintah bagai seekor anjing yang patuh. Namun dia masih menjaga perasaan Yani dan sekretaris yang lain. Tanpa memperdulikan dan menganggap Sisca sebagai sosok penampakan kuntilanak, Indi melengos dan berlalu didepan sidada implant itu sambil menggumamkan ayat pengusir setan.

Mengabaikan makian tertahan dibelakangnya, Indi mengetuk pintu dan langsung masuk ke ruang rapat. Karena dia yakin kehadirannya pasti sudah dinanti. Mungkin membahas perencanaan pemakaian dana untuk tahun depan.

Mata Indi langsung bertemu dengan mata pria itu. Entah ekspresi apa yang ditunjukkan wajahnya sekarang. Indi yakin rasa rindu itu meluap keluar dari dalam tubuhnya. Namun sekali lagi Indi masih harus menelan pil pahit. Reza langsung membuang tatapannya kembali kearah laptop pria itu. Mengabaikan tatapan harap dari kedua mata Indi.

Indi menggigit bibirnya menahan rasa ngilu dihati karena diacuhkan oleh sang pujaan hati.

"Baiklah, karena kau sudah disini aku akan langsung saja." ucap tegas seseorang yang tidak lain adalah Bapak Mahendra.

Indi berusaha bersikap senormal mungkin. Entah kenapa perutnya tiba-tiba terasa mual. Firasatnya mengatakan jika yang akan keluar dari mulut pemimpin tertingginya ini adalah kabar buruk. Tatapan para direksi yang biasanya ramah sekarang terasa asing. Bahkan Bu Nia tidak menanggapi kehadirannya dan malah mengotak-atik ponsel. Hanya Pak Joko yang masih menawarinya kursi untuk duduk.

"Terima kasih, Pak." ucap Indi setelah mendudukkan dirinya. Sekali lagi dia melirik kearah Reza dan kembali teriris saat pria itu malah berbisik-bisik dengan Arya, mengabaikannya.

Pak Mahendra berdiri dan berjalan memutari meja. Semua mata mengikuti gerak gerik pria paruh baya itu. Dengan pelan, Pak Mahendra meletakkan sebuah berkas didepan Indi. Kening Indi menyerngit bingung.

Apa ini?

"Buka dan bacalah." perintah Pak Mahendra.

Dengan pelan dan ragu-ragu Indi membuka lembaran demi lembaran dan membacanya dengan teliti.

Sontak matanya membesar saat menyadari jika angka-angka didepannya sama sekali tidak benar. Sungguh ingatannya masih sangat segar bahkan sampai ke sen terkecil dari nilai laporannya bulan lalu. Dan Indi hanya bisa terdiam tidak percaya. Bahkan membela diri saja dia sulit.

"Ini...salah..." ucap Indi dengan sisa-sisa kekuatannya. Wajahnya bahkan sudah memucat sempurna.

"Jika memang benar salah, katakan dimana letaknya. Laporan itu hanya bisa ditarik dari login akunmu Indi. Selisih 700 juta yang tertera disana ditarik dari login mu, Nak..." ucap Pak Joko disebelahnya.

"Ta...tapi nilai yang saya laporkan kemarin bukan segini, Pak. Dan jika Bapak tidak percaya saya masih mempunyai filenya dikomputer say..." Indi mulai beranjak dari duduknya namun tertahan saat suara seseorang kembali menghancurkan keberaniannya.

"Maaf jika ini lancang. Tapi tadi malam Reza dan Arya sudah mengecek komputermu dan menemukan data yang sama disana..." suara Pak Mahendra tertahan saat tubuh Indi lunglai dan kembali terduduk.

"...Kenapa kau melakukan semua ini, Indi. Apa kau sedang ada masalah?" lanjut Pak Mahendra pelan.

Indi hanya menatap kearah lembaran putih penghancur nama baiknya itu dengan tatapan kosong. Dengan pelan dia menggelengkan kepala entah atas jawabannya pada Pak Mahendra atau karena tidak percaya semua ini terjadi padanya.

"Bagaimanapun kau harus bertanggung jawab, Nak." Pak Joko dan Bu Nia menatapnya prihatin.

Indi membeku. Selisih 700 juta adalah nominal yang amat sangat besar untuk pegawai biasa sepertinya. Bahkan serangan bertubi-tubi ini menimbulkan keraguan dihatinya. Apa memang benar dia sudah salah perhitungan. Apa memang dia keliru menyusun laporan yang sudah bertahun-tahun dilakoninya.

"Saya yakin nilai ini berbeda, Pak. Saya meminta waktu untuk mengecek sendiri laporan yang ada di kom..."

"Dan membiarkan dirimu mengubah data seperti yang kau inginkan."

Indi menatap pria yang barusan berucap dengan tatapan tidak percaya. Bahkan Indi tidak mau repot-repot menutupi raut tidak percayanya kearah Reza.

"Ayah. Indi ada dibawah wewenangku. Dan akulah yang bertanggung jawab untuk mendisiplinkannya..."

'Mendisiplinkan' batin Indi menolak percaya akan perkataan Reza. Ini sama saja dengan menjatuhkan vonis bersalah padanya. Dan itu berarti Reza percaya jika dia telah merugikan perusahaan senilai 700 juta. Semua orang yang ada diruangan ini percaya jika seorang Indi telah menggelapkan uang perusahaan senilai 700 juta. Ya Tuhan! Cabut saja nyawanya sekarang. Sunggu Indi tidak sanggup menahan rasa malu ini lebih lama lagi. Dan semakin sakit saat mendapati Reza pun percaya.

"Indi. Pergilah dan tunggu diruanganku." perintah Reza datar dan dingin.

Indi menunduk. Beginikah keputusan dari perusahaan yang selama ini dia bela. Beginikah sikap para atasan yang selama ini dia junjung. Beginikah balasan kerja keras yang bertahun-tahun dia lakukan. Indi tertawa dalam hati. Menertawai nasib sialnya sendiri.

Perlahan tanpa suara Indi berdiri. Mengangguk hormat dalam tundukan lemahnya. Dan tanpa berkata-kata Indi menyeret tubuhnya dan pergi dengan kekosongan dimata dan hatinya. Pasrah.

Entah bagaimana bukti-bukti dikertas tadi menunjukkan eksistensinya. Bukti laporan yang benar hanya bisa ditarik melalui login akunnya sebagai Kepala Bagian Keuangan. Dan memang setiap bulan akan dibahas di rapat dewan direksi.

Mungkin Indi memang melakukan kekeliruan. Mungkin memang dia salah menghitung. Mungkin memang datanya tidak sinkron dengan data yang diberikan oleh Bank. Dan dia harus bertanggung jawab.

Indi berjalan gontai ke ruangan Reza. Mengabaikan cibiran Sisca dan berbagai pertanyaan yang bertubi dari para sekretaris yang mengkhawatirkannya.

Dengan pelan diputarnya kenop pintu itu dan masuk. Indi hanya berdiri dalam diam menunggu kehadiran si pemilik ruangan. Indi bahkan tidak mau menduduki satupun kursi dan sofa yang berada disana. Mungkin kekalutannya akan cepat menghilang dengan berdiri.

Dilain tempat, tepatnya ruang rapat yang sekarang hanya tinggal berisikan Reza, Arya dan Pak Mahendra dipenuhi dengan perdebatan singkat.

"Aku tau ini semua akal bulusmu, Reza!" tuduh Ayahnya.

Reza dan Arya sontak terdiam dan memucat. "Apa maksud Ayah? Aku tidak mengerti?" ucap Reza terlalu terburu-buru semakin meyakinkan Pak Mahendra jika ada apa-apa dibalik temuan data ini.

"Aku harap kau tidak menyesal dengan tindakanmu. Indi gadis yang baik dan kau...sebaiknya jangan mempermainkannya." cecar Pak Mahendra sambil melangkah melewati kedua putranya.

Reza yang tidak bisa menutupi apapun dari seorang player kelas kakap seperti ayahnya pun hanya bisa nyengir kuda.

"Ini juga lagi usaha, Yah. Indi...agak susah ditebak. Sampai saat ini aku bingung apa mau gadis itu?"

Ayah dua pemuda tampan itu mendengus mendengar kelabilan putra sulungnya.

"Satu yang Ayah harap darimu, Nak. Ketegasan. Jangan lupakan jika kau masih memiliki amanat dari ibumu. Tunanganmu, Nala."

"Tentu saja Ayah. Jika aku bisa memiliki keduanya, kenapa tidak?" ucap Reza sambil menyeringai.

Terdengar tawa dari sebelahnya yang tidak lain adalah Arya. "Kau memang brengsek, Kak!"

"Dasar bocah bodoh. Kau akan menyesal nanti."

Dan Mahendra Prawira Maheswara meninggalkan kedua putra bodohnya dengan helaan napas berat. Semakin lama kedua anaknya menemukan jodoh semakin lama pula dia akan menimang cucu. Nasib.

Begitu ayah mereka pergi. Reza dan Arya saling melempar pandangan. "Sudah siap menjalankan misi pertama?" tanya Arya.

"Tentu saja, Dik! Dengan senang hati."

Reza berjalan cepat keluar ruang rapat menuju tempat dimana sang ratu hatinya sedang menunggu.

'Sabar Reza....Kau akan segera menjadi pemilik Indira Khairina.'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...