Tiga hari sudah berlalu.
Semakin
memberikan kepastian dibenak Indi jika dia hanyalah permainan semata. Entah
sudah senyum miris yang keberapa kali dia keluarkan hari ini. Menertawai dan
mengasihani dirinya sendiri. Yah, kasihan karena dicampakkan dengan cepat dan
begitu mudah. Bahkan Sisca saja masih
lebih lama menjabat sebagai gundik CEO nya.
Semenjak hari
itu, Reza bahkan tidak meliriknya sedikitpun. Jujur, dalam hati kecilnya dia
masih akan menerima dan memaafkan pria itu jika datang dan kembali merayunya.
Tapi kenyataannya apa?
Malah sekarang
Indi yang mengemis-ngemis dalam hati berharap Reza mau kembali padanya walaupun
dia hanya sebagai yang kedua. Indi rela.
Bagaimanapun
cintanya pada Reza terlalu besar untuk menutupi otaknya dari untaian kata yang
bertajuk 'harga diri'.
Indi memijit
pangkal hidungnya dan berharap rasa pusing ini segera berlalu.
Selama tiga hari
ini juga Indi menyumpahi dirinya karena sok jual mahal dengan memutuskan Reza.
Indi menyesal. Sungguh-sungguh menyesal.
Apa aku harus
menerobos keruangan kerjanya dan memberikan pelayanan oral, agar Reza sudi
memungutku kembali sebagai kekasihnya? pikir Indi yang sudah kehilangan harga
diri sepenuhnya.
Persetan dengan
perasaannya. Seharusnya dia bersyukur karena pria yang dia cintai sudi
meliriknya setelah sekian lama. Perlakuan Reza membuatnya sombong dan lupa
diri.
Tok Tok Tok
Suara ketukan
pintu sukses membuyarkan lamunan Indi. "Yah, masuk!" perintahnya.
Eka. Pemuda awal
dua puluhan yang direkrut sebagai pengganti Mirna itu menyembulkan kepala dan
langsung mengatakan maksud kedatangannya. Ciri khas laki-laki yang malas
berbasa-basi. Dan Indi menyukainya.
"Ibu
dipanggil ke ruang rapat sekarang."
"Sekarang?
bukankah disana sedang ada rapat direksi?" Indi melontarkan pertanyaan
yang sia-sia. Jelas saja pemuda itu hanya bisa berkata tidak tahu.
Dengan cepat
Indi beranjak dari duduknya dan sekilas merapikan penampilan.
"Jika ada
orang dari Bank tolong kau temani dulu."ucap Indi pada Eka. Pria itu
mengangguk sebagai jawaban.
Indi berjalan
menuju ruang rapat dan menemukan kumpulan para sekretaris termasuk Sisca
berdiri menunggu di luar ruang rapat. Bisa saja sewaktu-waktu perintah dadakan
keluar dari balik pintu besar itu.
"Oh Indi,
senang melihatmu." sapa Yani, sekretaris Tuan Joko Maheswara yang
terhormat. Paman Reza yang memegang salah satu perusahaan keluarga dibidang
Eksport-Import.
"Aku juga.
Bagaimana kabar putrimu? pasti sedang lucu-lucunya..."balas Indi tak kalah
ceria.
Baru juga Yani
mau menjawab, ucapan ketus Sisca langsung merusak suasana bahagia itu.
"Cepatlah, kau sudah ditunggu. Entah masalah apa yang kau buat kali
ini?"
'Kali ini' kata
sigundik berdada busa itu. Semut pun tau jika Indira Khairina adalah pegawai
teladan yang paling bersih di kantor ini.
Indi ingin
menghina keadaan Sisca yang berdiri menunggu perintah bagai seekor anjing yang
patuh. Namun dia masih menjaga perasaan Yani dan sekretaris yang lain. Tanpa
memperdulikan dan menganggap Sisca sebagai sosok penampakan kuntilanak, Indi
melengos dan berlalu didepan sidada implant itu sambil menggumamkan ayat pengusir
setan.
Mengabaikan
makian tertahan dibelakangnya, Indi mengetuk pintu dan langsung masuk ke ruang
rapat. Karena dia yakin kehadirannya pasti sudah dinanti. Mungkin membahas
perencanaan pemakaian dana untuk tahun depan.
Mata Indi
langsung bertemu dengan mata pria itu. Entah ekspresi apa yang ditunjukkan
wajahnya sekarang. Indi yakin rasa rindu itu meluap keluar dari dalam tubuhnya.
Namun sekali lagi Indi masih harus menelan pil pahit. Reza langsung membuang
tatapannya kembali kearah laptop pria itu. Mengabaikan tatapan harap dari kedua
mata Indi.
Indi menggigit
bibirnya menahan rasa ngilu dihati karena diacuhkan oleh sang pujaan hati.
"Baiklah,
karena kau sudah disini aku akan langsung saja." ucap tegas seseorang yang
tidak lain adalah Bapak Mahendra.
Indi berusaha
bersikap senormal mungkin. Entah kenapa perutnya tiba-tiba terasa mual.
Firasatnya mengatakan jika yang akan keluar dari mulut pemimpin tertingginya
ini adalah kabar buruk. Tatapan para direksi yang biasanya ramah sekarang
terasa asing. Bahkan Bu Nia tidak menanggapi kehadirannya dan malah
mengotak-atik ponsel. Hanya Pak Joko yang masih menawarinya kursi untuk duduk.
"Terima
kasih, Pak." ucap Indi setelah mendudukkan dirinya. Sekali lagi dia
melirik kearah Reza dan kembali teriris saat pria itu malah berbisik-bisik
dengan Arya, mengabaikannya.
Pak Mahendra
berdiri dan berjalan memutari meja. Semua mata mengikuti gerak gerik pria paruh
baya itu. Dengan pelan, Pak Mahendra meletakkan sebuah berkas didepan Indi.
Kening Indi menyerngit bingung.
Apa ini?
"Buka dan
bacalah." perintah Pak Mahendra.
Dengan pelan dan
ragu-ragu Indi membuka lembaran demi lembaran dan membacanya dengan teliti.
Sontak matanya
membesar saat menyadari jika angka-angka didepannya sama sekali tidak benar.
Sungguh ingatannya masih sangat segar bahkan sampai ke sen terkecil dari nilai
laporannya bulan lalu. Dan Indi hanya bisa terdiam tidak percaya. Bahkan
membela diri saja dia sulit.
"Ini...salah..."
ucap Indi dengan sisa-sisa kekuatannya. Wajahnya bahkan sudah memucat sempurna.
"Jika
memang benar salah, katakan dimana letaknya. Laporan itu hanya bisa ditarik
dari login akunmu Indi. Selisih 700 juta yang tertera disana ditarik dari login
mu, Nak..." ucap Pak Joko disebelahnya.
"Ta...tapi
nilai yang saya laporkan kemarin bukan segini, Pak. Dan jika Bapak tidak
percaya saya masih mempunyai filenya dikomputer say..." Indi mulai
beranjak dari duduknya namun tertahan saat suara seseorang kembali
menghancurkan keberaniannya.
"Maaf jika
ini lancang. Tapi tadi malam Reza dan Arya sudah mengecek komputermu dan
menemukan data yang sama disana..." suara Pak Mahendra tertahan saat tubuh
Indi lunglai dan kembali terduduk.
"...Kenapa kau
melakukan semua ini, Indi. Apa kau sedang ada masalah?" lanjut Pak
Mahendra pelan.
Indi hanya
menatap kearah lembaran putih penghancur nama baiknya itu dengan tatapan
kosong. Dengan pelan dia menggelengkan kepala entah atas jawabannya pada Pak
Mahendra atau karena tidak percaya semua ini terjadi padanya.
"Bagaimanapun
kau harus bertanggung jawab, Nak." Pak Joko dan Bu Nia menatapnya
prihatin.
Indi membeku.
Selisih 700 juta adalah nominal yang amat sangat besar untuk pegawai biasa
sepertinya. Bahkan serangan bertubi-tubi ini menimbulkan keraguan dihatinya.
Apa memang benar dia sudah salah perhitungan. Apa memang dia keliru menyusun
laporan yang sudah bertahun-tahun dilakoninya.
"Saya yakin
nilai ini berbeda, Pak. Saya meminta waktu untuk mengecek sendiri laporan yang
ada di kom..."
"Dan
membiarkan dirimu mengubah data seperti yang kau inginkan."
Indi menatap
pria yang barusan berucap dengan tatapan tidak percaya. Bahkan Indi tidak mau
repot-repot menutupi raut tidak percayanya kearah Reza.
"Ayah. Indi
ada dibawah wewenangku. Dan akulah yang bertanggung jawab untuk
mendisiplinkannya..."
'Mendisiplinkan'
batin Indi menolak percaya akan perkataan Reza. Ini sama saja dengan
menjatuhkan vonis bersalah padanya. Dan itu berarti Reza percaya jika dia telah
merugikan perusahaan senilai 700 juta. Semua orang yang ada diruangan ini
percaya jika seorang Indi telah menggelapkan uang perusahaan senilai 700 juta.
Ya Tuhan! Cabut saja nyawanya sekarang. Sunggu Indi tidak sanggup menahan rasa
malu ini lebih lama lagi. Dan semakin sakit saat mendapati Reza pun percaya.
"Indi.
Pergilah dan tunggu diruanganku." perintah Reza datar dan dingin.
Indi menunduk.
Beginikah keputusan dari perusahaan yang selama ini dia bela. Beginikah sikap
para atasan yang selama ini dia junjung. Beginikah balasan kerja keras yang
bertahun-tahun dia lakukan. Indi tertawa dalam hati. Menertawai nasib sialnya
sendiri.
Perlahan tanpa
suara Indi berdiri. Mengangguk hormat dalam tundukan lemahnya. Dan tanpa
berkata-kata Indi menyeret tubuhnya dan pergi dengan kekosongan dimata dan
hatinya. Pasrah.
Entah bagaimana
bukti-bukti dikertas tadi menunjukkan eksistensinya. Bukti laporan yang benar
hanya bisa ditarik melalui login akunnya sebagai Kepala Bagian Keuangan. Dan
memang setiap bulan akan dibahas di rapat dewan direksi.
Mungkin Indi
memang melakukan kekeliruan. Mungkin memang dia salah menghitung. Mungkin
memang datanya tidak sinkron dengan data yang diberikan oleh Bank. Dan dia
harus bertanggung jawab.
Indi berjalan
gontai ke ruangan Reza. Mengabaikan cibiran Sisca dan berbagai pertanyaan yang
bertubi dari para sekretaris yang mengkhawatirkannya.
Dengan pelan
diputarnya kenop pintu itu dan masuk. Indi hanya berdiri dalam diam menunggu
kehadiran si pemilik ruangan. Indi bahkan tidak mau menduduki satupun kursi dan
sofa yang berada disana. Mungkin kekalutannya akan cepat menghilang dengan
berdiri.
Dilain tempat,
tepatnya ruang rapat yang sekarang hanya tinggal berisikan Reza, Arya dan Pak
Mahendra dipenuhi dengan perdebatan singkat.
"Aku tau
ini semua akal bulusmu, Reza!" tuduh Ayahnya.
Reza dan Arya
sontak terdiam dan memucat. "Apa maksud Ayah? Aku tidak mengerti?"
ucap Reza terlalu terburu-buru semakin meyakinkan Pak Mahendra jika ada apa-apa
dibalik temuan data ini.
"Aku harap
kau tidak menyesal dengan tindakanmu. Indi gadis yang baik dan kau...sebaiknya
jangan mempermainkannya." cecar Pak Mahendra sambil melangkah melewati
kedua putranya.
Reza yang tidak
bisa menutupi apapun dari seorang player kelas kakap seperti ayahnya pun hanya
bisa nyengir kuda.
"Ini juga
lagi usaha, Yah. Indi...agak susah ditebak. Sampai saat ini aku bingung apa mau
gadis itu?"
Ayah dua pemuda
tampan itu mendengus mendengar kelabilan putra sulungnya.
"Satu yang
Ayah harap darimu, Nak. Ketegasan. Jangan lupakan jika kau masih memiliki
amanat dari ibumu. Tunanganmu, Nala."
"Tentu saja
Ayah. Jika aku bisa memiliki keduanya, kenapa tidak?" ucap Reza sambil
menyeringai.
Terdengar tawa
dari sebelahnya yang tidak lain adalah Arya. "Kau memang brengsek,
Kak!"
"Dasar
bocah bodoh. Kau akan menyesal nanti."
Dan Mahendra
Prawira Maheswara meninggalkan kedua putra bodohnya dengan helaan napas berat.
Semakin lama kedua anaknya menemukan jodoh semakin lama pula dia akan menimang
cucu. Nasib.
Begitu ayah
mereka pergi. Reza dan Arya saling melempar pandangan. "Sudah siap
menjalankan misi pertama?" tanya Arya.
"Tentu
saja, Dik! Dengan senang hati."
Reza berjalan
cepat keluar ruang rapat menuju tempat dimana sang ratu hatinya sedang
menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar