Sabtu, 11 Oktober 2025

24

Mulut Indi komat-kamit sepanjang perjalanan menuju lantai dimana ruangannya berada. Apa yang akan dia katakan pada stafnya setelah bolos selama hampir satu minggu penuh.

Pulang kampung? Tapi kampung siapa, kan kedua orangtuanya telah meninggal.

Jalan-jalan? Disaat kerjaan lagi banyak-banyaknya, itu bukan Indi sekali.

Sakit? Yah, itu alas an yang tepat. Dari kemarin dia memang sakit, tepatnya sakit hati.

Baru saja dia berbelok dari lobi menuju lift tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang dengan sangat tidak cantik sekali. Pantatnya langsung mencium lantai.

“Aduuuhh, pantatku…”

“Astaga, maaf…maaf Bu Indi, saya tidak sengaja…”

Indi menatap kesal pada gadis yang menabraknya tadi. Masa kabur gitu aja setelah membuat pantatnya tepos. “Hei tungg…”, belum sempat dia memanggil, sudah ada segerombolan gadis-gadis lain pergi kearah yang sama dengan si penabrak tadi. Terdengar juga geraman kesal dan marah dari mereka.

Indi akhirnya hanya bisa pasrah, berdiri dan mengusap pantatnya yang sakit. Matanya kembali menatap kearah si penabrak dan gerombolan gadis itu pergi. Menaikkan bahu tidak perduli, Indi kembali berjalan menuju lift. Bukan urusannya.

 

“Berhenti kau, miskin!”

“Dasar jablay kampung!”

“Aakh!” kepala Mia tertarik kebelakang karena rambutnya ditarik kasar. Dia tertangkap.

Perempuan yang menjambak rambutnya melempar tubuh Mia kearah tumpukan kain pel dan ember hingga barang-barang itu terlempar kemana-mana. Air kotor bekas pel tercecer kemana-mana, bahkan sudah mengotori baju seragam Mia. Gadis malang itu hanya bisa meringkuk kesakitan karena punggungnya sempat menghantam ujung tangkai pel yang terbuat dari logam.

“Emang kalo orang susah itu suka cari jalan pintas ya biar dapat duit!” salah satu dari gerombolan itu menatap Mia jijik. “Mau jadi lonte, lo?!”

“Bukannya emang udah jadi ya?! Hahaha!”

Mia hanya terus menunduk menerima penghinaan yang ditujukan padanya. Di perusahaan ini dia hanya orang rendahan, tidak sebanding dengan para karyawati yang cantik dan juga penuh gaya. Mia hanyalah tukang bersih-bersih dan dia harus merendah serendah-rendahnya agar bisa tetap bekerja dan tidak membuat masalah. Hanya dia harapan Ibu yang sudah sakit-sakitan dan adiknya yang masih sekolah.

“Kemaren lo udah kegatelan sama Pak Arya, sekarang mau godain laki orang lagi. Lo kira Rama suka sama cewek bau kloset kayak lo?! Istrinya itu cakep kemana-mana! Jangan mimpi!”

“Saya tidak menggoda Pak Ram…aakkhh!” rambut Mia dijambak lagi, kali ini lebih kasar.

“Diem lo! Ga usah sok laku! Jablay kayak elo emang harus dibasmi sampe ke akar-akarnya. Ini juga peringatan biar lo ga kegatelan lagi sama Pak Arya, ya! Mati lo!”

Para perempuan lain mulai mendekati Mia dan membuat gadis itu ketakutan. Mia hanya mampu menutup mata dan pasrah dipukuli. Dia pasti bisa menahannya. Harus. Dia harus kuat menahan semua rundungan ini. Demi pekerjaannya.

“Sepertinya kalian baru dua bulan ini ya jadi pegawai tetap?”

Suara sinis dibelakang mereka membuat bulu kuduk merinding. Seorang gadis perlahan memutar pandangannya kebelakang. Dan matanya langsung terbelalak.

“Bu…bu Indi?”

“Iya saya, kenapa?” Indi menyilangkan tangannya didepan dada. Aura pemegang puncak kekuasaan uang perusahaan, menguar kuat dari tubuhnya. Sampai-sampai semua perempuan disitu merasa minder.

“Kalian lagi nge-bully ‘dia’?”

Hening.

“Udah merasa hebat banget? Kalian baru dua bulan diangkat lho?” Indi melirik kebelakang dan mendapati Mia yang sudah pelan-pelan berusaha berdiri.

“Mba itu…” Indi menunjuk kearah Mia dan membuat gerombolan gadis itu melihatnya. “…lebih senior dari kalian.”

“Dia udah dua tahun kerja di sini.”

Seorang gadis cukup cerdas untuk mengerti situasi, “Kami tidak mem-bully dia kok, Bu. Kami hanya mengarahkan agar dia lebih disiplin dan bermoral.”

“Itu bukan tugas kalian. Ada bagian SDM dan Kepatuhan Internal di kantor ini. Dan saya salah satu anggotanya.” Indi menaikkan alisnya mengancam.

“Dan sebagai anggota Kepatuhan Internal saya akan menyelesaikan masalah ini sesuai peraturan perusahaan. Kegiatan kalian tadi sudah ada disini jadi persiapkan penjelasan kalian dengan bijak.” Indi menggoyangkan ponselnya.

“Mia, ikut saya.” Indi pun beranjak pergi yang diikuti Mia dengan cepat.

 

“MInumlah, dan ini aku punya pakaian ganti. Ganti saja di sana.” Indi menunjuk toilet khusus di ruangannya.

Mia menunduk, “Terima kasih, Bu!”. Dengan cepat gadis itu masuk kedalam toilet dan Indi sempat mendengar ringis kesakitan saat gadis itu berjalan.

Indi hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya. Baru kali ini ada kasus pembulian di perusahaan ini. Dasar bocah-bocah baru dewasa. Merasa sudah hebat karena punya pekerjaan bagus dan mulai menyombongkan diri. Padahal semua itu baru garis start dari karir mereka.

Tok Tok!

“Indi?”

Kedua pasang mata itu bertemu. Mia terdiam di depan pintu toilet dan Arya terdiam di pintu ruangan Indi yang terbuka.

“Pak Arya, ada yang perlu saya bantu?” Indi memecah kebekuan Arya.

“I..iya. Aku hanya mau melihat apa kau sudah datang atau belum. Kalau tidak sibuk, Ayah memanggilmu ke ruangannya.” Arya berdehem menstabilkan emosinya. Matanya mencuri pandang lagi ke arah toilet dan mendapati Mia sudah berjalan pelan kearah tasnya yang tergeletak di kursi.

“Oh, tidak, saya tidak sedang mengerjakan apa-apa. Saya keruangan Pak Mahendra sekarang…”, Indi melihat kearah Mia. “Mia, kau disini dulu saja, nanti langsung pulang saja kalau sudah tenang. Hari ini kau izin masuk setengah hari saja, ya.”

Indi mengambil beberapa berkas dan buku di meja, merapikan kemejanya sedikit dan berjalan keluar ruangan. “Permisi Pak Arya, saya ke atas dulu.”

“Ya, silahkan.”

Dan disinilah Arya dan Mia. Diruangan Indi.

Pria tampan itu melangkah cepat dan dengan lembut mengangkat dagu Mia keatas sampai wajah gadis itu mendongak. Arya cukup tinggi untuk ukuran seorang pria, walaupun kakaknya masih lebih tinggi 3-4 cm mungkin?

“Ini…bekas tamparan?”

Rahang Arya mengeras, “Siapa?”

Mia mundur menjauh, masih memeluk baju kotornya dia mengambil tas dan hendak berjalan keluar namun tangannya ditahan oelh Arya.

“Pak, tolong…jangan begini..” Mia menunduk dan semakin menjaga jarak. Dia cukup tau diri.

“Siapa yang menamparmu? Bajumu juga kotor begini?” Arya melihat gulungan pakaian Mia yang kotor dipelukan gadis itu.

“Saya hanya terpeleset dan jatuh. Itu saja. Permisi, Pak.” Mia berusaha kabur namun gagal lagi saat Arya menutupi jalan wanita itu dengan tubuh tingginya.

Sejak pagi Mia sudah melewati hari yang buruk. Hampir dilecehkan oleh seorang pegawai bernama Rama dan difitnah menggodanya saat kepergok pegawai lain. Seakan tatapan penuh jijik dan hinaan yang dia terima belum cukup, dia juga habis disiksa oleh pegawai perempuan. Kalau bukan karena pertolongan Bu Indi, dia pasti sudah babak belur. Dan sekarang Pak Arya kembali menahannya, padahal dia hanya ingin segera pergi dan menenangkan dirinya.

Suara Mia tercekat karena luapan rasa sesak didadanya, “Pak…saya mohon…saya mohon bapak jangan begini lagi. Saya…saya kesulitan, Pak. Saya hanya pegawai rendahan di kantor ini dan pasti bapak hanya penasaran dan…”.

Arya tidak akan membiarkan gadis itu menolak dirinya. Sejak dulu apa yang dia inginkan akan berusaha dia dapatkan. Semustahil apa pun itu. Apalagi ini, saat dia jatuh cinta, berani-beraninya gadis ini menghalanginya.

Arya menarik pinggang Mia, menahan tengkuk gadis itu saat sudah berada dipelukannya. Arya mencium Mia dalam. Meluapkan rasa cinta, harapan sekaligus kesal saat gadis ini berani menjauhinya.

Mia yang terdesak dan kaget karena Arya tiba-tiba menarik dan menciumnya langsung berontak. Pakaian kotor dipelukannya sudah jatuh berantakan. Tangannya terus mendorong tubuh Arya yang sekeras tembok. Kepalanya pun tidak bisa bergerak karena Arya menahan tengkuknya. Tanpa bisa dicegah air matanya mengalir.

Arya yang sadar pipinya ikut basah karena Mia menangis pun menghentikan ciumannya namun tidak menjauh. Pria itu menyatukan kening mereka.

“Aku mencintaimu, Mia. Dan kita pasti akan bersatu, aku janji. Tolong beri aku waktu, ya?” Arya menatap gadis itu lembut.

“Tapi Pak, saya akan buat bapak malu…saya tidak berani bermimpi..” Mia terus mengingatkan betapa rendah statusnya jika dibandingkan dengan Arya. Orang akan menghina pria itu jika terus memilihnya.

“Hussh…itu urusanku, kau hanya perlu menerima perasaanku, duduk manis dan tunggu aba-aba dariku untuk ke pelaminan, okey.” Candaan Arya mau tak mau menarik senyum kecil dibibir Mia. Hatinya menghangat.

“Dan siapa yang melakukan ini? Katakan padaku?” Arya masih emosi melihat keadaan Mia yang sangat mengenaskan.

Mia hanya menggeleng. Sudahlah pikirnya, tidak perlu memperpanjang masalah. “Bukan siapa-siapa. Kita lupain aja yah.”

Arya mengangguk untuk saat ini namun dia akan mengorek informasi lengkap dari Indi. “Pulanglah dan besok kalau masih kurang nyaman tidak perlu masuk, ya!”

Mia mengangguk dan Arya mencuri satu kecupan kecil dibibir gadis itu sebelum membiarkannya pergi. “Aku mencintaimu!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...