Mulut Indi komat-kamit sepanjang perjalanan menuju lantai dimana ruangannya berada. Apa yang akan dia katakan pada stafnya setelah bolos selama hampir satu minggu penuh.
Pulang kampung?
Tapi kampung siapa, kan kedua orangtuanya telah meninggal.
Jalan-jalan?
Disaat kerjaan lagi banyak-banyaknya, itu bukan Indi sekali.
Sakit? Yah, itu
alas an yang tepat. Dari kemarin dia memang sakit, tepatnya sakit hati.
Baru saja dia
berbelok dari lobi menuju lift tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang dengan
sangat tidak cantik sekali. Pantatnya langsung mencium lantai.
“Aduuuhh,
pantatku…”
“Astaga,
maaf…maaf Bu Indi, saya tidak sengaja…”
Indi menatap
kesal pada gadis yang menabraknya tadi. Masa kabur gitu aja setelah membuat
pantatnya tepos. “Hei tungg…”, belum sempat dia memanggil, sudah ada
segerombolan gadis-gadis lain pergi kearah yang sama dengan si penabrak tadi.
Terdengar juga geraman kesal dan marah dari mereka.
Indi akhirnya
hanya bisa pasrah, berdiri dan mengusap pantatnya yang sakit. Matanya kembali
menatap kearah si penabrak dan gerombolan gadis itu pergi. Menaikkan bahu tidak
perduli, Indi kembali berjalan menuju lift. Bukan urusannya.
“Berhenti kau,
miskin!”
“Dasar jablay
kampung!”
“Aakh!” kepala
Mia tertarik kebelakang karena rambutnya ditarik kasar. Dia tertangkap.
Perempuan yang
menjambak rambutnya melempar tubuh Mia kearah tumpukan kain pel dan ember
hingga barang-barang itu terlempar kemana-mana. Air kotor bekas pel tercecer
kemana-mana, bahkan sudah mengotori baju seragam Mia. Gadis malang itu hanya
bisa meringkuk kesakitan karena punggungnya sempat menghantam ujung tangkai pel
yang terbuat dari logam.
“Emang kalo
orang susah itu suka cari jalan pintas ya biar dapat duit!” salah satu dari
gerombolan itu menatap Mia jijik. “Mau jadi lonte, lo?!”
“Bukannya emang
udah jadi ya?! Hahaha!”
Mia hanya terus
menunduk menerima penghinaan yang ditujukan padanya. Di perusahaan ini dia
hanya orang rendahan, tidak sebanding dengan para karyawati yang cantik dan
juga penuh gaya. Mia hanyalah tukang bersih-bersih dan dia harus merendah
serendah-rendahnya agar bisa tetap bekerja dan tidak membuat masalah. Hanya dia
harapan Ibu yang sudah sakit-sakitan dan adiknya yang masih sekolah.
“Kemaren lo udah
kegatelan sama Pak Arya, sekarang mau godain laki orang lagi. Lo kira Rama suka
sama cewek bau kloset kayak lo?! Istrinya itu cakep kemana-mana! Jangan mimpi!”
“Saya tidak
menggoda Pak Ram…aakkhh!” rambut Mia dijambak lagi, kali ini lebih kasar.
“Diem lo! Ga
usah sok laku! Jablay kayak elo emang harus dibasmi sampe ke akar-akarnya. Ini
juga peringatan biar lo ga kegatelan lagi sama Pak Arya, ya! Mati lo!”
Para perempuan
lain mulai mendekati Mia dan membuat gadis itu ketakutan. Mia hanya mampu
menutup mata dan pasrah dipukuli. Dia pasti bisa menahannya. Harus. Dia harus
kuat menahan semua rundungan ini. Demi pekerjaannya.
“Sepertinya
kalian baru dua bulan ini ya jadi pegawai tetap?”
Suara sinis dibelakang
mereka membuat bulu kuduk merinding. Seorang gadis perlahan memutar
pandangannya kebelakang. Dan matanya langsung terbelalak.
“Bu…bu Indi?”
“Iya saya,
kenapa?” Indi menyilangkan tangannya didepan dada. Aura pemegang puncak
kekuasaan uang perusahaan, menguar kuat dari tubuhnya. Sampai-sampai semua
perempuan disitu merasa minder.
“Kalian lagi
nge-bully ‘dia’?”
Hening.
“Udah merasa
hebat banget? Kalian baru dua bulan diangkat lho?” Indi melirik kebelakang dan
mendapati Mia yang sudah pelan-pelan berusaha berdiri.
“Mba itu…” Indi
menunjuk kearah Mia dan membuat gerombolan gadis itu melihatnya. “…lebih senior
dari kalian.”
“Dia udah dua
tahun kerja di sini.”
Seorang gadis
cukup cerdas untuk mengerti situasi, “Kami tidak mem-bully dia kok, Bu. Kami
hanya mengarahkan agar dia lebih disiplin dan bermoral.”
“Itu bukan tugas
kalian. Ada bagian SDM dan Kepatuhan Internal di kantor ini. Dan saya salah
satu anggotanya.” Indi menaikkan alisnya mengancam.
“Dan sebagai
anggota Kepatuhan Internal saya akan menyelesaikan masalah ini sesuai peraturan
perusahaan. Kegiatan kalian tadi sudah ada disini jadi persiapkan penjelasan
kalian dengan bijak.” Indi menggoyangkan ponselnya.
“Mia, ikut
saya.” Indi pun beranjak pergi yang diikuti Mia dengan cepat.
“MInumlah, dan
ini aku punya pakaian ganti. Ganti saja di sana.” Indi menunjuk toilet khusus
di ruangannya.
Mia menunduk,
“Terima kasih, Bu!”. Dengan cepat gadis itu masuk kedalam toilet dan Indi
sempat mendengar ringis kesakitan saat gadis itu berjalan.
Indi hanya bisa
menggelengkan kepalanya tidak percaya. Baru kali ini ada kasus pembulian di
perusahaan ini. Dasar bocah-bocah baru dewasa. Merasa sudah hebat karena punya
pekerjaan bagus dan mulai menyombongkan diri. Padahal semua itu baru garis
start dari karir mereka.
Tok Tok!
“Indi?”
Kedua pasang
mata itu bertemu. Mia terdiam di depan pintu toilet dan Arya terdiam di pintu
ruangan Indi yang terbuka.
“Pak Arya, ada
yang perlu saya bantu?” Indi memecah kebekuan Arya.
“I..iya. Aku
hanya mau melihat apa kau sudah datang atau belum. Kalau tidak sibuk, Ayah
memanggilmu ke ruangannya.” Arya berdehem menstabilkan emosinya. Matanya
mencuri pandang lagi ke arah toilet dan mendapati Mia sudah berjalan pelan
kearah tasnya yang tergeletak di kursi.
“Oh, tidak, saya
tidak sedang mengerjakan apa-apa. Saya keruangan Pak Mahendra sekarang…”, Indi
melihat kearah Mia. “Mia, kau disini dulu saja, nanti langsung pulang saja
kalau sudah tenang. Hari ini kau izin masuk setengah hari saja, ya.”
Indi mengambil
beberapa berkas dan buku di meja, merapikan kemejanya sedikit dan berjalan
keluar ruangan. “Permisi Pak Arya, saya ke atas dulu.”
“Ya, silahkan.”
Dan disinilah
Arya dan Mia. Diruangan Indi.
Pria tampan itu
melangkah cepat dan dengan lembut mengangkat dagu Mia keatas sampai wajah gadis
itu mendongak. Arya cukup tinggi untuk ukuran seorang pria, walaupun kakaknya
masih lebih tinggi 3-4 cm mungkin?
“Ini…bekas
tamparan?”
Rahang Arya
mengeras, “Siapa?”
Mia mundur
menjauh, masih memeluk baju kotornya dia mengambil tas dan hendak berjalan
keluar namun tangannya ditahan oelh Arya.
“Pak,
tolong…jangan begini..” Mia menunduk dan semakin menjaga jarak. Dia cukup tau
diri.
“Siapa yang
menamparmu? Bajumu juga kotor begini?” Arya melihat gulungan pakaian Mia yang
kotor dipelukan gadis itu.
“Saya hanya
terpeleset dan jatuh. Itu saja. Permisi, Pak.” Mia berusaha kabur namun gagal
lagi saat Arya menutupi jalan wanita itu dengan tubuh tingginya.
Sejak pagi Mia
sudah melewati hari yang buruk. Hampir dilecehkan oleh seorang pegawai bernama
Rama dan difitnah menggodanya saat kepergok pegawai lain. Seakan tatapan penuh
jijik dan hinaan yang dia terima belum cukup, dia juga habis disiksa oleh
pegawai perempuan. Kalau bukan karena pertolongan Bu Indi, dia pasti sudah
babak belur. Dan sekarang Pak Arya kembali menahannya, padahal dia hanya ingin
segera pergi dan menenangkan dirinya.
Suara Mia
tercekat karena luapan rasa sesak didadanya, “Pak…saya mohon…saya mohon bapak
jangan begini lagi. Saya…saya kesulitan, Pak. Saya hanya pegawai rendahan di
kantor ini dan pasti bapak hanya penasaran dan…”.
Arya tidak akan
membiarkan gadis itu menolak dirinya. Sejak dulu apa yang dia inginkan akan
berusaha dia dapatkan. Semustahil apa pun itu. Apalagi ini, saat dia jatuh
cinta, berani-beraninya gadis ini menghalanginya.
Arya menarik
pinggang Mia, menahan tengkuk gadis itu saat sudah berada dipelukannya. Arya
mencium Mia dalam. Meluapkan rasa cinta, harapan sekaligus kesal saat gadis ini
berani menjauhinya.
Mia yang
terdesak dan kaget karena Arya tiba-tiba menarik dan menciumnya langsung
berontak. Pakaian kotor dipelukannya sudah jatuh berantakan. Tangannya terus
mendorong tubuh Arya yang sekeras tembok. Kepalanya pun tidak bisa bergerak
karena Arya menahan tengkuknya. Tanpa bisa dicegah air matanya mengalir.
Arya yang sadar
pipinya ikut basah karena Mia menangis pun menghentikan ciumannya namun tidak
menjauh. Pria itu menyatukan kening mereka.
“Aku
mencintaimu, Mia. Dan kita pasti akan bersatu, aku janji. Tolong beri aku
waktu, ya?” Arya menatap gadis itu lembut.
“Tapi Pak, saya
akan buat bapak malu…saya tidak berani bermimpi..” Mia terus mengingatkan
betapa rendah statusnya jika dibandingkan dengan Arya. Orang akan menghina pria
itu jika terus memilihnya.
“Hussh…itu
urusanku, kau hanya perlu menerima perasaanku, duduk manis dan tunggu aba-aba
dariku untuk ke pelaminan, okey.” Candaan Arya mau tak mau menarik senyum kecil
dibibir Mia. Hatinya menghangat.
“Dan siapa yang
melakukan ini? Katakan padaku?” Arya masih emosi melihat keadaan Mia yang
sangat mengenaskan.
Mia hanya
menggeleng. Sudahlah pikirnya, tidak perlu memperpanjang masalah. “Bukan
siapa-siapa. Kita lupain aja yah.”
Arya mengangguk
untuk saat ini namun dia akan mengorek informasi lengkap dari Indi. “Pulanglah
dan besok kalau masih kurang nyaman tidak perlu masuk, ya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar