"Ayolah sayaaaang~"
"Mmhh...nanti
yah. Kamu mandi dulu...gih...mm..eengh..."
"Sebentar
aja sayang. Udah nahan dari tadi nih. Mana tadi macet lagi." rayu seorang
pria yang tangannya sudah menghilang dibalik baju wanitanya. Terlihat lapisan
kain dibagian dada si wanita bergerak-gerak pelan.
Untunglah dapur
terletak cukup jauh dari kamar putri mereka, jadi pendengarannya tidak akan
rusak akibat ulah kedua orang tuanya.
Tidak puas hanya
merayu gumpalan lembut wanitannya, pria itu membalik paksa tubuh istrinya.
Dengan cepat pria itu langsung menghimpit si wanita diantara meja dan melumat
bibir yang dirindukannya itu dengan terburu-buru.
"Mmmhh...Ardi...mmmppphh..."
Ting Tong
"Iya...panggil
namaku sayang..." Ardi terus melumat, memaksa memasukkan lidahnya diantara
belahan bibir mungil itu.
Tangan Ika ikut
meraba dada bidang suaminya yang kemejanya entah sejak kapan sudah tidak
terkancing lagi.
"Ooh..."
Ika tersentak saat salah satu tungkai kakinya diangkat Ardi dan dikaitkan
disiku pria itu. Satu tangannya yang bebas bahkan semakin gencar memberikan
remasan menggoda pada sang istri.
Ting Tong
"Sa...sayang...minum
tehnya...dulu, nanti dingin ga e...enak..." rayu Ika, dalam usaha menyelamatkan
paginya tanpa tubuh yang pegal-pegal.
"Nanti
saja..." balas Ardi sedikit serak
Ardi terus
menciumi leher jenjang Ika, tangannya perlahan mulai turun meraba perut bagian
bawah Ika, semakin turun...turun...dan seringainya tidak dapat ditahan saat
telapaknya berhasil menangkup bantalan intim milik istrinya.
"Oohh..."
desah Ika tak tertahan saat sang suami memijit pelan lapisan bibir besar bagian
bawah miliknya. Dan jangan lupakan tungkainya yang terbuka lebar semakin
memberi keleluasaan pada sang suami untuk meng-invasi kewanitaan milik Ika yang
sudah dia halalkan beberapa tahun lalu. Ardi tersenyum disela ciumannya dileher
Ika saat merasakan 'milik' istrinya berkedut-kedut memanggil belaiannya. Jemari
Ardi mulai merayu, meminta izin masuk sebelum suara menyebalkan yang dia kenal
semenjak bayi merusak momen indahnya bersama sang istri.
"Buset!
Pantes aja pintu ga ada yang bukain!!! Cabut aja itu bel kalo cuma jadi
pajangan!" cecar Indi tepat dibelakang Ardi.
Ardi menghela
napas malas. Tangannya bergerak menurunkan daster batik Ika yang sudah
terangkat sampai keperutnya. Dia membantu istrinya untuk kembali menormalkan
tubuh dan juga pikirannya. Dengan malu-malu Ika mengintip dari balik bahu kekar
suaminya dan perlahan cengiran tanpa dosa dia layangkan.
"Eh...ada
adik ipar" ujarnya basa-basi
Sedangkan Indi
hanya memutar bola mata melihat tingkah sepasang suami-istri didepannya. Dalam
hati dia membenarkan kata-kata Ika tentang keadaan Ardi, sang kakak.
Sedikit merasa
bersalah menggangu aktivitas kakaknya, Indi melengos pergi menuju dapur.
Ardi yang
melihat malah mengikuti dia dari belakang. Indi baru saja akan memasukkan
kentang goreng kemulutnya yang entah punya siapa, tergeletak manis diatas meja
makan saat sebuah jitakan pelan mendarat dikepalanya.
"Aduuuhh!!!"
ucapnya mendramatisir
Ardi menatapnya
datar seakan tau jika adik manisnya ini mulai bertingkah berlebihan.
"Bocah
pengganggu!" tuduh Ardi
Terdengar
kekehan Ika disebelahnya. Sungguh disini dialah yang merugi karena manusia
dikanan dan kirinya ini telah mengotori matanya. Tapi tidak bisa dipungkiri
jika kedua orang ini lah yang paling dia sayangi setelah kedua orang tuanya
yang telah tiada.
"Ada apa
kau kesini malam-malam. Mau nginap?" tanya Ardi sambil ikut mencomot
kentang goreng ditangan Indi.
"Ogah! Aku
takut kupingku ikut ternodai suara kalian yang menjijikan itu!" balas Indi
cemberut.
Ardi tertawa
sambil mengacak-acak rambut Indi gemas. Sesaat Indi terdiam, terpesona pada
wajah tampan kakaknya yang sedang tertawa.
Kalo setampan
ini, hipersex juga ga masalah kali. Pantes aja Ika ga protes!. Indi membatin
"Trus kalo
ga nginep, ngapain kesini ganggu orang?" ucap Ika memutuskan lamunan adik
iparnya
"Mau bunuh
lu, cucur!"
"Hehehe!
Galak amat sih, lagi pendarahan yah?" balas Ika menjurus pada kesensitifan
masa haid.
Setelah Indi
yakin kentang goreng dipiring sudah habis tidak tersisa, dia menepuk tangannya
membersihkan remah-remah sambil berkata. "Gue mau ajak lu nongkrong
diluar."
Ika yang sudah
lama mengenal sahabatnya langsung menyalakan lampu kuning dikepala. Indi tidak
akan mau repot-repot makan diluar jika tidak ada masalah. Ika tidak pernah
memaksa Indi cerita apapun mengenai masalahnya sampai Indi sendiri yang
memulai. Ika akan selalu bersamanya walaupun hanya menjadi teman ngobrol.
Perlahan Ika
melirik kearah suaminya meminta izin. Dengan senyum hangat, Ardi menganggukkan
kepalanya pelan.
"Baiklah,
tapi bawa kembali istriku dalam keadaan utuh yah." goda Ardi.
Indi tersenyum
misterius. "Tentu, Kak. Aku akan mengembalikan hidung hasil operasinya
ini." telunjuk Indi tepat berada dihidung mancung Ika.
"Enak aja.
Ini asli!" Ika menepis tangan Indi yang mengotori hidung kebanggaannya.
"Ya
udah...yuk!" ajak Indi mulai melangkah.
"Sebentar!"
tahan Ardi. Kedua wanita itu menatap punggungnya dengan penasaran dan tersipu
saat Ardi kembali dengan menenteng dua jaket dan sebuah kunci mobil.
"Pakai
mobilku saja. Jangan naik motor, udah malam. Dan ini..." Ardi memakaikan
jaket pada Ika dan setelah itu Indi.
"Nanti
kalian masuk angin." lanjutnya
Indi tidak bisa
menahan luapan keharuannya saat mendapatkan perlakuan manis dari sang kakak
super tampan. Dengan brutal dia berlari dan menubruk Ardi. Memeluknya erat.
"Sayaaaaaang~ banget sama kakak!" ujarnya manja.
"Eh! Laki
gue tuh. Hush hush!" protes Ika mendorong tubuh Indi. Indi mendecak tidak
suka. Giliran Ika minta dimanja.
"Peluuuk~"
dan Ardi tidak kuasa menolak permintaan sang istri. Terdengar suara pura-pura
muntah sebelah mereka. Tanpa melihat Ika tau itu suara siapa.
"Jangan
minum es, udah malam. Jangan jelalatan dan jangan pulang lama-lama karena kita
akan lanjutkan yang tadi tertunda...oke!" ucap Ardi sebelum mengecup pipi
dan bibir istrinya mesra.
Indi yang
melihat adegan mesra itu tak kuasa untuk tersenyum.
Manis sekali.
Andai saja aku menemukan seseorang yang akan menerima aku apa adanya dan saling
cinta seperti kalian, pasti sangat menyenangkan.
Ika membawa
mereka berdua kesalah satu restoran mewah di hotel berbintang. Inilah nikmatnya
jadi istri pejabat, selalu mendapatkan fasilitas nomor wahid. Posisi Ardi yang
menjabat sebagai Kepala Cabang benar-benar dimanfaatkan istri 'sundel' nya ini.
"Abisin aja
terus duit Kak Ardi!" tuduh Indi.
Ika menyeringai
senang. "Makanya cari laki kaya macam kakak lu. Bahagia lahir
batin...HAHAHA!" namun sebelum Indi murka, Ika langsung menjelaskan sambil
masih tertawa pelan. "Voucher, Ndi. Voucher! Curigaan amat sih lu!
Ika langsung
menyeret Indi yang terbengong persis orang kampung melihat pemandangan kota di
malam hari dari balik jendela kaca.
"Indah,
Ka!" kagum Indi dan Ika tersenyum.
"Di sini.
Tepat dimeja ini, Kak Ardi melamar gue. Romantis kan?!" ucap Ika sambil
ikut memandang ke arah jendela. Tanpa sadar Indi mengangguk. Hatinya sedikit
tercubit saat menyadari, sampai saat ini saja pria pujaannya sama sekali tidak
menganggapnya spesial. Indi tersenyum miris. Kata-kata menyebalkan Reza tadi
pagi kembali terulang.
Ika melambaikan
tangan kearah pelayan yang langsung berjalan cepat kearah mereka. Ika terus
bertanya jawab dengan pelayan perihal menu dan mengambil keputusan untuk
menikmati sepotong daging empuk.
"Ndi, lu
pesan apa?" tanya Ika tanpa melepaskan matanya dari buku menu.
Baru saja Indi
akan memesan makanan saat matanya menangkap sosok seorang pria berbalutkan suit
mahal, sedang merangkul mesra dan sesekali berbisik di telinga seorang wanita
cantik bagai model. Wanita itu terlihat tertawa mendengar sesuatu yang
sepertinya sebuah gurauan yang diberikan pria tampan di sebelahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar