Entah mengapa cuaca seperti turut serta menghitamkan jiwanya. Sudah hampir satu jam pria itu hanya berdiri tegak, terdiam ditempat tanpa ada keberanian untuk mendekat.
Bola mata hitamnya hanya mampu menatap sendu gundukan tanah yang seakan menolak kehadirannya. Bahkan pria itu merasa jika nisan batu itu menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian.
Dengan sangat berat, Aryo menguatkan diri untuk menyeret kakinya mendekati peristirahatan terakhir seorang wanita. Wanita tangguh dan mulia yang pasti sangat membencinya.
Aryo jatuh berlutut disisi kuburan itu. Tangannya terkepal hingga buku jarinya memutih. Rasa sesak didadanya dengan cepat menyerbu. Rasa salah pun tanpa ampun menghantam dirinya. Penyesalan yang sia-sia.
Setelah empat tahun berlalu, baru kali ini pria tampan itu berhasil membawa tubuhnya untuk mendekat. Selama ini kakinya bagai terikat rantai dosa.
Dengan terbata pria itu mulai menyapa seorang wanita yang mungkin akan membunuhnya jika masih hidup. Yah, membunuhnya karena telah menyakiti putri yang telah dihadirkannya ke dunia dengan bertaruh nyawa.
"Ma..af...Aku sungguh-sungguh minta maaf..." isak Aryo dengan kepala tertunduk.
Dan hanya terdengar isak tangis tertahan yang menjadi latar keheningan pemakaman itu. Aryo tidak bisa berkata apapun lagi selain menangis dihadapan pusara bertuliskan nama 'Suci Zuraida'.
Lelah. Wajah tampan itu semakin terlihat memucat dan lesu. Semua emosi diluapkannya dalam tangisan tanpa suara didepan makam ibu dari wanita yang telah dia sengsarakan. Namun tak dipungkiri terbersit rasa lega walaupun sedikit. Rasa lega karena Aryo bersumpah didepan pusara itu jika dia akan membahagiakan Hana dengan tangannya sendiri.
Namun semua itu tetap sia-sia bukan jika...
"Maaf, Pak. Saya masih belum mendapatkan kabar tentang keberadaan nona Hana." ucap seorang pria yang tidak lain adalah supir sekaligus tangan kanannya, begitu Aryo mendudukkan diri.
Helaan napas pelan mengalun dari celah bibirnya. Empat tahun. Yah, sudah empat tahun prioritas utama Aryo dalam hidupnya adalah mencari mantan tunangannya.
Cinta? Atau hanya rasa bersalah. Aryo sama sekali tidak mau repot-repot memikirkan perasaannya saat ini. Yang terpenting adalah Hana. Dia harus segera menemukan wanitanya itu. Entah mengapa rasa hangat yang menggelitik hatinya selalu terasa saat membayangkan Hana kembali kepelukannya. Jika ini benar rasa cinta? Aryo harus segera menemukan wanita itu untuk memastikannya.
"Terus cari. Dan sampaikan berita sekecil apapun padaku tentang Hana." ucap Aryo datar tanpa melepas pandangannya dari pintu taman pekuburan.
"Dimana kau? Sayang..."
-------------------------------------------------------
Derap langkah kaki-kaki kecil terus berderai hingga wanita tua dibelakang mereka semakin kesal saja.
Mulut wanita itu terus saja berteriak memanggil anak-anak manis namun nakal itu.
Bukannya takut dan berhenti, mereka malah semakin kencang tertawa. Tepatnya menertawakan Bibi Yi yang mengejar mereka dibelakang dengan napas yang sudah mau habis.
Apa yang ditakutkan anak-anak ini dari sayur sawi. Melihat hijaunya sayur ini seperti melihat setan saja. Padahal rasanya enak. Keluh Bibi Yi masih mengejar dengan napas yang semakin tersengal-sengal.
"Hah...hah...Aku tidak kuat lagi...kalian...menang..." Bibi Yi langsung mendudukkan dirinya dikursi terdekat, disambut dengan teriakan kemenangan anak-anak nakal itu.
"Ayo anak-anak manis yang Bibi sayang...sini makan sayurnya. Enak lho!"
Bagai kucing kecil manis yang dipanggil 'pus meong', serentak anak-anak itu langsung berlari mendekat kearah ibu peri mereka. Hana.
Bibi Yi mulai beranjak ikut berjalan mendekati segerombolan kucing yang sedang melahap sayur sawi yang tadi diperjuangkannya. Semakin dekat wajah tuanya semakin mengerut. Cemberut plus kesal.
"Inilah yang aku tidak suka. Lihat!" Bibi Yi menunjuk kearah Doni. Bocah lelaki berumur empat tahun yang rela memakan sayur sawi walaupun raut tidak suka tergambar jelas diwajah kecilnya. Dan semua itu karena ibu peri Hana.
"Hanya kalimat pendek yang keluar dari mulutmu dan mereka langsung menurut, sok manis. Sedangkan aku saja harus mengejar mereka dari sejam yang lalu. Ini tidak adil!" lanjut Bibi Yi.
Hana tertawa pelan, "Maaf ya Bi. Sepertinya pesonaku masih lebih tinggi...aaww..." dan tawa Hana semakin berderai setelah menerima cubitan gemas dari bibi tersayangnya ini.
Indah. Hanya satu kata yang mampu melukiskan apa yang ditatap Bibi Yi saat ini. Tawa tulus Hana yang kembali mencerahkan wajah lusuhnya beberapa tahun yang lalu. Dan Bibi Yi selalu mengucapkan syukur pada Tuhan.
"Bundaaaaaa!!!!"
Teriakan dengan volume maksimal membahana keseluruh ruangan. Otomatis semua mata langsung mengarah pada sosok gadis kecil yang berlari cepat kearah sang bunda. Tiba-tiba saja gadis kecil itu sudah berada didepan Hana sambil merentangkan tangannya lebar-lebar.
"Jauh-jauh kalian dali Bundaku!" ucapnya lantang pada anak-anak yang lain.
Anak-anak itu hanya menatapnya malas dan kembali berkutat dengan sayur mereka. Dasar penguasa kecil. Siapa juga yang takut. Bibi Hana kan milik bersama.
Gadis kecil itu sedikit kaget saat tubuhnya terangkat dan jatuh kedalam pelukan bundanya.
"Anak gadis bunda jangan galak-galak yah..." Hana mencium pipi gembil itu dikanan dan kiri. Semakin manja gadis kecil itu menenggelamkan tubuh mungilnya masuk kedalam kepelukan sang bunda.
"Bunda kan punya adek. Ga boleh bagi-bagi..." gadis kecil itu memeluk Hana erat. Tidak rela.
"Iya. Bunda tetap punya adek Yuri kok. Tapi disini kan semuanya saudara jadi tidak apa-apa dong kalau yang lain baik sama bunda. Itu tandanya bunda disayang. Adek gak senang kalau bunda disayang...." Wajah bijaksana Hana langsung berubah menyedihkan. Bibi Yi hanya mendengus. Sejak Yuri, putrinya hadir kedunia ini Hana semakin pintar saja memanipulasi keadaan. Tapi itu berarti wanita malang itu telah kembali. Terima kasih Yuri, kau gadis kecil yang telah membuat ibumu 'hidup' kembali.
Tawa kembali berderai begitu sang gadis kecil menangis dan langsung menarik ibunya agar duduk ditengah bocah-bocah pemakan sayur. Oh! Yuri. Betapa sayangnya kau pada ibumu.
Namun tawa mereka perlahan terhenti saat suara tua lainnya mengalun lembut.
"Ayo anak-anak...cepat habiskan makanan kalian dan setelah itu langsung tidur. Besok kalian harus bangun pagi-pagi untuk menyambut tamu istimewa kita."
Hana beranjak dan mendekati wanita itu. Dengan sopan diangkatnya punggung tangan wanita itu dan arahkan kekeningnya. Wanita tua itu tersenyum dan mengusap pelan kepala Hana.
"Iya Nek. Setelah makan, Hana akan menyiapkan anak-anak untuk segera tidur. Tadi mereka agak rewel karena sayur sawi..." Hana tertawa saat suara protes anak-anak menggema dibelakangnya. Dan apakah suara tawa nyaring itu milik putri kecilnya. Dasar nakal.
"Kalian ini! Harus berapa kali Nenek bilang untuk tidak menyusahkan Ibu Yi dan Bibi Hana. Nanti kalau mereka pergi karena kenakalan kalian bagaimana? Hah?!" ucap Nenek Dana tegas.
"Iya, Nek!" jawab anak-anak lesu. Sunggung mereka tidak mau jika Hana dan Bibi Yi pergi dari sini. Mereka sudah terlanjur menyayangi kedua wanita itu. Dan lagi jika Yuri ikut pergi, siapa lagi yang akan mereka usili nanti.
Lama-lama Nenek Dana tidak tega juga menatap wajah-wajah kecil nan menyedihkan didepannya. "Hah..." Nenek Dana menghela napas sebelum melanjutkan, "...jika kalian cepat makan dan tidur sekarang....besok kalian Nenek izinkan makan es krim."
"HOREEEEEE!!!!"
Dan pembicaraan itu langsung ditutup dengan perlombaan makan cepat.
-------------------------------------------------------
Kekesalan itupun langsung dilampiaskannya pada pintu mobil. Sopirnya saja sampai terlonjak kaget.
"Enggak, Ma. Aku gak banting pintu!"
Pria itu memejamkan mata dan menghempaskan belakang kepalanya kesandaran kursi. Menahan kekesalan karena tidak mungkin melawan. Mau mati durhaka dia melawan ibunya sendiri. Dengan dalam ditariknya napas berusaha mengatasi rasa kesal yang menggumpal didadanya.
Bagaimana dia tidak kesal. Sudah harus dipaksa sang ayah untuk kembali ke Indonesia dan mengurus para manusia 'tamak' diperusahaan. Seakan dia belum cukup repot, ibunya malah menyuruh agar mewakili kunjungan ke panti asuhan yang telah lama disantuni ibunya. Dengan alasan 'mumpung kamu lagi disana.' Dan yang paling membuatnya kesal maksimal adalah kedua orang tuanya menyuruh dia untuk melakukan ini dan itu sedangkan mereka sedang bersenang-senang di Paris.
"Iya iya baiklah. Gak bisa nolak juga ka..." Valdie langsung menjauhkan ponselnya saat teriakan ibunya membahana diseberang sana.
"Iyaaaa....Maaaa...Valdie langsung kesana kok malam ini. Oke! Jadi jangan marah-marah lagi nanti keriputnya nambah lho! I love u..Ma!"
Klik.
Dan Valdie langsung menekan lambang merah dilayar ponselnya. Lama-lama bisa tuli beneran jika diteriakin ibunya terus.
"Tuan. Apa kita kepanti sekarang?"
Valdie melirik supirnya sekilas, "Besok siang saja. Aku capek." Mengabaikan fakta jika anak-anak panti menunggu kehadiran tamu istimewa mereka...dipagi hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar