Baru saja Indi meletakkan masakannya diatas meja makan, suara bel berbunyi. Indi buru-buru melepas sarung tangan anti panasnya dan sedikit merapikan penampilan.
Indi membuka
pintu dan senyumnya merekah saat mendapati seorang pria tampan dan ganteng
diatas rata-rata dan syukurlah itu pacarnya, sedang tersenyum menatapnya.
Didadanya ada setangkai bunga mawar.
“Untuk pacar
yang cantik dan seksi.” Reza memberikan bunga itu dan Indi menerimanya dengan
malu-malu badak. “Makasih.”
Dengan santai
Reza mendekat, menarik pinggang Indi dan mencium bibirnya lama. Mereka begitu
hanyut sampai melupakan seorang gadis yang menatap mereka dengan malas dan
sedikit kesal.
“Please kak
Reza, kita masih diluar lho. Bisa sabar dikit ga?”
Reza melepas
ciumannya namun tetap memandang mata Indi lembut, “Enggak, ini udah diujung.”
“Ujung kulon
kaleee!” Nala menyelinap ketengah dan memutus pelukan Reza dan Indi.
“Hai kak Indi.”
Sapa Nala ceria.
“Hai Nala.”
Walau terdengar ceria, Indi masih dapat melihat sirat sendu dan rasa bersalah
dimata Nala. Tidak tega Indi memeluk gadis itu dan mengajaknya masuk,
mengabaikan Reza yang terlihat tidak terima.
“Kita makan dulu
yuk, aku udah masakin capcay ayam dan telur ceplok balado. Ada pudding coklat
juga buat desert.” Indi mengajak tamunya ke meja makan.
“Mauuu….”
“Mau!”
Reza dan Nala
bertatapan seperti mengeluarkan laser dari mata masing-masing. Indi merasa
sepertinya ada persaingan antara Reza dan Nala atau hanya perasaannya saja.
“Ya udah yuk
makan.”
Hampir satu jam
mereka di meja makan. Dihiasi permintaan nasi tambah beberapa kali dari Reza
dan Nala. Perebutan kembang kol dan Nala yang merebut kuning telur terakhir
Reza. Indi sebagai penonton hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. Dan
akhirnya makan malam hari ini dapat berakhir juga dengan tenang setelah Indi
menjatah pudding untuk tamu-tamunya.
Dan setelah
perut kenyang dimulailah sidang yang diketuai oleh Indi. Reza duduk
bersebelahan dengan Nala. Mereka dan Indi dibatasi oleh sebuah meja kecil. Indi
bagai hakim yang akan mendengar perkataan dari terdakwa dan saksi.
“Silahkan, waktu
dan tempat saya persilahkan!”
Nala menggigiti
bibirnya dan sesekali melirik ke Reza meminta bantuan. Matanya sudah berair
padahal persidangan baru saja dimulai. Sedang yang dilirik pura-pura tidak
lihat dan sibuk mencari apakah didekatnya ada si kecoa putih atau tidak.
“Aku menunggu…”
suara Indi membuat telapak tangan Nala semakin berkeringat.
“Jadi gini kak…”
Nala bangkit dan pindah duduk kesebelah Indi namun dengan cepat Reza menarik
tangannya sampai gadis itu terjungkang kembali keposisi awal.
“Ga usah pake
pindah-pindah segala. Cerita aja disini!”
Kalau tidak
melihat langsung kasarnya Reza pada Nala mungkin dia sudah cemburu dengan
situasi ini. Yang ada Indi malah kaget.
“Sakit, bego!”
Bego?
Nala kiyowo ngomong
toxic?
“Lo duduk aja
disini, ga usah pake deket-deket Indi!”
“Ini, ini ada
apa sih? Kalian kenapa sih?!” Indi sudah sangat bingung dengan situasi ini.
Otaknya tidak sampai.
Akhirnya mau
tidak mau Reza turun tangan, menghela nafas lelah dia pun menggantikan Nala
yang masih mau menyembunyikan segalanya.
“Nala
itu…ehm…suka perempuan.” suara Reza mengecil diakhir kalimat
“Dan sepertinya
curut ini suka padamu.”
“Bukan seperti
tapi memang suka. I Love You, Kak!” Nala membuat symbol hati dengan jarinya.
Hah?
Apa?!
Nala tertawa pelan, ada nada getir
tersamarkan dibalik keceriaan gadis itu. “Tadaa…surprise…hehehe!”
Tidak mendapat
respon apa-apa dari Indi, Nala menunduk tersenyum miris. Kemudian perlahan
mengangkat kepalanya menatap lurus pada Indi. Sedangkan Indi hanya terdiam
memandang meja didepannya.
“Kak..”
Nala menggaruk
kepalanya. Bagaimanapun ini salah. Siapa sih yang bakal menormalkan kelainan
gilanya ini. Tidak ada. Bahkan teman-temannya pun tidak. Sahabat yang katanya
selalu bersama dalam suka dan duka mulai menjauhinya karena takut dia cintai.
Ternyata benar, cintanya menjijikkan. Sekali lagi Nala tersenyum miris.
Dan Reza menjadi
serba salah. Dia tidak punya bakat menghibur jenis curut disebelahnya ini.
“Hah,
syukurlah!” Indi menutup wajahnya dengan tangan dan bersandar lemas disofa.
“Hah?” ini Reza.
“Kakak bersyukur
aku begini?”
“Bukan-bukan...”
Indi langsung meralat perkataannya yang ambigu. “…maksudku bukan begitu. Aku,
tidak tau bagaimana mengatakannya…hanya saja aku sedikit lega…”
Nala yang
mengerti maksud Indi tersenyum geli. “Kakak takut aku merebut Kak Reza? Tenang
saja kak itu tidak akan terjadi. Aku jamin, aku sama sekali tidak suka dengan
burung merak ini!”
Reza berdiri dan
pindah kesebelah Indi, “Kali ini jangan coba-coba berani berulah lagi, curut!”
“Kenapa, takut?”
“Memang kenapa?”
Indi masih belum login dengan pembicaraan antara dua teman kecil ini.
“Si curut ini,
entah kenapa selalu memiliki tipe cewek yang sama denganku, sudah beberapa kali
dia merebut pasanganku. Tapi aku tidak perduli karena memang menganggap mereka
selingan tapi kali ini aku tidak akan mengalah!”
Nala nyengir
ingin mengusili Reza dan memandang Indi, “Kak, jujur, Kakak suka padaku tidak?”
dan setelah semua terbongkar Nala merubah duduknya yang awalnya manis sekarang
salah satu kakinya tertekuk naik, tangannya juga merentang lebar dibahu sofa,
persis seperti abang abang di warung kopi.
“Suka, dari awal
aku suka. Ada gadis manis yang wajahnya memerah karena habis berlari, rambutmu
juga saat itu agak berantakan jadi semakin kiyowo…” Indi mengingat awal pertama
dia bertemu Nala.
“…kau juga manja
minta disuapin kue…hehehe, aku jadi merasa punya adik kecil. Dan pengakuanmu
tadi sama sekali tidak membuat perasaanku berubah. Sungguh!” Indi membuat tanda
V dijarinya.
Indi sama sekali
tidak sadar jika perkataan tulusnya membuat wajah Nala memerah dan jantungnya
berdetak cepat. Oh tidak. Indi benar-benar membuat dadanya sakit dengan rasa
yang menyenangkan. Padahal niatnya tadi hanya ingin menjahili Reza.
Namun sayangnya
Reza sangat amat menyadari itu.
“Kita pulang,
Nala!”
“Tapi…aku
masih…”
“Pulang!”
Reza mencium
ringan bibir Indi, “Aku pulang dulu, ya!”
Nala menggigit
bibirnya menahan gejolak menyebalkan yang kini memenuhi hatinya saat melihat
Reza mencium Indi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar