Aryo menatap malas pada ayah dan ibunya. Apakah ajakan mereka hanya sebuah jebakan dan Aryo sudah terperangkap di dalamnya. Bagaimana bisa Andini ikut mereka ke Singapura. Alasan jika dokter muda itu adalah dokter yang akan mendampingi ibunya terasa sangat omong kosong. Apa lagi rencana ibunya kali ini. Aryo benar-benar kecewa.
“Ibu kan didalam lama nih, kalian bisa sekalian jalan-jalan selagi nunggu Ibu selesai, gimana?
Aryo hanya menghela nafas kasar, berbalik dan melangkah pergi tanpa mengatakan apapun. Jujur dia malas berbicara dengan Ibunya saat ini.
“Mas Aryo, tunggu!” Andini mengejar Aryo yang semakin menjauh.
Dokter Yudha hanya bisa melihat punggung mereka, namun bisa ditebak jika saat ini hati putranya itu sedang tidak baik-baik saja.
“Sudah kubilang ini bukan ide yang bagus, Ka.”
Ika menatap suaminya dengan pandangan serba salah, “Aku hanya berharap Aryo bisa kembali seperti dulu, Mas. Sekarang Aryo seperti boneka yang dikasih nyawa. Sampai kapan dia mau mencari Hana, Mas. Ini sudah hampir lima tahun!”
Yudha mengusap-usap punggung istrinya. Setelah Ika memberitahu dia jika Aryo menolak perjodohan dengan Andini karena sedang mencari Hana, cukup membuatnya kaget. Seingatnya dulu Aryo bahkan lebih marah dan kecewa saat Hana berhubungan dengan pria lain. Bahkan Aryo langsung setuju pertunangan mereka batal. Namun putranya sudah dewasa, apapun jalan yang diambil pasti sudah atas pemikiran matang dan sebagai orang tua jujur dia tidak mau ikut campur, tapi sepertinya istrinya punya pemikiran lain.
Mata Yudha kembali melihat kearah Aryo dan Andini yang sekarang sudah tidak terlihat lagi.
“Mas Ar, tunggu.”
Aryo mengabaikan Andini yang terus memanggil bahkan dia tidak mau repot-repot berhenti atau hanya sekedar mengurangi kecepatannya. Sejak dulu Aryo memang menuruti apapun kata kedua orangtuanya tanpa paksaan. Dia malah merasa itu hal yang wajar dan harus dilakukan seorang anak kepada orangtuanya namun Aryo bukanlah tipe yang mau diatur jika dia memang tidak mau. Seperti situasi saat ini. Aryo bahkan mengabaikan kehadiran Andini sejak awal mereka berangkat.
Andini merasa senang saat langkah Aryo memelan, padahal pria itu hanya ingin duduk di sebuah kursi taman yang terbuat dari kayu. Nafas Andini putus-putus saat sudah berada di depan Aryo. Dengan gugup gadis itu mendudukkan dirinya disebelah Aryo namun tetap memberi jarak kesopanan.
“Wah, cuacanya bagus ya?”
Aryo yang sudah mengenakan kacamata hitamnya sejak keluar dari rumah sakit hanya menatap ke depan tanpa berkomentar apapun. Tangan pria itu disenderkan dipegangan kursi dan satunya dia biarkan diatas pahanya sedangkan kakinya menyilang santai. Siang ini Aryo mengenakan kaos putih berkerah yang dipadukan dengan jeans hitam. Karena akan keluar negeri ibunya memaksa Aryo untuk merapikan segala macam rambut yang ada di kepala pria itu, alhasil Aryo kehilangan brewok yang tanpa sadar dia pelihara.
Andini menatap bangga sosok Aryo lama, menikmati dan merekam keindahan seorang pria yang akan menjadi calon suaminya kelak. Sangat bahagia, itulah yang Andini rasakan saat ini. Seorang pria sempurna yang selama ini hanya mampir dalam mimpi dan jauh dari jangkauan kini ada didepan matanya. Lihat saja bukan hanya dia yang terlena dengan pemandangan ini. Semua orang yang melewati mereka terutama perempuan pasti akan tertegun beberapa detik atau kembali menoleh menatap sosok Aryo yang sangat mencolok. Kulit putihnya bagai memantulkan cahaya matahari dan baju putih yang dipakai membuat pria itu semakin bersinar.
“Mas, selagi menunggu Ibu Ika kita mau kemana?” Andini mencoba menarik perhatian Aryo yang sedari tadi hanya diam.
“Bukankah kau disini untuk menjadi dokter pendamping? kenapa tidak lakukan saja tugasmu?” Yah, inilah Aryo yang sebenarnya. Dia tidak akan menahan diri kepada orang yang sejak awal sudah tidak dia sukai. Apalagi perempuan yang berkedok kerja namun punya niat lain didalamnya.
“A..itu tadi kata dokter Yudha untuk hari ini beliau yang akan mendampingi, jadi aku…”
Ucapan Andini terhenti saat Aryo menghela nafas kasar, “Aku tidak akan mengatakan untuk kedua kali jadi pasang kupingmu dan dengarkan…” Aryo melepas kacamatanya, tubuhnya sedikit maju dan menatap Andini lurus. Wanita itu tanpa sadar menahan nafasnya saat atensi Aryo penuh kepadanya.
“Jika kau mengharapkan ada hubungan yang berlanjut antara kita berdua maka jawabannya adalah tidak. Kita tidak akan kemana-mana. Tapi kalau ambisimu memang ingin menjadi direktur rumah sakit silahkan, aku tidak akan menghalangi. Tapi jika niat yang ada dipikiranmu itu termasuk mengikatku maka dengan tegas aku katakan, Tidak! Dan asal kau tau Ibu juga tidak akan bisa memaksaku.” Aryo kembali menyenderkan tubuhnya kesandaran kursi.
“Kau juga tidak kusalahkan sepenuhnya karena sudah terlibat dalam rencana ibuku dan percayalah kau tidak spesial. Sudah ada perempuan-perempuan lain sebelum kau yang juga masuk ke rencana itu namun hasilnya tetap sama, Nihil!”
Kepala Andini tertunduk. Sungguh dia merasa sangat malu. Keyakinan yang sudah mengakar dihatinya sejak sebulan yang lalu kini dicabut dengan paksa. Andini bukanlah orang bodoh yang tidak paham situasi. Pria didepannya ini tidak pernah menganggap dia ada, bahkan mungkin tidak masuk jarak pandangnya. Aryo tidak ingin mengenalnya, tidak ingin berlama-lama dengannya, dan Andini cukup tahu diri. Namun tetap saja ada rasa sakit dan rasa penasaran yang mencokol dihati wanita itu.
“Apa Mas Aryo sudah punya kekasih?”
Aryo tertegun sejenak. Dikepalanya langsung muncul sosok Hana yang sedang tersenyum dan kemudian ingatan itu tergeser paksa kesaat Hana menangis pilu dan kesakitan. Aryo memejamkan matanya, rahangnya mengeras menahan segala macam emosi yang kembali terangkat.
“Bukan urusanmu, dan sebaiknya kau kembali ke Jakarta sekarang. Sudah tidak ada gunanya kau disini.” Aryo bangkit dan pergi meninggalkan Andini yang masih terduduk di kursi taman.
Aryo tidak langsung masuk kembali kedalam rumah sakit. Pria itu hanya berputar-putar tidak tentu arah. Dia hanya ingin menghabiskan waktu sendiri tanpa diganggu oleh siapa pun.
Langkahnya perlahan berhenti saat melihat kios penjual aksesoris. Bentuk yang lucu dan manis cukup menarik perhatiannya.
‘Bukankah Hana punya seorang anak perempuan?’
Aryo mendekati kios aksesoris itu dan melihat-lihat bentuk yang dia anggap menarik. Namun sampai beberapa menit dia masih belum menemukan yang cocok. Diambil. Diletakkan lagi. Ambil. Letak. Begitu terus sampai penjual kios penasaran.
“Boleh, apa yang bisa dibantu?”
“Ah, saya mencari aksesoris untuk anak perempuan, tapi masih bingung.” Aryo menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Hilang sudah sosok sinisnya saat bersama dengan Andini tadi.
“How old, ah?” Tanya si bapak penjual sambil memilih-milih gelang dan ikatan rambut.
“4 Tahun.”
Bapak penjual kios menepuk tangannya, “Aduhai, anak perempuan empat tahun, ya? Banyak pilihan aksesoris yang comel dan cute untuk umur segitu! Ini, cantek, ah?
Aryo menatap dua benda yang ada ditangan penjual kios, di kanan ada ikat rambut berwarna putih dengan hiasan boneka beruang kecil berwarna coklat dan ditangan kirinya ada gelang etnik berwarna biru muda dengan hiasan bintang-bintang yang sangat lucu.
“Saya ambil dua-duanya dan tambah ini, ini, ini…” merasa belum cukup Aryo kembali menambah barang belanjaannya yang semakin membuat si penjual tertawa lebar.
Akhirnya belanjaan Aryo jadi banyak. Dengan santai pria itu menenteng dua paper bag yang berwarna feminin dan bermotif lucu. Entah kapan dia akan memberikan semua ini pada Hana dan putrinya. Semoga saja dalam waktu dekat. Jujur Aryo sudah tidak sabar kembali ke Jakarta dan langsung berangkat ke Pandeglang.
Kakinya melangkah mendekati ruang chek up ibunya. Pintu masih tertutup yang menandakan ibunya belum selesai. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Andini disini. Mudah-mudahan perempuan itu sudah pergi dan tidak mengganggunya lagi. Aryo duduk dikursi tunggu dan meletakkan belanjaannya dipaha. Dengan senyum geli dia melihat semua aksesoris yang dibeli tadi. Sepertinya si bapak penjual bisa langsung pulang karena Aryo hampir memborong semua dagangannya.
Perlahan pintu ruang pemeriksaan terbuka dan Aryo kembali memasukkan belanjaannya ke paper bag. Dia meletakkan paper bag itu dikursi dan beranjak membantu ibunya. Ayahnya masih berkonsultasi dengan dokter sambil berjalan dibelakang.
Dokter Yudha mengucapkan terima kasih dan pamit kepada dokter tersebut.
Ika yang sadar jika Aryo hanya sendiri mulai melihat kesekelilingnya, “Andini dimana, Ar?”
Aryo hanya menaikkan bahu, “Ga tau, tadi pisah diluar. Kita balik ke hotel sekarang, Yah?”
“Iya, Ibumu harus istirahat. Ayah juga masih capek. Untung saja acaranya diundur besok.” Pak Yudha menahan tubuh Ika, “Sayang, pakai kursi roda aja ya?” dan lagi-lagi Ika menggeleng, “Ga mau, udah mirip orang sakit. Aku kan cuma chek up bukan sakit dan Ar…”
Aryo yang kembali ke kursi untuk mengambil paper bag menoleh saat dipanggil, perasaannya tidak enak.
“…coba kamu telpon ponselnya Andini, tanya dia dimana?”
Benar kan?
“Paling balik ke hotel duluan, Bu. Aku kirim pesan aja ya?” tanpa menunggu jawaban ibunya Aryo mengirim pesan ke Andini mengatakan jika ibunya sudah selesai dan mereka kembali ke hotel.
Dokter Yudha menatap aneh pada dua paper bag berwarna manis seperti kue yang ada ditentengan tangan Aryo. Kombinasi yang sangat tidak cocok sekali.
“Kamu beli apa, Ar?”
Aryo mengangkat paper bag ditangannya dan menjawab tanpa beban, “Buat oleh-oleh. Ya udah Ayah dan Ibu tunggu di lobi ya, aku ambil mobil dulu.”
Sepeninggalan Aryo, Ika menarik sikut suaminya, “Kayaknya mood anakmu udah ga segelap tadi deh, Mas?”
Dokter Yudha menghela nafas lega. “Iya, tadi Mas juga kepikiran didalam, eh ternyata pas pulang Aryo udah keliatan baik-baik aja.”
Kedua suami istri itu mengucap syukur karena uring-uringan putranya tidak berlangsung lama. Namun dalam hati keduanya tetap merasa janggal dengan paper bag lucu yang dibawa-bawa Aryo. Tumben dia beli oleh-oleh sendiri dan tidak meminta sekretarisnya yang memesan seperti biasa.
Dan kenapa pula oleh-olehnya seimut itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar