Senin, 13 Oktober 2025

10_MHB



Suara bel pulang terdengar diseluruh penjuru sekolah. Jiwa-jiwa murid yang seolah sempat terlepas kembali hidup. Suasana pulang sekolah memang selalu lebih meriah dari konser apapun.

Semua anak dengan semangat kemerdekaan membereskan buku dan tas mereka dengan kecepatan super. Tak terkecuali Okta, walau terlihat santai dan malas namun jika diperhatikan gerakan tangannya jauh lebih cepat dan semangat dari murid lain.

Brak!

Semua mata langsung memandang ke pintu dengan kaget. Seolah dejavu, Ryan kembali muncul dikelas mereka. Namun kali ini dia hanya datang sendiri tanpa ditemani dayang-dayangnya. Fokus Okta langsung kembali kebuku dan tasnya, kembali beres-beres namun dia melipat bibir menahan senyum. Dia tahu maksud kedatangan Ryan kali ini.

Perlahan Ryan masuk tanpa melepas matanya kearah Okta. Setelah dekat pria itu langsung membungkukkan badan dan membuat seisi kelas tersentak kaget dan heboh dengan berbagai pertanyaan.

Apa yang terjadi?

Kenapa ketua preman sekolah membungkuk pada Okta?

Apa Okta sebenarnya adalah mafia?

Apa Okta berhasil mengalahkannya kemarin?

Apa Okta dan Ryan berpacaran?

Setelah selesai membereskan tasnya dengan santai Okta berbalik dan berhadapan dengan Ryan yang masih membungkuk.

“Kali ini apa lagi?”

Ryan menggigit bibirnya pelan. Matanya bahkan sudah memanas menahan rasa malu.

“Kak Okta, mohon bimbingannya!” Ryan bersuara keras sampai semua murid dikelas bahkan diluar mendengar perkataannya, tak terkecuali Dash. Dia bahkan mengambil foto dari kejadian fenomenal ini. Sedikit memberi editan dan kirim ke grup keluarga.

‘Kak Okta ditembak’

‘Wah, Selamat!’, Nove adalah pemberi komentar pertama.

Ryan akhirnya kembali berdiri tegak karena Okta tidak mengatakan apapun selain pertanyaan tadi, namun kepalanya masih tetap menunduk. Gengsinya masih terlalu besar untuk melakukan hal ini.

“Kak…”

“Pfftt!”, Okta kembali melipat bibirnya namun gagal. Kenapa pula si ketua preman ini jadi memanggilnya ‘kak’, udah mirip ketua mafia di film China saja.

Ryan mengabaikan tawa tertahan Okta tadi. “Kak, kemarin Kak Okta bilang mau bimbing aku untuk bentuk badan kan? aku mau nagih janji kakak!”

Okta memejamkan mata sambil meringis. Sifat sok pahlawannya kadang suka tiba-tiba muncul dan sekarang dia terjebak kata-katanya sendiri.

‘Sial, kenapa bocah ini ingat!’

Dan kenapa pula bocah gila ini sampai menjemputnya segala, kan Okta bilang ketemuan di lapangan saja walaupun sepertinya dia akan melewatkan karena lupa.

Okta membuang pandangannya kearah lain dan menemukan jika adik gilanya sedang tersenyum puas diluar kelas.

‘Double sial!’

“Oke-oke! Sebagai lelaki sejati gue ga boleh ingkar janji…” Okta melirik kearah Dash yang pura-pura muntah.

“Tapi lebih baik kita pindah. Disini terlalu ramai.” Okta berjalan santai keluar kelas, Ryan langsung mengekori dari belakang.

Saat melewati Dash, Okta sempat-sempatnya menyentil jidat adiknya itu dan langsung kabur sebelum Dash sadar.

Setelah agak jauh Okta berbalik dan mendapati tatapan membunuh Dash sambil menunjuk hapenya. Sambil nyengir pria itu melihat ponselnya dan membaca pesan digrup keluarga.

Ada foto kejadian dikelas tadi dengan caption ‘Kak Okta ditembak’.

“Bangs…”

“Kenapa, Kak!” Ryan bertanya karena melihat Okta mau membanting hapenya.

“Diem lo. Ga usah komen!”, Ryan langsung menutup menutup mulutnya karena Okta memandangnya dengan kesal seolah dia punya dosa. Apa salahnya?


Sesampainya di lapangan olahraga Okta langsung melepas tasnya dan Ryan refleks langsung menangkap agar tas itu tidak jatuh ke tanah. Dengan cepat Ryan meletakkan tas Okta kekursi kayu yang ada didekat mereka.

Okta mulai melakukan peregangan tangan dan kaki. “Ngapain lo berdiri disitu? Ikutin gerakan gue!”

“Sekarang, Kak?”

“Pas Tahun Kabisat! Ya sekaranglah, Once!” Okta yang mood-nya sudah jelek karena Dash semakin kesal karena lemotnya Ryan. Dia yang jemput sekarang malah nanya.

“’Eh, siap, Kak!”

Ryan mengikuti semua gerakan Okta sampai menggaruk hidung pun dia ikuti.

“Sekarang kita lari lima putaran lapangan ini. Pelan aja ga usah buru-buru!”

Ryan melihat luas lapangan bola dengan tatapan horor. “Se…serius, Kak?”

Okta menoleh malas. “Gue pulang nih!”

“Eh…iya, Kak. Siap!”

Dan Okta pun mulai berlari pelan seperti yang biasa dia lakukan tiap pagi sebelum berangkat sekolah. Ini adalah hal yang mudah untuknya tapi tidak untuk Ryan yang jarang berolah raga.

Ryan terlihat sudah hampir mampus diputaran kedua. Rohnya seperti sudah mulai tercabut dari ubun-ubun. Nafasnya bahkan sudah seperti orang kena asma. Walau begitu dia tetap menyeret kakinya mengikuti Okta yang sudah terlihat menjauh. Tekadnya buat jadi ganteng seperti Okta sudah sangat terekam kuat.

Okta berhenti dan berbalik karena terasa sepi seolah dia hanya berlari sendiri.

“Astaga!”

Ryan sudah terkapar lemas dibelakang. Okta langsung meringis merasa bersalah. Sepertinya lima putaran terlalu berlebihan diawal. Dia sudah membuat anak orang pingsan setengah mampus.

Okta berlari kecil kearah Ryan yang sudah sepucat mayat namun masih bisa bergumam,

“Ganteng…ganteng…ganteng…” dengan suara yang hampir hilang.

Okta berdecak sambil menggelengkan kepala. Dengan malas dia menarik tangan dan menahan punggung Ryan, membantu adik kelasnya itu berdiri.

Dengan pelan dipapahnya tubuh gempal Ryan untuk duduk dikursi lapangan. Okta tidak merasa berat sama sekali.

“Nih, minum!”

Dengan tangan bergetar, Ryan mengambil air kemasan dari tangan Okta.

“Lo ga pernah jogging ya? Baru dua setengah putaran udah tepar begini?!”

Ryan tersenyum malu sambil mengusap hidungnya yang sudah berair. “Jarang, Kak. Terakhir dua bulan lalu, sama Papa di Kebon Raya.

“Elah, Kebon Raya? Itu mah piknik bukan olahraga!”

Okta memandang Ryan yang terlihat menyedihkan dengan keringat mengucur seperti air terjun. “Lo masih bisa lanjut, besok-besok?”

“Masih Kak, masih! Jangan stop, ya Kak!” Ryan berdiri namun terduduk kembali karena kakinya masih seperti jelly.

“Ya udah, besok gue buat program khusus buat lo. Serius ya…awas kalo ga!”

“Siap, Sensei!” “Hah?!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...