Sabtu, 11 Oktober 2025

31

Indi tidak memberitahu apa pun kepada Reza tentang kedatangan Nala dirumahnya. Ini adalah permintaan gadis manis itu sebelum kembali ke China. Sepulang dari dinas luar kota selama dua hari yang awalnya ditolak Reza karena tidak mau berjauhan, Indi menyetujui permintaan Nala yang ingin pamit.

Nala memandang wajah Indi lama, membuat gadis itu gelisah. Seakan Nala ingin merekam sosok Indi secara keseluruhan untuk dia jadikan memori yang indah. Baru kali ini dia merasakan perasaan yang begitu dalam kepada seseorang. Belum dimulai tapi sudah patah hati. Kalau bukan karena Reza adalah sahabat masa kecil dan orang pertama yang tahu orientasi seksualnya dan tidak menjauhinya, Nala sudah merebut Indi darinya. Dia akan melakukan apapun untuk membuat Indi mencintainya. Apapun.

“Makasih ya, kak. Udah mau ngabulin permintaanku. Kakak orang kedua yang tidak menjauhiku setelah si merak itu.” Nala terkekeh.

Indi mengangguk dan tersenyum, “Ga ada alasanku membencimu Nala. Iya kalau pribadi dari aku sudah jelas itu salah tapi kan setiap orang punya pilihan hidup. Dan aku yakin Tuhan sudah menentukan jodohmu Nala, jujur aku tetap berharap itu…pria..” Indi tidak mau menutupi penilaiannya karena seorang teman harus jujur dan bukan berbohong demi memuaskan hati orang lain.

Nala menganggung pelan dan tersenyum puas, “Aku juga berharap Tuhan memberikan yang terbaik untukku, Kak. Jadi kita tetap berteman kan?”

“Tentu saja, kau bisa datang kapan pun kalau lagi di Jakarta.”

“Boleh kupeluk?”

Indi menepis rasa ragu yang sempat mampir. “Boleh.”

Nala memeluk erat sampai Indi terangkat. Keduanya tertawa kencang.

“Aku jadi haus.” Suara Nala agak serak karena tertawa kencang.

“Teh mau?”

“Mau!” Nala mengekori Indi ke dapur.

Selagi Indi mempersiapkan cangkir dan teh, Nala membuka kulkas dan mengambil sebuah apel yang langsung dia gigit tanpa dicuci dulu. Mata Nala menangkap sesuatu yang tidak asing dijejeran kotak teh dan kopi yang tersusun rapi dilemari.

“Kak, ini apa? buat apa?”

Indi melihat kotak kecil yang dipegang Nala. Sendok yang ada ditangannya jatuh. Kepalanya bagai dikerubuti semut imajiner. Mungkin tadi jantungnya juga sempat berhenti sedetik. Namun ketenangan tetap dia usahakan. Indi berusaha menenangkan jantungnya yang sedang memainkan nada drum lagu metal.

“Itu teh, memang kenapa?”

“Aku tau ini teh, tapi maksudku kakak pakai buat apa? Kakak tau teh ini buat apa?

Indi pura-pura biasa saja dan menggeleng, “Ya buat diminumlah masa buat luluran.”

Mata Indi melotot dan mulutnya mangap-mangap seperti ikan mau mati saat melihat Nala dengan cepat membuang teh bersama kotaknya ke tempat sampah.

“Kakak beli dimana teh berbahaya ini?”

“Online, katanya enak jadi aku beli.” Indi mencoba keberuntungannya dalam berbohong.

“Yang minum baru kakak aja kan? Kak Reza ga minum ini kan? Ini tuh udah jadi produk teh ilegal di China kak, karena ada yang jadi impoten permanen setelah istrinya memberikan teh ini setiap hari.” Nala terus berorasi dengan semangat menceritakan tentang teh yang ternyata sudah dia berikan beberapa kali kepada Reza.

Ya ampun!

Bunuh saja aku!

Bunuh saja Ika!

Reza, please jangan impoten…hiks…hiks!

 

 

“Hachuu!!”

Reza menggosok hidungnya yang tiba-tiba gatal.

Saat ini dia dan Arya sedang berada dirooftop kantor mereka. Berbicara dari hati ke hati sesama saudara. Memang Reza dan Arya selalu berusaha menyediakan waktu untuk deep talk. Kadang hanya sekedar ngobrol ringan, membahas pekerjaan atau yang berat seperti tentang cinta.

“Nih lihat.” Reza menyerahkan ponselnya ke Arya dan menunggu reaksi pemuda itu.

“Sialan! Hapus ga! Aku hapus aja sendiri!”

Reza tertawa melihat adiknya yang kalang kabut menghapus semua gambar yang dia ambil dulu. Kemudian sibuk mencari lagi kalau-kalau kakak jahilnya ini masih menyimpan foto atau bahkan video lainnya.

“Ternyata adek abang ini mesum juga ya?” dan Reza tertawa kencang saat Arya melemparnya dengan gumpalan tisu bekas. “Anak orang jahan dimainin, Ar.”

“Siapa yang main-main, aku serius kok sama Mia. Ayah juga udah tau.”

“Tapi Ibu kan belum.”

“Ya, situ juga sama kan?”

Dan keduanya menghela nafas lelah. Kembali memandang lampu-lampu kota yang berlomba-lomba menerangi malam.

Ponsel diatas meja bergetar. Arya melihat ponselnya dan melihat Ibunya lah yang sedang menelpon.

“Ya, Bu. Aku lagi sama Kak Reza…iya masih di kantor.”

“Hah…Indi?”

Kuping Reza langsung siaga saat mendengar nama kekasihnya disebut.

“Ya, ga tau. Udah pulang kali. Lagian Ibu kenapa nanya ke aku? Tumben?” Arya bingung dengan pertanyaan ibunya.

“Iya, bentar lagi juga pulang…kalo kak Reza kayaknya…” Arya melirik kakaknya meminta jawaban. Dan Reza memberi kode dengan jarinya.

“Kakak katanya balik ke apartemen, ga ikut kerumah.”

Reza samar-samar mendengar ibunya menyebut nama Indi lagi dan setelah mengucap salam Arya pun menutup telponnya.

“Ngapain Ibu nanya-nanya Indi, Ar?”

“Ga tau.”

Arya yang tidak peka dengan kedaan kembali meminum kopinya yang sudah dingin. Entah kenapa kali ini perasaan Reza tidak enak. Seperti akan ada yang mengejutkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...