Indi tidak memberitahu apa pun kepada Reza tentang kedatangan Nala dirumahnya. Ini adalah permintaan gadis manis itu sebelum kembali ke China. Sepulang dari dinas luar kota selama dua hari yang awalnya ditolak Reza karena tidak mau berjauhan, Indi menyetujui permintaan Nala yang ingin pamit.
Nala memandang
wajah Indi lama, membuat gadis itu gelisah. Seakan Nala ingin merekam sosok
Indi secara keseluruhan untuk dia jadikan memori yang indah. Baru kali ini dia
merasakan perasaan yang begitu dalam kepada seseorang. Belum dimulai tapi sudah
patah hati. Kalau bukan karena Reza adalah sahabat masa kecil dan orang pertama
yang tahu orientasi seksualnya dan tidak menjauhinya, Nala sudah merebut Indi
darinya. Dia akan melakukan apapun untuk membuat Indi mencintainya. Apapun.
“Makasih ya,
kak. Udah mau ngabulin permintaanku. Kakak orang kedua yang tidak menjauhiku
setelah si merak itu.” Nala terkekeh.
Indi mengangguk
dan tersenyum, “Ga ada alasanku membencimu Nala. Iya kalau pribadi dari aku
sudah jelas itu salah tapi kan setiap orang punya pilihan hidup. Dan aku yakin
Tuhan sudah menentukan jodohmu Nala, jujur aku tetap berharap itu…pria..” Indi
tidak mau menutupi penilaiannya karena seorang teman harus jujur dan bukan
berbohong demi memuaskan hati orang lain.
Nala menganggung
pelan dan tersenyum puas, “Aku juga berharap Tuhan memberikan yang terbaik
untukku, Kak. Jadi kita tetap berteman kan?”
“Tentu saja, kau
bisa datang kapan pun kalau lagi di Jakarta.”
“Boleh kupeluk?”
Indi menepis
rasa ragu yang sempat mampir. “Boleh.”
Nala memeluk
erat sampai Indi terangkat. Keduanya tertawa kencang.
“Aku jadi haus.”
Suara Nala agak serak karena tertawa kencang.
“Teh mau?”
“Mau!” Nala
mengekori Indi ke dapur.
Selagi Indi
mempersiapkan cangkir dan teh, Nala membuka kulkas dan mengambil sebuah apel
yang langsung dia gigit tanpa dicuci dulu. Mata Nala menangkap sesuatu yang
tidak asing dijejeran kotak teh dan kopi yang tersusun rapi dilemari.
“Kak, ini apa?
buat apa?”
Indi melihat
kotak kecil yang dipegang Nala. Sendok yang ada ditangannya jatuh. Kepalanya
bagai dikerubuti semut imajiner. Mungkin tadi jantungnya juga sempat berhenti
sedetik. Namun ketenangan tetap dia usahakan. Indi berusaha menenangkan
jantungnya yang sedang memainkan nada drum lagu metal.
“Itu teh, memang
kenapa?”
“Aku tau ini
teh, tapi maksudku kakak pakai buat apa? Kakak tau teh ini buat apa?
Indi pura-pura
biasa saja dan menggeleng, “Ya buat diminumlah masa buat luluran.”
Mata Indi
melotot dan mulutnya mangap-mangap seperti ikan mau mati saat melihat Nala
dengan cepat membuang teh bersama kotaknya ke tempat sampah.
“Kakak beli
dimana teh berbahaya ini?”
“Online, katanya
enak jadi aku beli.” Indi mencoba keberuntungannya dalam berbohong.
“Yang minum baru
kakak aja kan? Kak Reza ga minum ini kan? Ini tuh udah jadi produk teh ilegal
di China kak, karena ada yang jadi impoten permanen setelah istrinya memberikan
teh ini setiap hari.” Nala terus berorasi dengan semangat menceritakan tentang
teh yang ternyata sudah dia berikan beberapa kali kepada Reza.
Ya ampun!
Bunuh saja aku!
Bunuh saja Ika!
Reza, please
jangan impoten…hiks…hiks!
“Hachuu!!”
Reza menggosok
hidungnya yang tiba-tiba gatal.
Saat ini dia dan
Arya sedang berada dirooftop kantor mereka. Berbicara dari hati ke hati sesama
saudara. Memang Reza dan Arya selalu berusaha menyediakan waktu untuk deep
talk. Kadang hanya sekedar ngobrol ringan, membahas pekerjaan atau yang berat
seperti tentang cinta.
“Nih lihat.”
Reza menyerahkan ponselnya ke Arya dan menunggu reaksi pemuda itu.
“Sialan! Hapus
ga! Aku hapus aja sendiri!”
Reza tertawa
melihat adiknya yang kalang kabut menghapus semua gambar yang dia ambil dulu.
Kemudian sibuk mencari lagi kalau-kalau kakak jahilnya ini masih menyimpan foto
atau bahkan video lainnya.
“Ternyata adek
abang ini mesum juga ya?” dan Reza tertawa kencang saat Arya melemparnya dengan
gumpalan tisu bekas. “Anak orang jahan dimainin, Ar.”
“Siapa yang
main-main, aku serius kok sama Mia. Ayah juga udah tau.”
“Tapi Ibu kan
belum.”
“Ya, situ juga
sama kan?”
Dan keduanya
menghela nafas lelah. Kembali memandang lampu-lampu kota yang berlomba-lomba
menerangi malam.
Ponsel diatas
meja bergetar. Arya melihat ponselnya dan melihat Ibunya lah yang sedang
menelpon.
“Ya, Bu. Aku
lagi sama Kak Reza…iya masih di kantor.”
“Hah…Indi?”
Kuping Reza
langsung siaga saat mendengar nama kekasihnya disebut.
“Ya, ga tau.
Udah pulang kali. Lagian Ibu kenapa nanya ke aku? Tumben?” Arya bingung dengan
pertanyaan ibunya.
“Iya, bentar
lagi juga pulang…kalo kak Reza kayaknya…” Arya melirik kakaknya meminta
jawaban. Dan Reza memberi kode dengan jarinya.
“Kakak katanya
balik ke apartemen, ga ikut kerumah.”
Reza samar-samar
mendengar ibunya menyebut nama Indi lagi dan setelah mengucap salam Arya pun
menutup telponnya.
“Ngapain Ibu
nanya-nanya Indi, Ar?”
“Ga tau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar