Arya menatap kakaknya dengan sorot geli. Senyumnya tetap terlukis disela-sela kegiatannya meminum kopi. Untungnya gelas kopi menutupi aksi senyumnya itu. Jika kakaknya sampai melihat, itu buku super tebal yang teronggok di meja pasti akan mendarat di jidat gantengnya.
"Berdiri...abis
ini jalan...duduk lagi...berdiri lagi...hehehe!" tebak Arya yang
sepenuhnya benar.
Reza kembali
menghempaskan dirinya dikursi super empuk miliknya. Kali ini tebakan Arya salah
karena Reza bukannya berdiri tapi mengacak-acak rambutnya. Sudah dipastikan
jika kakaknya sekarang sangat frustasi atau setengah gila. Akhirnya Arya
mengalah pada rasa penasarannya. Dia menarik napas dan bertanya dengan
hati-hati.
"Ada apa
sih, Kak? Masalah Indi lagi?" tebak Arya
Reza menjawab
adiknya dengan tatapan membunuh. Dan Arya langsung ciut seketika.
"Kenapa kau
mengizinkannya cuti! Mana seminggu lagi!" cecar Reza
Arya langsung
memasang tampang tidak terima. Heran, dimana letak salahnya.
"Emang
salah? Kan sudah hak pegawai meminta cuti. Lagipula Indi baru kali ini minta
cuti, masa aku larang?!" Arya membela diri.
"Kau...uugh!"
Reza sudah benar-benar kesal maksimal. Benar kata adiknya. Tidak ada alasan
menolak cuti Indi. Semua pekerjaannya sudah selesai dengan sempurna dan Indi
tidak pernah meminta cuti dalam dua tahun ini. Tapi kan...tapi kan...bagaimana
nasibnya. Reza benar-benar membutuhkan Indi sekarang. SEKARANG.
"Lagipula
besok kan dia sudah masuk, emang sebegitu mendesaknya masalahmu, Kak?"
tanya Arya dan sebersit pemikiran hinggap dikepalanya, perlahan seringainya
terbentuk.
"Kak, kau
mau nembak dia yah?"
"AKU APA?!
tidak tentu saja tidak. Kau tau aku tidak sudi terikat dengan perempuan. Mereka
diciptakan hanya untuk kesenanganku bukan pasanganku!" bantah Reza yang
terlalu terburu-buru, mengundang kecurigaan adiknya.
"Termasuk...Indi?"
satu alis Arya terangkat curiga.
"I...itu...beda
kasusnya..." jawab Reza gugup
"...sudahlah
tidak usah dibahas lagi. Kenapa kau masih santai di sini. Sudah sana
kerja!" Reza yang bingung harus menjawab apa langsung memutuskan
pembicaraan secara sepihak.
Arya yang diusir
hanya mendengus kesal dan meletakkan gelas kopinya dengan sedikit dibanting.
Sebelum dia memutar kenop pintu, Arya berbalik.
"Sebaiknya
cepat ikat dia, Kak. Sebelum disambar orang, seingatku ada pegawai yang sudah
lama mengincarnya. HAHAHA!" goda Arya dan tertawa melihat wajah kakaknya
tiba-tiba memucat.
"Sial!"
maki Reza dalam hati.
Indi menatap
bangunan tinggi didepannya dengan horor. Entah kenapa dia merasakan firasat
buruk. Matanya memandang kebawah tepatnya kepakaian kerjanya untuk hari ini.
Kemeja longgar
tangan panjang...check!
Celana panjang
longgar bekas hamil Ika...check!
Rambut
digerai...check!
Sempurna, Indi
banjir keringat sekarang. Namun dia tersenyum puas melihat penampilannya. Mungkin
sampai sore nanti berat badannya bisa berkurang. Sauna, bro!
Akhirnya Indi
me-mantapkan hati. Terlalu lama diluar malah membuatnya semakin gugup dan juga
telat.
Tanpa terlihat
mencurigakan, Indi menyapu matanya keseluruh ruangan kantor dan bersyukur tidak
menemukan Reza dimanapun. Masa pengorbanannya untuk cuti dan tidak melihat Reza
sebagai multivitamin penambah tenaga harus sia-sia.
Dengan cepat dia
masuk keruangannya dan segera menutup pintu. Indi menghela napas lega.
‘Aman’
"Apa-apaan
pakaianmu itu?!"
"Astgjfhfhhdhs!!!
Betapa kagetnya
Indi mendengar suara seseorang dibelakangnya. Dan ini lebih parah dari hantu.
Dari suaranya saja Indi sudah tau itu milik siapa. Perlahan dia membalik
tubuhnya mengarah ke Reza. Yah, Reza. CEO-nya.
'Ngapain ini si
abang sayang disini?' batin Indi
"Bapak
sedang apa diruangan saya?" tanya Indi sopan dan berusaha mengalihkan
perhatian Reza.
Namun sial,
usahanya tidak berhasil sama sekali. Reza malah mendekat dan menarik tangan
Indi sampai dada mereka bertubrukan. Bidang bertemu empuk. Bahkan Reza sampai
menggeram menahan hasratnya.
"Kenapa
pakaianmu seperti ini?!" desak Reza
"Memangnya
ada masalah dengan pakaian saya, Pak?" jawab Indi langsung. Lama-lama
gerah juga pakaiannya dikomentari.
"Ikut
aku!"
Reza langsung
menarik tepatnya menyeret tangan Indi menuju keruang eksekusi. Yaitu ruangan
Reza yang tertutup rapat dan kedap suara.
Mati aku!
Sayang, perkosanya nanti malam aja. Jangan sekarang, belum sarapan.
Indi menggigiti
bibirnya selama perjalanan keruangan CEO yang terasa secepat The Flash. Apakah
keperawanannya akan direnggut pada jam tujuh pagi.
Lamunannya
langsung terhenti saat mendengat bantingan pintu dan
'Ya ampun, apa
pintunya dikunci?'
Reza melepaskan
cengkeramannya pada Indi. Indi langsung mengusap-usap tangannya. Sakit? sama
sekali tidak. Reza memegang tangannya lembut, yang kasar hanya tarikannya tadi.
Apakah diatas ranjang, Reza akan seganas itu. Pasti akan sangat menyenangkan,
pikir Indi.
Indi mengikuti
gerakan Reza yang melangkah cepat kearah sofa. Pria itu mulai mengendurkan
ikatan dasi dan dalam sekejap terlepas dari lehernya. Dengan terburu-buru dia
mulau membuka kancingnya, namun pada kancing ketiga dia berhenti dan menatap
heran kearah Indi yang mematung didepan pintu.
"Apa yang
kau lakukan disitu, kemarilah. Kita akan melakukannya lagi..."
Mata Indi
langsung membola. Ada campuran perasaan takut namun entah kenapa kakinya malah
melangkah perlahan mendekati sosok pria yang menunggu dirinya, Indi menangkap
senyuman lembut terpatri di bibir Reza. Tanpa sadar senyuman itu menulari
dirinya. Mata Indi mengikuti gerakan tangan Reza yang kembali bergerak membuka
kancing kemejanya saat dirasa Indi melangkah mendekat.
Sumpah. Jantung
Indi berdebar-debar. Bisa jadi sebentar lagi dadanya retak dan jantung itu akan
menerobos keluar karena begitu kencangnya. Tangannya bahkan sudah basah karena
gugup.
"Kemarilah,
sayang..." rayu Reza yang telah sukses melepaskan kemejanya
Bagai tersihir,
Indi berjalan mendekat. Melupakan sepenuhnya jika kali ini Reza tidak meminum
sedikitpun teh ramuan cina yang dulu melindunginya.
Reza langsung
menangkap tangan Indi saat posisi wanita itu sudah berada dalam jangkauannya.
Dalam hitungan detik, dada mereka sudah menempel erat. Keduanya sama-sama
menelusuri, mengagumi dalam hati wajah mempesona di depannya. Reza dengan
pandangan penuh cinta namun tidak berani mengungkapkan, begitu juga Indi.
Mereka berdua bagai orang bodoh yang sebenarnya bisa saling memiliki. Entah
alasan apa yang membuat mereka menahan mengucapkan ikrar cinta itu. Hanya
mereka berdualah yang tau.
Perlahan senyum
Reza merekah dan menunduk. Setengah terkekeh dia menggelengkan kepalanya, Indi
menatapnya bingung. Bersumpah akan memukul kepala CEO-nya ini jika berani
membatalkan rencana percintaan mereka sekarang. Sudah diujung ini, batin Indi.
"Tidak..."
ucap Reza
"Apa?"
tanya Indi setengah kesal
Namun senyum
diwajah Reza dan pelukan yang semakin mengerat di pinggang Indi lumayan
meredakan kekesalannya dan malah berbalik membangkitkan nafsunya. Reza menekan
'juniornya' yang mengeras dan sengaja menggoyangkannya sedikit menggoda Indi
dibalik batas pakaian mereka. Tanpa sadar desahan keluar dari bibir Indi.
"Walaupun
aku sangat ingin menyelesaikan ini sekarang juga, tapi untuk wanita spesial
sepertimu...kita akan melakukannya di tempat yang spesial juga. Dan bukan di
sini." dengan tidak rela Reza melepaskan pelukannya dan mencuri cepat
ciuman dibibir Indi.
Seketika hati
Indi menghangat. Merasa jika Reza memperlakukannya berbeda. Senyum manis
merekah cepat dibibirnya. Matanya kembali mengikuti gerakan cepat Reza yang
memakai kemejanya asal tanpa memasukkannya kecelana. Indi yakin mereka akan
melakukannya sekarang. Dia harus menggigit bibirnya sendiri untuk menahan
pekikan senang. Namun hal itu malah ditangkap berbeda oleh Reza.
Dengan lembut
dia mengelus tangan Indi dan menyatukan jari mereka. Dengan lembut ditariknya
tangan Indi mengikuti arah keluar ruangan.
"Simpan
godaanmu untuk nanti, sayang. Kita ke apartemenku. Sekarang..." bisik Reza
ditelinga Indi. Senyum kembali merekah dibibirnya namun secepat senyuman itu
datang secepat itu pula lenyap saat mendengar perkataan Reza selanjutnya.
"...nanti
aku pasti berhasil membuatmu orgasme berkali-kali. Selama kau cuti aku telah
berhubungan sex dengan berbagai macam perempuan dan aku berhasil. Dulu mungkin
karena aku terlalu lelah tapi kali ini..."
Indi langsung
menghempaskan tangan Reza yang terpaut dijemarinya sampai terlepas.
Sakit. Itulah
yang Indi rasakan sekarang. Indi tersenyum miris meratapi nasibnya. Ternyata
dia tetaplah wanita biasa. Tidak ada satupun yang spesial di dirinya.
'Kau bukan
siapa-siapa, Indi. Sadarlah.'
"Maaf, Pak.
Saya rasa, saya tidak bisa membantu bapak untuk menjadi salah satu 'pelepas'
hasrat bapak. Kerjaan saya masih menunggu. Bapak bisa memilih kandidat yang
lain. Permisi" ucap Indi dingin.
Sedangkan Reza
sendiri memandang sosok yang menghilang dibalik pintu dengan kebingungan yang
amat sangat. Padahal dia sudah sangat tidak sabar ingin bercinta, yah bercinta
dengan Indi. Bagi Reza semua wanita yang ditidurinya tidak lebih dari pemuas.
Namun Indi berbeda.
Dulu, tepat
seminggu yang lalu harga dirinya sebagai seorang pria hancur didepan wanita
yang dia cintai. Dan itu membuatnya frustasi dan hampir gila. Ditambah lagi
harus menunggu seminggu untuk membuktikan jika dia adalah lelaki perkasa
didepan Indi. Dan dia berani bersumpah akan bercinta dengan Indi hari ini juga.
Namun rencana besarnya yang sudah disusun matang harus gagal dalam kurun waktu
satu jam. Sungguh sial nasibnya.
"Apa aku
salah bicara...?" ucapnya bingung setengah frustasi.
Tangannya
mengusap miris kejantanannya yang telah lama lunglai karena kekecewaan yang
melanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar