Pegal.
Mual.
Kesal.
Murka!!!
Jika bukan karena ibunya yang dihubungi pengurus panti sialan itu, mana mungkin dia bisa terjebak dijalan neraka ini. Bisa-bisanya masih ada jalan yang berlubang-lubang sebesar kolam ikan begini. Apa daerah ini sudah tersingkir dari peta Indonesia. Tangan Valdie sudah gatal ingin menghubungi salah satu temannya, orang yang berpengaruh didaerah ini dan memaki-makinya karena membuat pantatnya ber'joget' ria didalam mobil.
Valdie memijit keras pangkal hidungnya. Kepalanya masih berdenyut-denyut karena bangun terlalu pagi. Tak menyerah ibunya langsung menghubungi supirnya karena jeritan ponselnya sendiri tak dia perdulikan. Alhasil dengan sangat terpaksa supirnya menggedor pintu dan membangunkannya tepat jam tiga pagi. Pria tampan itu ikut simpati melihat wajah pucat sang supir dilema antara takut padanya atau sang ibu suri. Dan pemenangnya tentu saja ibu cantiknya tapi galak bukan main.
"Din....memang tidak ada jalan lagi kesana selain lubang setan ini!" kesal Valdie yang masih pasrah terlempar-lempar didalam mobil. Bahkan kepalanya hampir terjedut kelangit-langit mobil mewahnya.
"Maaf Pak Valdie, hanya ini akses kepanti asuhan itu. Saya sudah mencoba mencari jalan dari map namun tidak ada lagi alternatif lain." jelas pria tua itu tanpa melepas fokusnya dari jalan.
"Sial!" umpat Valdie. Jangan salahkan jika disana nanti dia melampiaskan emosinya.
Andai saja orang-orang panti itu diam dan tak bertanya pada ibunya perihal kedatangannya yang terlambat. Pasti dia tidak perlu menderita dikepala dan pantat. Minimal pantat sajalah, karena memang jalan setan ini tidak bisa dihindari lagi.
Harus berapa jam lagi dia disiksa disini.
"Kelihatannya didepan jalanan sudah lumayan bagus, Pak..." ucap supirnya sambil tersenyum lega dalam hati.
Baru kali ini Valdie merasa bahagia lahir batin hanya karena jalanan. "Baguslah...."
Dari kejauhan sudah terlihat bangunan dua lantai yang tak terlalu besar namun terlihat tenang dan asri. Dalam hati Valdie memuji siapapun yang memberikannya obat penenang dari jalan nerakanya tadi.
Mobilnya mulai memasuki pekarangan panti asuhan itu. Suara cempreng anak-anak langsung menarik perhatian pria tampan itu. Namun ingus meleleh dari salah satu anak yang langsung disedot kembali sukses membuatnya meringis. Jangan sampai anak-anak jorok itu meminta gendong padanya. Valdie terlalu sibuk memikirkan kata-kata penolak buat anak ingusan itu dan tidak sadar jika sang supir sudah membukakan pintunya. Dengan berat Valdie menyeret kakinya keluar dari mobil.
Dengan gaya angkuhnya yang telah terbentuk dari janin, Valdie menjelajahkan matanya, merekam apapun yang ada didepannya. Lumayan juga panti asuhan buatan ibunya ini. Mulai dari atap sampai cat seperti habis diperbaharui. Kepalanya dengan cepat menoleh saat merasakan seseorang mendekat.
Ah! Tidak....tepatnya beberapa anak...dan syukurlah sibocah ingus masih bermain disana.
Bola mata hitam itu terus menatap intens padanya. Tanpa sadar pria tampan itu tersenyum geli saat membayangkan pipi bulat itu pasti se'asyik' squishy jika diremas. Tanpa sadar Valdie berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan sibocah pengamat.
"Hai, Cantik! Siapa namamu?" ucap Valdie sambil memberikan tangannya.
Dalam hati Valdie merasa aneh. Biasanya dia memakai pertanyaan ini sebagai awal merayu seorang wanita sekarang didepannya malah seorang bocah kecil menggemaskan. Ugh! Valdie menahan mati-matian tangannya yang ingin meremas pipi itu. Apalagi saat semakin menggembung seperti sekarang. Merah lagi...
Bugh!
"Aaw!"
Bukan. Bukan sakit yang dia rasakan. Tapi lebih kepada kaget menerima serangan mendadak dari squishy.
"Dasal Om jahat! Kalo ga mau datang ya ga usah datang!" serang si-squishy penuh kekesalan.
Dari jauh terdengar suara derap langkah kaki yang banyak dan tergesa-gesa.
Valdie masih menatap kaget pada squishy yang sedang mengamuk. Bocah kecil itu masih saja memukulinya dengan boneka. Bahkan matanya bocah itu sudah mulai berair.
"Astaga! Yuri...jangan, dek!"
Nenek Dana tergopoh-gopoh dan langsung menarik Yuri dan menggendong gadis kecil itu. Begitu masuk kepelukan nenek Dana, Yuri langsung menangis meraung-raung.
"Om jahat...temen Adek...hiks...sakit...hiks..." isak Yuri didalam pelukan nenek Dana.
Nenek Dana mengelus lembut punggung Yuri yang sesekali masih terisak.
"Maaf ya...Nak Valdie pasti kaget" ucap nenek Dana. Sungguh dia merasa tidak enak hati. Putra pemilik tempat mereka tinggal dianiaya bidadari cerewet mereka.
"Ah...tidak apa-apa...mm.."
"Dana. Panggil saja Nenek Dana, seperti anak-anak memanggil saya." jelas nenek Dana sambil menggoyangkan tubuhnya....mengayun Yuri yang mulai diam.
Valdie tersenyum canggung. Sungguh dia tidak pernah merayu nenek-nenek, jadi ini adalah pengalaman pertamanya berbicara dengan nenek-nenek. Tapi syukurlah mereka sudah tahu siapa dia. Jadi Valdie tidak perlu repot-repot menjelaskan siapa dirinya.
Namun rasa penasaran kenapa si-squishy mengamuk padanya masih menjadi tanda tanya besar. Tanpa menunggu Valdie langsung bertanya.
"Oh iya, Nenek Dana...kenapa dia...ehm...sepertinya marah pada saya yah?" tanya Valdie sambil mengusap punggung Yuri yang langsung menggeram saat tahu itu tangan si om jahat.
"Oh...Yuri. Dia memang agak tempramen. Mungkin dia marah karena kemarin temannya sempat pingsan karena terlalu lama dibawah matahari." jelas Nenek Dana perlahan, tidak ingin pria muda didepannya merasa tersinggung.
Namun harapan tinggal harapan. Yuri yang tadinya tenggelam dalam pelukan, menegakkan tubuh mungilnya dan menunjuk kearah Valdie dengan bonekanya.
"Om jahat! Temen adek sakit kalena Om ga datang-datang!" dan berurailah air mata yang tadi sempat terbendung.
"Ah!" Valdie tahu. Dia memejamkan matanya sambil meringis. Pasti karena kemarin dia batal datang jadinya ada anak yang pingsan karena kelamaan menunggunya.
Sial!
Valdie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung harus apa.
Sedangkan Yuri kembali menyembunyikan wajahnya kebahu nenek Dana.
"Maaf kalau saya lancang, Nak Valdie. Ada baiknya kita membujuk anak-anak disaat mereka kesal. Apa Nak Valdie mau menggendongnya?" tawar Nenek Dana yang disambut pelototan tak percaya pria tampan didepannya.
Namun bagai terhipnotis, Valdie malah mengulurkan kedua tangannya, menerima tubuh Yuri yang agak memberontak tapi mau. Dengan kekakuan yang maksimal, Valdie meniru goyangan Nenek Dana saat menimang gadis kecil yang cerewet itu. Dan benar saja, perlahan namun pasti raut muka Yuri berubah dari masam ke semakin asam.
"Ga enak!"
"A...apanya, dek?" tanya Valdie bingung.
"Gendongnya! Ga enak! Om ga usah goyang-goyang....gini aja adek ajalin..."
Tangan mungil itu langsung memeluk leher Valdie dan kaki yang juga mungil itu mengerat melingkari dada Valdie, walau hanya sampai kurang dari setengah tubuh kekar Valdie.
"Tangan Om buat duduk adek..."
"Oh...oke..." patuh Valdie yang menata sedemikian rupa kedua tangannya sebagai tempat duduk ternyaman buat sicentil cerewet.
Senyum geli mau tak mau mampir dibibir Valdie saat melihat raut kurang puas tapi pasrah dari makhluk mungil digendongannya ini. Dan senyum itu semakin melebar dilanjut kekehan samar mendapati sikecil Yuri menghela napas lelah. Sudah seperti orang tua saja.
"Udahlah, Om ga akan bisa! Adek kecewa..." sesal Yuri namun tak jua beranjak turun malah tangannya teracung menunjuk kearah ayunan dibawah pohon besar. "Kita kesana Om. Sekalang!"
"Siap Tuan Putri." jawab Valdie. Entah mengapa dia mau-mau saja diperintah seorang anak kecil. Apa pesonanya sudah semakin melebar kekelas anak-anak. Buat Valdie itu sudah cukup dan dia tidak berniat melebarkan lagi pesonanya kekelas nenek-nenek. Membayangkannya saja sudah jijik.
Valdie membawa Yuri berjalan mendekati ayunan yang bergerak pelan disapu angin. Dengan lihai bocah itu meluncur turun dari gendongan dan sempat membuat Valdie kaget. "Yuri, jangan lagi seperti itu ya. Bahaya!" tegurnya pelan namun sarat ketegasan tetap ada. Udah seperti bapak-bapak saja dia, pikir Valdie.
Yuri yang ditegur malah tersenyum senang. Baru kali ini dia bersama sosok lelaki dewasa. Apa seperti ini rasanya jika memiliki seorang Papa. "Baik, Papa!" ucapnya tanpa sadar dan langsung menggoyangkan ayunan yang sejak tadi sudah dia duduki.
Bocah kecil itu tidak memikirkan akibat dari ucapan pendeknya pada sang lelaki dewasa. Valdie membeku ditempat.
"Pak Valdie. Sudah waktunya." Udin si supir berhasil menarik majikannya kembali ke dunia nyata. Yah, Valdie hanya mau menghabiskan setengah jam dari hidupnya untuk berkunjung ketempat membosankan ini...awalnya.
Dengan perasaan yang dia juga tidak tahu apa, Valdie beranjak dan berlutut mensejajarkan dirinya dengan Yuri yang telah berhenti mengayun.
"Yuri...Om.." ucapannya terhenti saat mata bulat itu menatapnya lekat. Valdie menahan mati-matian keinginannya untuk mencubit pipi squishy itu. Entah kenapa perkataannya hanya menyangkut dileher dan tertahan keluar sampai-sampai dia harus berdeham.
"Om...pulang dulu ya. Nanti Om bakal main kesini lagi kok. Segera!" ucapnya panik saat mendapati mata gadis kecil itu mulai berkaca-kaca.
Nenek Dana dengan pelan menepuk bahu Valdie dari belakang. "Tidak apa-apa Nak Valdie. Yuri memang anak yang manja, tapi sebenarnya dia anak yang baik dan penurut kok..." jelas Nenek Dana saat Valdie menoleh kearahnya.
"...pasti Nak Valdie masih punya kesibukan lain. Nanti kapan-kapan kabari saja Nenek kalau mau main kesini." lanjutnya.
Valdie mengangguk dan kembali berdiri. Matanya dia tahan agar tidak lagi melihat kearah Yuri. Bisa luluh lagi dia. Ingin sekali Valdie memukul kepalanya sendiri karena menjadi lembek seperti ini.
"Kalau begitu saya pamit dulu...maaf hanya bisa sebentar disini."
"Tidak apa-apa, Nak Valdie sudah mau datang saja kesini kami semua sudah sangat senang...Yah, walaupun ada beberapa anak yang protes karena Om ganteng dikuasai oleh Yuri..." ucap Nenek Dana sambil tertawa saat mengingat kekesalan anak-anak tadi.
Dan otomatis tawa Nenek Dana menulari Valdie. Mereka tertawa pelan sambil berjalan menuju mobil. Namun Yuri tidak beranjak, tetap diayunanannya. Terdiam.
Dan Valdie menyadarinya.
"Terima kasih atas kedatangannya yah, Nak Valdie." ucap Nenek Dana kembali sebelum Valdie menaiki mobilnya.
"Sama-sama, Nenek Dana. Sampai jumpa lagi. Dah, anak-anak" Valdie melambai kecil dan dibalas teriakan 'sampai jumpa' dari semua anak-anak yang ada disana minus Yuri.
Valdie menatap sekali lagi kearah Yuri yang masih belum berubah. Masih duduk diam diatas ayunannya.
Menghela napas, Valdie pun masuk kemobil. Perlahan mobil itu melaju menjauh.
Nenek Dana dan anak-anak baru saja akan berbalik kembali kedalam panti saat Hana berteriak sambil membawa sebungkus kecil plastik. Nenek Dana yang akhirnya sadar pun ikutan panik.
"Astaga Hana! Nenek juga lupa."
"Aduh, Nenek Dana gimana sih. Seharusnya tadi tamunya ditahan dulu..." jawab Bibi Yi terengah, yang berhasil menyusul Hana.
Tanpa mereka sadari Yuri berlari kencang dan merampas bungkusan kue kacang buatan ibunya dan kembali berlari menyusul kearah mobil Valdie melaju. Tentu saja ketiga wanita dewasa itu panik bukan main.
Hana langsung berlari kencang kearah puterinya. "Yuri! Sudah...berhenti!" teriak Hana dari belakang.
Bukan memelan, Yuri malah mempercepat laju kaki kecilnya. Teriakan kaget ibunya pun tak dia perdulikan saat kakinya tadi hampir tersandung batu.
Yuri terus berlari dan berlari. Begitu juga Hana yang sangat takut anaknya terjatuh dan terluka.
Dan seakan semuanya sudah tertulis dalam skenario Tuhan. Mobil Valdie melambat karena harus kembali melewati 'Jalan Neraka'.
"OM!....OM!..." teriak Yuri sambil melambai-lambaikan bungkusan ditangannya.
"Ooom...."
Bruk!
Hana berteriak panik saat ketakutannya mewujud menjadi nyata. Yuri terjerembab. Kakinya yang tersangkut akar rumput pun menjadi andil besar. Namun bukannya tangis yang didengar Hana melainkan omelan kekesalan Yuri pada akar yang menghambat larinya. Jika dalam keadaan biasa mungkin Hana akan tertawa geli. Tapi jelas tidak saat ini. Darah yang mengalir dari kedua lutut putrinya membuat wajahnya pucat pasi.
"Astaga, Yuri!" Hana langsung merengkuh dan memeluk erat Yuri yang sudah berada dalam jangkauannya.
Ditiup-tiupnya luka dikaki putrinya. Belaiannya tidak lupa menenangkan sang putri. Dan saat itulah tangis Yuri pun meledak.
"HUWAAAAAAAA....!!!"
Gadis itu sedih, marah, kecewa dan entah perasaan apalagi yang memenuhi dadanya. Hana yang paham hanya diam dan tidak bertanya, apalagi marah. Dia membiarkan putrinya puas menangis. Agar semua beban dihati gadis kecil itu menguap pergi.
Dengan pelan dilapnya darah yang masih belum mengering dengan ujung kaosnya. Untung saja saat ini dia memakai kaos yang kebesaran dan lumayan longgar.
Begitu seriusnya Hana pada luka dilutut Yuri sampai-sampai tak menyadari derap langkah berlari mendekat.
"Yuri!"
Netra bulat gadis kecil itu pun terangkat saat mendengar suara yang memanggil namanya. Tawa lebar langsung menghiasi wajahnya walau derai air mata itu masih setia mengalir.
"OM!" spontan tangan Yuri terangkat minta digendong.
Tanpa keraguan Valdie mengangkat dan memeluk Yuri, mengabaikan darah yang mengotori bajunya. "Astaga, Sayang! Kenapa kau sampai terluka begini?!" tanya Valdie penuh kekhawatiran.
"Adek tadi kejal mobil Om, tlus jatuh. Mau ngasih ini..." Yuri menyerahkan bungkusan yang sudah tak berbentuk itu kepada Valdie.
Hana yang kaget karena Yuri yang tiba-tiba 'terbang' dari pelukannya langsung berdiri dan berbalik.
Detik itu juga tanah yang berada dibawah pijakan Valdie, bagai meretak hancur.
Matanya membola. Tubuh kekarnya sedikit mundur kebelakang karena terlalu keras mendapat serangan kejutan seperti ini. Bahkan rahangnya serasa kebas. Ribuan semut imajiner bagai menggerayangi kepalanya merinding.
Yah, Valdie tidak akan pernah lupa.
Tidak akan. Sampai mati.
Wajah yang selalu menghiasi mimpi-mimpi indahnya sejak malam itu. Wajah satu-satunya wanita yang membuat dirinya berteriak puas kala pelepasan itu datang. Wajah wanita yang membuatnya ingin membunuh Aryo karena ikut menikmati momen mereka. Wajah wanita yang menjadi obsesinya tanpa dia sadari.
Hana Habiebah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar