"Permisi...Bibi Yi..."
Seorang wanita paruh baya berjalan cepat kearah pintu rumahnya dengan menenteng sebuah kunci. Segera wanita itu membuka pintu dan memasang senyuman tulus dibibirnya namun baru juga akan menyapa wanita itu langsung tersentak kaget.
"Ya ampun, Hana. Kenapa wajahmu pucat begini, baju juga kusut..." wanita itu menangkap raut tidak nyaman yang tertoreh diwajah gadis cantik didepannya. Berusaha mencairkan suasana, wanita paruh baya itu berpura-pura marah sambil berkacak pinggang.
"Hana, kemana saja kamu sampai pagi begini baru pulang. Bibi khawatir sekali padamu, tau!" Bibi Yi, wanita paruh baya keturunan Tionghoa itu menunggu reaksi Hana yang jika dia berpura-pura marah, biasanya gadis manis itu akan tertawa pelan dan merayunya dengan godaan film drama India yang sengaja dia koleksi demi tetangga tersayang.
"Maaf..."
Kening Bibi Yi menyerngit heran. Hana hanya membalas godaannya dengan lirih dan tanpa basa-basi. Bahkan gadis manis itu tetap mengunci rautnya dalam kedataran. Rasa cemas langsung merajai hati wanita paruh baya itu. Bagaimanapun Hana adalah cucu sahabatnya dan tetangga yang dia sayangi semenjak gadis itu masih berwujud seorang bocah nakal.
"Hana, sayang...apa kau sakit?" tanya Bibi Yi penuh kekhawatiran.
Hana menggeleng kecil. Mata tua Bibi Yi menangkap kerutan dikening Hana, seperti sedang menahan sesuatu yang membuat gadis itu tidak nyaman.
"Saya tidak apa-apa, Bi. Jangan cemas. Bisa saya minta kuncinya, Bibi Yi?" ucap Hana tanpa basa-basi seolah-olah mereka tidak pernah dekat sebelumnya.
Bibi Yi langsung menyerahkan kunci dan sedikit kaget saat Hana merampas benda berkilau itu dengan terburu-buru dan mengakibatkan kunci itu terjatuh. Tangan yang gemetaran dan ringisan kesakitan walaupun terdengar lirih masih bisa disadari oleh Bibi Yi. Wanita tua itu yakin jika telah terjadi sesuatu pada gadis kecilnya. Dan Bibi Yi akan menunggu Hana sendiri yang akan berbicara. Matanya menyendu melihat punggung kecil yang terlihat sangat rapuh itu mulai menjauh.
"Semoga semuanya baik-baik saja...".
Dengan tangan yang masih gemetaran Hana menuang air putih kedalam gelas. Dengan terburu-buru dia meminum air itu sampai habis tak tersisa. Bahkan bajunya basah karena banyak aliran air tertumpah saat mulutnya tidak mampu lagi menampung. Hana mengisi lagi dan meminum sampai habis, lagi. Begitu terus berulang-ulang sampai perutnya memberontak, menolak untuk terus diisi. Hana memuntahkan seluruh isi perutnya.
Hana menatap datar genangan muntahnya yang mulai mengeluarkan bau tidak sedap. "Jadi kotor..." terpincang-pincang Hana berjalan kedapur dan mengambil kain lap.
Dibersihkannya muntahan itu dengan cepat. Mengabaikan rasa jijik. Mengingkari rasa perih yang membakar kemaluannya. Menahan aliran airmata menetes bahkan sebutir pun. Hana sudah kehilangan jiwanya. Bahkan untuk menangis dan menjerit saja pun dia sudah tidak mampu.
Saat akan berdiri lututnya tidak sengaja menyenggol meja, gelas bekasnya tadi menggelinding dan pecah kelantai. Hana memandang pecahan kaca itu. "Jadi kotor lagi..." lirihnya pelan kemudian mengutipi pecahan itu langsung dengan tangannya.
Darah langsung mengalir dari sela-sela jarinya. Hana tetap membisu dan terus mengutipi pecahan yang semakin merobek tangannya. Hana melihat ceceran darahnya dilantai dan mengelap dengan kain bekas muntahannya. Bukannya bersih, lantai itu malah semakin kotor. Hana masih terus melakukan hal yang sama, dikeheningan rumah, sendiri. Tanpa pelindung, tanpa teman. Sendiri. Tanpa jiwa.
Hana tersentak saat suara telepon rumahnya berdering. Dengan susah payah, dia menyeret tubuhnya mendekati telepon itu. Tangannya yang masih mengeluarkan darah dia pakai untuk mengakat gagang telepon. "Ha...lo...".
Wajah Aryo masih saja tertekuk tidak suka. Sudah tiga jam mereka berputar-putar mencari butik yang pantas menurut ibunya. Yah, mereka sedang mengurus segala tetek bengek pernikahan yang sama sekali tidak menarik perhatian pria tampan itu.
Undangan dan dekorasi gedung sudah beres dan sekarang tinggal pakaian pengantin.
Aryo melirik kearah gadis yang sedari tadi hanya diam membisu. Hana hanya menjawab jika ibunya bertanya. Selebihnya gadis itu hanya terdiam. Dasar gadis tidak sopan, maki Aryo dalam hati.
Mau tidak mau Aryo menatap wajah Hana. Gadis itu terlihat sangat pucat dan kusut. Beberapa jejeran plester luka bahkan menghiasi telapak tangan Hana. Walaupun selalu menarik ujung sweater untuk menutupi tapi Aryo masih bisa melihatnya.
Wajah Hana yang terpantul kaca mobil saat menatap keluar, menarik ingatan Aryo kekejadian tadi malam. Tanpa bisa ditahan, seringai tercipta dibibirnya. Biar mampus saja perempuan mata duitan ini. Aryo bersumpah akan menghancurkan masa depan Hana. Masa depan yang diperoleh dari memanfaatkan kebaikan ibunya.
"Kita cari disini saja, bagaimana?" tanya Ika kepada Aryo dan calon menantunya.
Aryo memberikan senyum terbaiknya buat sang ibu sedang Hana hanya mengangguk samar. Saat Ika berjalan memasuki butik, Aryo mencengkeram dan menarik tangan Hana dengan kasar sampai Hana meringis kesakitan.
"Bisa kan kau menjawab pertanyaan ibuku. Dasar tidak punya etika. Begini jadinya kalau tidak dididik dengan baik!" maki Aryo tertahan
Hana hanya bisa tertunduk takut."Maaf.."
Aryo menghempas tangan Hana sampai tubuh gadis itu limbung dan hampir terjatuh. Hana langsung menggapai pintu agar tubuhnya tidak ambruk. Rasa perih itu kembali menyakitinya. Hana berusaha menyusul Aryo dan ibunya yang sudah lebih dulu masuk kedalam. Meninggalkannya. Hana memaksakan kakinya melangkah, walau rasa sakit itu terus menyiksanya.
"Oh, ya udah kalau gitu, Pa!"
Suara Ika langsung memaksa Hana untuk mengangkat kepalanya. Wajahnya yang semakin pucat begitu kontras dengan surai hitam yang membingkai wajahnya. Tanpa menyadari jika gadis didepannya sedang mati-matian menahan sakit, Ika berjalan mendekati Hana.
"Hana, maaf yah...Tadi barusan Papa kabarin Mama, kalau sahabat kami dari London datang berkunjung. Mama kangen banget dengan mereka. Jadi kamu sama Aryo aja yah yang milih baju pengantinnya..." jelas Ika dan langsung mengalihkan fokusnya ke Aryo sebelum melanjutkan.
"...kamu temenin Hana sampai selesai yah sayang." titah Ika yang tidak mungkin ditolak Aryo.
Aryo tersenyum pada ibunya, "Iya ma. Trus mama naik apa? Mau aku antar aja kekantor papa?" tawar Aryo yang langsung ditolak ibunya.
"Mama bisa naik taksi. Kamu disini saja temani Hana. Trus nanti antar dia pulang yah!" Aryo mengangguk walau dalam hati dia terus memaki-maki Hana.
"Ya sudah, Mama balik duluan. Hana kamu pilih baju yang paling bagus yah. Ga usah mikirin harga. Nanti Aryo yang bayar kok...hahaha!" canda Ika yang malah membuat hati Hana miris. Pria itu pasti akan semakin mengira dirinya perempuan mata duitan.
"Iya ma." Hana membalas pelukan Ika dan calon mertuanya itu pun pergi meninggalkannya.
Hana masih terdiam ditempatnya saat Aryo kembali membentaknya.
"Cepatlah pilih! Aku sudah muak terlalu lama didekatmu." Aryo menghempaskan dirinya ke sofa dan kembali hanyut dalam dunia ponselnya.
Pemilik butik yang melihat wajah sendu Hana dan ketusnya Aryo pada calon istrinya merasa iba. Dengan pelan ditepuknya bahu Hana dan tersenyum ramah. "Yuk, Hana"
Tanpa bersuara Hana mengikuti. Aryo yang melirik Hana yang menyeret kakinya saat berjalan tersenyum puas. Pasti perlakuan kasar mereka tadi malam sangat menyakiti Hana. Dan memang itulah salah satu tujuannya.
Hana hanya menerima baju apapun yang diberikan padanya. Mencoba semua gaun tanpa mengeluh bagai sebuah robot. Hingga akhirnya sang pemilik butik menemukan gaun yang pas. Gaun yang berdesain simpel namun tidak meninggalkan kemewahannya.
Hana menatap pantulan sosok seorang wanita berwajah pucat, pandangan kosong dan tanpa secuil pun melukiskan senyuman. Seorang perempuan yang dibalut gaun pernikahan yang begitu indah. Namun tidak ada segaris pun raut bahagia terpancar.
"Kau sudah selesai, Sayang?" sang pemilik butik mengetuk pintu kamar pas.
"Sudah" jawab Hana pelan. Dia mendorong pintu itu dan memperlihatkan dirinya seutuhnya.
"Ya Tuhan, suamimu pasti sangat beruntung. Kau cantik sekali, Hana. Sangat cantik!" si pemilik butik tidak bisa menahan keterpanaannya melihat seorang calon pengantin yang teramat memukau. Walaupun Hana terlihat tidak sehat dan kusut, namun pesona gadis itu tidak bisa ditahan untuk terpancar.
"Ayo keluar. Kita perlihatkan dirimu pada Tuan Aryo! Dia pasti akan terpesona!"
Hana mengangguk kecil dan kembali meringis saat berjalan keluar dimana sang calon suami sedang menunggu.
Tanpa mereka tau jika Aryo bahkan sudah pergi meninggalkan Hana, sesaat setelah gadis itu masuk. Dan membuktikan untuk kesekian kali betapa Aryo tidak menginginkan pernikahan ini dan Tidak menginginkan Hana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar