"Ini yang terakhir, Bu."
Indi memejamkan
matanya rapat-rapat. Berteriak dan melempar meja kerjanya hanya dikepala saja.
Bagaimanapun Mirna, staff-nya ini hanya menjalankan tugas saja. Dan Indi tidak
pantas melampiaskan kekesalannya pada gadis manis ini.
"Kau
yakin?" tanya Indi
Mirna terlihat
ragu. Bola matanya terlempar kesana-kemari. Tidak fokus.
"Sepertinya...begitu,
Bu." jawab Mirna pelan namun dalam batas masih bisa didengar.
Indi
menyenderkan keras tubuhnya kesandaran kursi. Tangannya memijit-mijit pangkal
hidungnya. Pintar sih pintar. Tapi kalau disuguhi angka yang selalu
berubah-ubah dari pagi dan selalu tidak tetap, lama-lama muntah juga.
"Kau
pulanglah. Ini sudah larut..." ujar Indi sambil mengibaskan tangannya.
Matanya masih tetap terpejam.
"Tapi, Bu.
Laporannya masih belum selesai. Mana mungkim saya meninggalkan Ibu
sendiri." jawab Mirna tulus.
Perlahan Indi
mengangkat kepalanya dan tersenyum kepada Mirna. Hanya kepada gadis ini sajalah
Indi selalu tanpa sadar melepaskan topeng kekakuannya dan bersikap wajar.
"Kalau aku
membiarkanmu lembur, nanti ibumu tidak akan memberi aku lontong mie buatannya
yang super enak itu lagi...Stop! Jangan membantah lagi. Bereskan tasmu dan
pulanglah. Ini perintah." potong Indi saat melihat gelagat gadis itu ingin
menolak. Dan Mirna hanya bisa pasrah jika Indi sudah mengeluarkan
kewenangannya.
"Baiklah,
Bu. Jika ada masalah segera kabari saya nanti saya akan langsung balik
kesini." pinta Mirna yang merasa berat meninggalkan atasan dan pekerjaan
yang masih jauh dari kata selesai.
"Ya...ya...ya!
aku tau. Sudah sana pulanglah." perintah Indi dan kembali fokus pada
jejeran angka yang menghiasi layar komputernya. "Bicara sekali lagi
kupecat kau!" potong Indi.
Mirna langsung
menutup mulutnya rapat. Dengan anggukan kecil gadis itu mundur dan berbalik
keluar.
Begitu pintu
tertutup, Indi kembali menghempaskan punggungnya kesandaran kursi. Lelah. Dia
sudah lelah maksimal saat ini.
"Besok aku
akan memaki orang-orang IT. Bagaimana bisa data keuntungan bulan lalu selalu
berubah tiap 10 menit. Demi Bang Toyib...kepalaku sudah mau pecah!!!" Indi
mengacak-acak rambutnya frustasi.
Sesuatu yang
menerobos masuk keotaknya malah semakin membuatnya pusing. "Sial! kenapa
ga minta softcopy-nya tadi!" Dengan brutal Indi memencet ponselnya,
mencari kontak Mirna. Dan syukurlah seperti janji Mirna, gadis itu dengan cepat
menjawab panggilan Indi.
"Hallo,
Mirna...tidak-tidak, aku hanya ingin menanyakan password komputermu. Oh
begitu...jadi datanya ada di flashdisk, diatas tumpukan buku. Baiklah, terima
kasih." Indi semakin memuji bawahan kesayangannya itu, walaupun Mirna lupa
memberikan data itu padanya tapi ternyata gadis itu sudah menyimpannya. Wajar
jika jam segini orang jadi linglung, seharusnya mereka tidur bukannya kerja.
Dengan malas
Indi beranjak dari kursi dan berjalan keluar ruangan, kearah meja kerja Mirna.
Menghela napas lega karena matanya langsung menangkap benda kecil berwarna
merah yang tergeletak manis diatas tumpukan buku yang tersusun rapi, jadi Indi
tidak perlu repot mencari. Satu nilai plus lagi diberikan Indi kepada Mirna.
Baru juga Indi mau berbalik kembali keruangan saat,
"Aaaaakkkhhhhhh!!!!!!!!!"
jeritan
seseorang mengagetkannya.
Disisi lain pada
waktu yang bersamaan.
"Sudah
cukup, Ar. Thank's."
Seringai Reza
semakin lebar. Matanya bahkan tidak berkedip memandang Indi yang mengacak-acak
rambutnya sendiri. Pasti gadisnya itu sudah sangat frustasi sekarang. Dan
bagaimana Reza tau? jawabannya hanya satu. Semua masalah yang menimpa Indi hari
ini sepenuhnya adalah ulahnya dan sang adik tercinta yang sekarang
mengotak-atik jaringan diruang server.
"Kali ini
kita akan mengulangi malam panas yang sempat tertunda, Indi sayang. Dan aku
sendiri yang akan memastikan kita berdua sama-sama mencapai finish."
matanya melirik tempat sampah yang berisikan banyak pecahan kulit telur ayam
kampung. Entah berapa butir yang sudah dimasukkan Reza kedalam perutnya.
Seeerrr...
Kening Reza
mengerut mendengar suara yang sepertinya tidak asing. Lama menanti dan tidak
ada apapun yang terjadi, Reza mengedikkan bahu dan berjalan kearah pintu.
Seeerrr...
Dengan cepat
Reza kembali memutar tubuhnya dan melemparkan pandangan keseluruh sudut
ruangan. Seketika wajahnya memucat saat aroma yang paling menakutkan diseluruh
dunia menyapa penciumannya.
"Tidak
mungkin..." lirihnya sambil terus mengawasi setiap sudut ruangan. Saat
aroma itu perlahan menghilang, Reza menghela napas lega. Namun saat dia
berbalik
Weeeeerrrrr.....
Mungil, coklat
kehitaman, bau dan bersayap melesat cepat menerjang kearahnya. Sontak Reza
langsung berbalik arah dan berlari sekencangnya.
"Aaaaakkkhhhhhh!!!!!!!!!".
BRAAAAKKK!!!!!
"ADA
AP..."
"PERGI!
PERGI! PERGI!"
Indi tidak bisa
lagi menahan untuk tidak mengangakan mulutnya selebar mungkin. Siapa yang tidak
shock. Reza. Seorang CEO muda terkaya.
Sang Cassanova kelas kakap, sedang berdiri diatas meja, berteriak-teriak
seperti ibu-ibu menang arisan dan melemparkan semua benda di dekatnya kearah
bawah. Tepatnya kearah seekor kecoa imut. Kecoa yang sepertinya tau jika
manusia didepannya takut padanya. Dengan sengaja, mungkin, kecoa itu
mengepak-epakkan sayapnya seperti mengancam.
Gue terbang ke
lo nih...gue terbang nih...
"INDI!
BUNUH KECOA ITU! BUNUH!"
Teriakan Reza
membuyarkan Indi dari lamunan absurd nya. Dengan malas dia membuka sepatu dan
berjalan ke arah kecoa malang yang sebentar lagi akan mati. Indi mengangkat
tangannya keudara dan
PLAAAAK!
Weeerrr! Gagal!
Kecoa itu terbang kearah Reza.
"KYAAAAAAAAA!"
'Oh astaga
jangan katakan teriakan cewek itu keluar dari mulut yayangnya?!" batin
Indi tidak percaya.
"Pfffftttt....Hahahahaha!!!!"
Indi tidak tahan lagi. Lepas sudah. Tawanya langsung pecah melihat Reza
meloncat-loncat dan berteriak panik saat kecoa imut itu hinggap didadanya.
Dasar kecoa usil.
"Indi!
Tolong aku! Tolong!!!" teriak Reza dengan brutal mengibaskan tangannya
asal.
PLAAAK!
Dan Reza
langsung sumringah menatap sadis bangkai kecoa malang yang sudah hancur itu.
"MAMPUS!!!"
Sedang Indi
kembali memakai sepatunya. Masih
setengah tertawa dia menatap geli Reza yang menginjak-injak bangkai kecoa
dengan kejam. Mati aja baru berani.
"Sudah Pak,
kasihan. Entar keluarganya balas dendam loh..." goda Indi dan tertawa geli
saat melihat muka Reza langsung kembali memucat.
"Ma..mana
ada kecoa berkeluarga!" balas Reza mencoba peruntungannya.
"Ih, ga
percaya. Ini kecoa kan baunya kan sengit nih, nanti akan sampailah baunya
keteman dan keluarganya. Paling bentar lagi datang..." ucap Indi sambil
berpura-pura melihat kesekeliling.
"Jangan
coba-coba menipuku, Indi. Aku tau kamu yang mau balas dendam, bukannya kecoa!
Dan berhentilah membahas kecoa dan semua kerabatnya!" cecar Reza begitu
tajam namun kembali naik keatas meja. Bibir Indi berkedut menahan tawa.
"Oke-oke.
Maafkan saya. Kalau begitu saya kembali dulu, masih ada kerjaan."
Perkataan Indi
mengenai kerjaan langsung menyadarkan Reza akan misi terselubungnya.
"Jangan
pergi dulu. Bagaimana kalau ada kecoa yang mau balas dendam padaku. Kau tetap
disini. Jangan pergi, titik!" ujar Reza penuh pemaksaan.
Indi menghela
napasnya lelah. Anak manja berulah lagi. "Trus, bagaimana dengan pekerjaan
saya, Bapak Reza yang terhormat."
Reza terdiam.
Bingung sendiri harus berkata apa. Tidak mungkin kan dia bilang jika semua data
sebenarnya baik-baik saja. Dan data yang benar sudah berada sejak lama di
komputer adiknya.
"Jika tidak
ada urusan lagi, lebih baik saya kembali bekerja dan..."
"Pulang
saja. Kita pulang saja. Aku akan mengantarmu sekarang. Dan jika kau membantah
aku akan memecat seluruh divisi keuangan karena telah lalai dalam bekerja.
Mengerti! Sekarang bereskan barang-barangmu, aku tunggu disini." dan Reza
langsung berbalik membelakangi Indi yang menatapnya tidak percaya.
Lama keheningan
menyelimuti keduanya dan akhirnya suara pintu tertutup memberi tanda salah
satunya telah keluar.
"Bodooooooh!!!
dasar otak dungu! selalu saja berbuat salah!" Begitu dia telah sendiri,
Reza langsung memaki dirinya. Selalu saja salah tingkah jika berada didepan
Indi. Dan bukannya berhasil menaklukan, dia malah menambah list kebencian Indi
padanya.
Selama
perjalanan, Indi total mendiamkan Reza. Apapun yang dikomentari Reza sepanjang
jalan hanya dijawab 'hm' saja. Berhubung si pria untuk kali ini menyadari
kesalahannya hanya bisa menghela napas pasrah.
Bagai beribu
tahun berlalu dalam kecanggungan, akhirnya mereka tiba didepan bangunan
apartement Indi. Keduanya sama-sama menghela napas dengan pikiran yang
berbeda-beda.
"Mm...kalau
begitu saya...turun dulu, Pak. Terima kasih atas tumpangannya." tangan
Indi terangkat ingin membuka pintu namun tertahan suara lelaki disebelahnya.
"Tunggu,
Indi! Ada yang ingin aku katakan..."
Indi tidak
menjawab namun tidak juga beranjak. Menunggu. Dan kali ini Reza tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan lagi.
"Aku...ehm,
ingin minta maaf atas kejadian kemarin dan kemarinnya lagi...tidak-tidak!
dengarkan aku dulu." pinta Reza saat melihat Indi ingin bicara. Dan gadis
itu kembali menutup mulutnya.
"Aku
sadar...gadis yang baik-baik dan lurus sepertimu pasti tidak menyukai pria
serampangan sepertiku. Kau pasti risih...ya kan?" Reza menatap lurus
kedalam mata Indi. Berbalik menunggu jawaban gadis itu.
Sadar jika
sebenarnya Reza juga tidak sepenuhnya salah. Hellooooow! pria itu juga tidak
tau jika Indi suka padanya, kan?. Menyadari sikapnya yang terlalu kekanakan
akhirnya Indi tersenyum kecil namun Reza yakin itu tulus.
"Tidak,
Pak. Saya tidak membenci Bapak, kok. Memang saya yang terlalu berlebihan."
Reza langsung
memberikan jari kelingkingnya kearah Indi. "Berdamai lagi!"
Kening Indi
menyerngit bingung, "Tapi...kita memang tidak pernah bertengkar kan?"
"Ayolah...terima
kelingking gantengku ini." rayu Reza yang mau tidak mau membuat Indi
tersenyum geli. Apa maksudnya dengan kelingking ganteng.
"Baiklah."
Baru juga Indi mengangkat tangannya, Reza langsung mengaitkan jari kelingking
mereka berdua dan menarik kelingking Indi untuk hinggap didepan bibirnya. Yah,
Reza mengecup ringan jari kelingking Indi. Kali ini gadis itulah yang membeku,
terlalu kaget dengan tindakan Reza yang begitu tiba-tiba. Tanpa bisa dicegah,
rona merah memenuhi permukaan pipi mulusnya. Untunglah kegelapan didalam mobil
menyembunyikannya.
"Mau
kuantar ke depan kamarmu?" tawar Reza penuh makna.
Indi langsung
menggeleng cepat dan berusaha mengendalikan sisi liarnya yang kembali muncul
setelah sekian lama mati suri.
"Tidak
perlu. Terima kasih dan Selamat malam!" Indi langsung melesat keluar
dengan terburu-buru. Meninggalkan Reza yang terkekeh dibelakangnya.
Reza tak bisa
lagi menyembunyikan tawa bahagianya. "Pelan-pelan, Reza. Pelan-pelan
saja."
Semenjak untuk
pertama kalinya Reza mendengar tawa lepas dan bebas dari gadisnya, Dia
bersumpah akan membuat Indi selalu tertawa sebebas itu dan akan menjaga tawa
itu agar tetap ada. Karena bagi Reza, Indi beribu-ribu kali lipat semakin
cantik saat tertawa lepas. Walaupun dengan mempermalukan dirinya untuk kesekian
kali didepan Indi. Mau tidak mau Reza harus tetap berterima kasih pada penyebab
phobianya itu, sikecoa yang menjijikan.
Dan Reza yakin
malam ini dia akan bermimpi indah, bersama Indi tentunya.
Indi terus
berjalan cepat memasuki kamarnya. Matanya menatap sedih jejeran foto-foto Reza
yang berserakan dilantai kamarnya yang dingin. Perlahan tubuhnya merendah dan
bersimpuh dilantai. Tangannya terulur mengutipi foto-foto itu satu persatu.
"Maaf yah
aku terlalu emosi...kalian pasti kedinginan..."
Setelah
foto-foto Reza terkumpul semua, gadis itu beranjak berjalan kearah tempat tidur
dan memeluk 'Reza' dengan erat didadanya.
"Aku akan
menghangatkanmu lagi..." lirihnya pelan
Drrreeet Drreeet
Indi tersentak
saat sebuah pesan masuk keponselnya. Dengan malas dia membaca pesan dari nomor
yang tidak dikenal.
Jangan pikirkan
pekerjaan. Ini perintah dari atasanmu dan jangan membantah. Tidur yang nyenyak
yah...❤️
-Reza-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar