Indi mondar mandir diapartemennya. Menggigiti kukunya dengan gelisah.
‘Bagaimana ini?’
‘Masa dia jadi
adik ipar Reza?’
‘Mau kena azab
sinetron kalau mereka selingkuh?’
Indi hari ini
izin tidak masuk kantor karena perutnya yang mulas sejak tadi malam. Sakit
karena pikiran memang sangat tidak enak. Dan Indi selalu mulas dan diare jika
pikirannya dipenuhi masalah. Begitupun saat dia sedang putus dengan Reza dulu,
kakinya bahkan sampai lemas karena bolak-balik nongkrong di wc.
“Bagaimana
ini…kalau nolak bakal dipecat ga, ya?
“Mana Reza belum
ada ngabarin lagi sejak tadi malam?”
Ting! Tong!
Indi tersentak
saat bel apatemennya berbunyi, ya kali si Maman bisa pencet bel. Menyeret kaki
yang masih pegal karena kelamaan duduk di wc, Indi membuka pintu apartemennya.
Begitu pintu
terbuka, sosok Reza langsung menghambur memeluknya erat, “Indi…”.
Eh? Kok basah?
Jangan bilang
cowok besar ini menangis.
Dengan cepat
Indi melepas pelukan reza dan memegang wajah pria itu memastikan, dan benar air
mata Reza sudah bercucuran berapa liter. Bahkan sekarang Reza sudah
senggugukan. “Ih, kok nangis?!”
Indi dengan
cepat menarik tangan Reza masuk kedalam. Ya kali dibiarin, bisa malu dia punya
pacar ganteng tapi cengeng, apa kata tetangga nanti.
“Ini lap
airmatanya, ingus juga tuh udah tumpah-tumpah!” Indi menyerngit jijik sambil
memberikan tisu ketangan Reza.
“Kamu ga
romantis banget sih, kalo pacarnya sedih dihibur dong..” ucap reza sambil
membuang ingusnya di tisu.
Dengan wajah tak
tega Indi menepuk-nepuk punggung Reza bermaksud menghibur. “Cup cup,,,udah ya
nangisnya nanti ditangkap polisi, lho!”
Reza mengabaikan
mulut minim perasaan pacarnya ini, mengusap airmatanya sampai kering, menghela
nafas lelah, dan memijit keningnya “Kepalaku pusing karena nangis terus.”
“Lagian siapa
suruh nangis, aku aja enggak!”
Hening.
Reza masih
memijit kepalanya dan Indi masih menepuk-nepuk punggung Reza yang entah apa
gunanya.
“Di, jadinya
kita gimana? Kamu ga boleh setuju tunangan sama Arya, ya. Tolak aja!”
“Ya maunya sih
gitu tapi kan kalo Bu Ratna tersinggung karirku bisa terancam.” Apalagi baru
terima tunjangan baru yang lumayan bisa beli tas mahal 3 biji.
“Ga bakalan.
Sebenarnya tadi malam aku sudah mengakui hubungan kita ke Ibu…”
“Apa?! Serius?
Trus apa kata Bu Ratna?”
“Ga ada. Ibu
diem aja.”
Indi mengangkat
tangannya keatas dengan frustasi, “Tuh kaaaann, tamat sudah riwayat karirku!”
“Lagian kan kita
bisa ngomongin ini pelan-pelan, Za. Arya juga kan pasti bujuk ibumu juga, dia
sudah punya wanita yang dia cintai. Arya ga akan diam aja!” Indi gemas bukan
main sama pacarnya ini.
“Udah terlanjur.
Nanti aku akan bicara lagi ke Ibu. Aku akan terus berusaha buat meyakinkan Ibu
untuk merestui hubungan kita.”
“Za..” jadi Indi
kan yang kini mau nangis. Tepatnya nangis karena sebal akan Reza yang
terburu-buru.
“Enggak, Di.
Untuk hubungan kita aku ga akan bersabar. Aku akan terus berusaha meyakinkan
Ibu. Kamu duduk manis aja, biar aku yang bereskan, ya?” Reza sudah bertekad dan
percuma saja bicara lagi kalau sudah dalam mode kepala batu.
“Ngomong-ngomong
kamu ga kerja?”
Indi mengamati
penampilan Reza dari atas sampai bawah, “Kamu juga?”
Dan mereka
sama-sama tertawa pelan karena tidak tahu jika
satu sama lain tidak masuk kantor tapi tetap bertemu. Seperti sudah ada
ikatan batin.
Reza menangkup
wajah Indi dan menciumnya lembut, “Untukmu aku tidak akan bersabar, Di. Aku
ingin segera bisa memilikimu sebagai istriku.”
Mata Indi
berkaca-kaca dan mengangguk pelan saat Reza meminta mereka berjuang bersama.
Dan kedua bibir
itu pun kembali bertemu. Menari pelan meluapkan emosi yang bercampur dengan
cinta. Saling mengirimkan rasa rindu, pasrah, semangat dan ikatan dalam
kulumannya. Indi dan Reza semakin terhanyut akan ciuman mereka sampai,
“APA-APAAN INI!”
“Ar..”
BUGH!
Ardi mendekat
dengan cepat dan menghantamkan tonjokannya tepat kewajah Reza. Begitu kuatnya
sampai Reza terpental dan menghantam meja kaca sampai pecah.
Indi menjerit
ketakutan melihat Ardi yang kembali mendekati Reza dan menendang perut pria itu
dengan keras sampai Reza terbatuk keras dan memuntahkan liurnya, Reza meringkuk
kesakitan karena menahan rasa sakit diperutnya.
“Abaaang,
jangaan!” Indi menahan tangan Ardi yang belum selesai menghajar Reza.
“Bangsat lo, ya!
Anjing!” Indi yang menahan malah ikut terseret tubuh Ardi yang jauh lebih besar
darinya.
“Ukh, Mas Ar,
tunggu…” Reza berusaha berdiri dengan masih memegang perutnya.
“ABANG!” tak
tahan Indi membentak Ardi, dan membuat pria itu melihat penuh ke adiknya dengan
mata memerah.
“Lo berani bentak
gue demi cowok brengsek ini?! Lo tau kalo cowok yang lo bela ini tukang main
perempuan, hah!”
Tanpa bisa
ditahan, Indi langsung menangis mendengar perkataan Ardi. Hatinya begitu sakit.
Baru kali ini abang yang sangat menyayanginya berkata kasar. Bahkan abangnya
tidak mau repot-repot menurunkan kuat suara bentakannya.
“Keluar lo!”
“Mas, gue bisa
jelask…”
“KELUAR!”
“Ar..”
“KELUAR,
BANGSAT!” Ardi melempar vas bunga keramik dan menghantam tepat ketangan Reza.
Reza menatap
dalam Indi yang menangis senggugukan disebelah Ardi. Sungguh dia tidak rela
meninggalkan Indi yang begitu terlihat rapuh, namun berada disini pun tidak
bisa membantu apa-apa. Reza menunduk, mengucap,
“Maaf…” dan
berjalan keluar.
Ardi yang masih
dilanda emosi menyugar rambutnya keatas dan menolak untuk melihat Indi yang
masih menangis. “Siapin baju-bajumu, ikut abang pulang.”
“Bang…”
“Sekarang,
Indi.”
Suara tajam Ardi
membuat Indi takut, perlahan gadis itu menyeret kakinya dan pergi kekamarnya.
“Sial!” Ardi
memaki dirinya sendiri karena sudah membuat adiknya ketakutan dan menangis.
Karena terlampau emosi dia tidak bisa menahan tajam lidahnya. Tapi Ardi
melakukan ini demi kebaikan Indi. Dia harus tega. Yah, demi kebaikan Indi.
Didalam kamar
Indi berkali-kali mengusap airmatanya yang terus mengalir. Pandangannya menjadi
buram dan sudut matanya sudah terasa perih, mungkin sekarang sudah memerah.
Dengan asal dia memasukkan baju-bajunya. Entah baju yang mana yang dia bawa.
Pikirannya saat ini hanya tertuju pada Reza, hatinya masih terasa sakit karena
abangnya. Ardi yang selalu memanjakan Indi selama ini kini membentaknya dengan
kasar.
“Abang jahat!”
“Abang jahat!”
Ardi mendengar
rajukan Indi dari balik pintu kamar Indi yang setengah terbuka. Hatinya juga
sakit melihat Indi yang marah kepadanya. Perlahan pria itu masuk dan membuat
adiknya berhenti bicara.
“Di.”
“…”
“Abang minta
maaf, ya!”
“…”
“Abang begini
demi kebaikanmu.”
Tidak terima
Indi menatap tajam abangnya dengan mata yang masih buram karena airmata.
“Kebaikan aku
yang mana, Bang? Aku hanya jatuh cinta? Apa itu salah?” Indi marah dan ingin
melawan abangnya tapi yang keluar hanya suara yang bergetar dan isakan yang
semakin menyayat hati Ardi.
“Orangnya yang
salah! Abang sudah dari kuliah kenal dengan Reza, Di! Dan abang tau sepak
terjangnya selama ini, dia itu penjahat kelamin, Di! Tukang jajan! Gonta-ganti
perempuan!”
Ardi menarik
nafasnya sebelum melanjutkan, “Dan kenapa pula kamu bisa jatuh cinta dengan
orang seperti itu, Di!”
Ardi mendekat
dan bersimpuh didekat kaki Indi yang masih terisak.
“Abang sayaaaang
banget sama kamu, Di. Adek kecil abang…” Ardi tersenyum lirih sambil mengusap
airmata Indi yang masih setia mengalir.
“Kamu tanggung
jawab abang setelah orangtua kita ga ada. Selama ini abang percaya sama kamu,
memberimu kebebasan memilih jalan hidup karena abang ga mau kamu merasa abang
batasi.”
Indi melihat
mata Ardi yang memerah dan membuatnya kembali terisak, kok abangnya ikutan
nangis, sih? Kan dia jadi sedih lagi.
“Tapi aku cinta
sama Reza, bang. Dia juga sahabat abang kan? Dia udah berubah kok bang!”
Ardi tersenyum
mendengar rajukan dan getaran disuara Indi, “Dia memang sahabat abang,Di.
Karena itu abang tau Reza luar dalam. Ga secepat itu orang akan merubah
kebiasaannya. Kalau bosan dia akan selingkuh didepanmu. Apa kamu yakin kalau
dia, cuma penasaran sama kamu?”
Indi terdiam.
Hatinya galau. Memang benar ini terlalu cepat bagi Reza untuk berubah. Beberapa
bulan yang lalu dia masih bercinta dengan karyawati dikantor, kan.
“Kalau memang
dia serius, dia akan datang ke abang, dan abang akan menilai apa dia serius
atau tidak denganmu, ya? Sekarang mandi biar abang yang beresin bajumu, ok?”
Ardi membelai rambut Indi sayang.
Indi menghapus
airmatanya dan mengangguk patuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar