Sabtu, 11 Oktober 2025

23

“Hah! Akhirnya pulang juga..”

Indi menutup pintu dengan cepat setelah berhasil mengusir Reza yang hampir berhasil membuka resleting gaunnya. Untungnya si tampan itu berhasil kabur sebelum mempermalukan dirinya lagi didepan Indi.

“Hihihi…maaf ya, sayang!” Indi masih merasa geli saat lagi-lagi Reza hampir meledakkan celana bagian depannya.

Setelah mematikan lampu depan, Indi membawa tubler yang sudah dia isi dengan air hangat menuju ke kamar. Tanpa mengganti baju lagi dia merebahkan diri yang sebelumnya menaruh tubler di meja sebelah kasurnya. Indi menatap langit-langit sambil membayangkan apa yang akan terjadi besok. Apakah para direksi masih akan memandangnya dengan tatapan menuduh atau percaya dengan penjelasan Reza yang entah apa itu. Atau dia tidak usah datang saja.

“Haaah…” menghela nafas lagi. Apakah dia akan semakin menua karena banyak pikiran.

“Mudah-mudahan aja besok lancar…” dan gadis yang merasa sudah hampir memasuki fase matang membusuk itu pun mulai tertidur.

 

Esok harinya. Di Perusahaan.

Bu Nia memandang remeh kearah keponakannya. Beralih ke kakak sepupunya yang saat ini pura-pura sok serius memandang laptop. Sedang yang satu lagi malah senyum-senyum tidak jelas.

“Reza, kau benar-benar anak ayahmu. Tidak perlu repot-repot tes DNA.” Akhirnya wanita paruh baya itu pun bersuara dengan ketus.

“Lho kok jadi bawa-bawa a..”

“Hahaha! Benar kan, Nia, apa kubilang…aku sudah curiga dari awal. Makanya saat rapat minggu lalu aku tidak berani bicara aneh-aneh.” Pak Joko memotong ucapan Pak Mahendra.

Bu Nia kembali mengela nafas dan menggelengkan kepalanya takjub atas kemiripan ayah dan anak ini. “Dulu ayahmu menjebak ibumu dan sekarang kau menjebak Kepala Bagian Keuanganmu sendiri. Apa aku melihat lonceng pernikahan akan berbunyi sebentar lagi?”

“Tapi kali ini kau sudah keterlaluan, Reza…” Pak Joko akhirnya mulai serius. “…bagaimana kalau Indi terlanjur sakit hati dan menolak kembali ke perusahaan?”

Tersangka yang sejak tadi hanya diam menunduk setelah pengakuan atas skenario yang dia rancang untuk memfitnah Indi, mengangkat kepalanya. “Aku…tidak tau…” Reza kembali menunduk namun tetap bicara, “Aku sudah mengakui semuanya pada Indi.

”Dia tau?” Bu Nia terkejut.

Reza tersenyum miris dan mengangguk pelan, “Dan parahnya lagi aku sempat mengancam akan melaporkannya ke polisi.

“Kalau yang ini kita tidak mirip sama sekali, Reza!” Pak Mahendra menatap kecewa pada putranya.

“Karena itu..ayah, aku…”

“Tidak! Aku tidak mau membantumu.” Pak Mahendra bisa menebak kelanjutannya. “Selesaikan sendiri masalah yang kau buat!”

“Hah! Aku rasa pembicaraan kali ini cukup sampai disini.” Bu Nia berdiri dan merapikan blazernya. “Bagaimanapun kita semua sudah tau kinerja dan integritas Indi. Dan aku harap kau, Reza, bisa kembali membuatnya bekerja lagi. Kalau perlu berikan dia benefit tambahan agar dia tertarik kembali, mengerti!”. Dan Bu Nia pun meninggalkan ruangan yang diikuti oleh Pak Joko yang menepuk pelan bahu Reza sebelum pergi.

Tinggallah kini Pak Mahendra, Reza dan Arya yang sejak tadi duduk diam tenang dipojokan seperti ninja yang menyamar menjadi printer.

“Sekarang apa rencanamu?

Ingatan Reza terlempar ke kejadian tadi malam.

“China, lagi bisnis disana. Ga tau kapan balik, aku juga ga pernah cari tau.”

“Keren juga…bisnis apa?”

Reza menangkap nada sinis penuh sindiran atas pertanyaan Indi dan dia mencari jawaban paling aman menurutnya, “Produk Teh atau Kopi, aku juga lupa.”

Indi terdiam dengan kening mengerut seperti memikirkan sesuatu.

“Di…?

“Lanjutkan.” Indi mengerjapkan matanya berusaha kembali fokus.

Reza menarik nafas dalam sebelum melanjutkan. Rasanya seperti berada didataran tinggi, tekanannya agak bikin sesak.

“Sudah hampir lima tahun kami tidak pernah berkomunikasi. Dua tahun lalu pun saat dia pulang aku tidak sempat bertemu dengannya karena kita dalam perjalanan bisnis, kau ingat kan?” dan Indi terlihat menaikkan alisnya tanda dia masih ingat.

“Tapi aku ingat saat makan malam, kau menerima telpon dan terlihat sangat…apa ya…bersemangat, mungkin?” Indi melirik sinis sebelum melanjutkan, “Telpon itu dari ‘dia’, kan?”

“I…iya..i…tu dari…” Reza ingin menampar mulutnya sendiri, kenapa pula jadi gagap. Tapi Indi bener-benar menyeramkan kalau lagi marah tapi kenapa malah bagian bawahnya makin mengeras ya?

“Iya, itu memang dari dia tapi kan kami tidak bicara lama-lama. Arya kan langsung memanggilku karena acara mau dimulai. Setelah itu aku tidak ada bicara lagi…Oh! ayolah sayang, kenapa aku seperti diinterogasi gini? Kan tadinya aku mau kasih penjelasan saja.” Kali ini Reza benar-benar memelas meminta belas kasih Indi.

Indi menghela nafas untuk kesekian kali. Akhirnya calon istrinya itu pun sedikit mengalah. Catat sedikit. “Ya sudah, bicara. Aku tidak akan bertanya lagi? Tapi awas saja kalau ada yang ditutup-tutupi!”. Reza menaikkan jempolnya plus cengiran.

Reza kembali meneguk tehnya sebelum bicara, tapi kok ruangan jadi terasa makin panas ya? Rasanya jadi pengen buka baju dan celana Indi, Eh?

Reza sedikit menarik kerah bajunya, “Kami tidak pernah lagi membahasa masalah pertunangan itu. Aku juga tidak pernah tau apa dia berhubungan dengan pria lain atau tidak dan…saat kau dengar aku mengatakan mencintainya…” Reza mencuri pandang kearah Indi dan gadis itu tetap tenang, bukannya lega tapi malah terasa makin horor.

“…aku memang mencintainya namun hanya sebatas perasaan cinta kepada adik tidak lebih. Rasa cinta padanya tidak mampu membuatku ingin memiliki seperti pada dirimu, Indi. Rasa cinta padanya tidak membuatku bisa melakukan hal buruk demi bisa memiliki, seperti yang kulakukan padamu. Rasa cinta padanya tidak bisa membuatku ingin segera…diikat dalam pernikahan. Tapi denganmu aku sangat amat ingin melewati hari-hari kita, dalam sebuah pernikahan. Aku mencintaimu Indi, sangat mencintaimu. Tidak ada yang lain.” Reza tidak menyadari jika matanya sudah berair, namun Indi dapat melihatnya. Melihat ketulusan pria yang sangat dia cintai juga.

Indi menundukkan kepalanya. Jujur hatinya menghangat dan rasa cinta yang sempat mau dia hilangkan kembali membuncah. Dia ingin mencium Reza saat ini, sangat ingin. Tapi harga diri menahannya. Namun tidak dengan Reza. Pria itu sudah tidak tahan sejak tadi.

Reza sudah tidak memikirkan hal lain lagi. Dia merasa dorongan ini semakin kuat. Dorongan ingin mencium Indi dengan kuat, keras dan dalam. Tanpa bisa ditahan Reza berdiri dan Indi yang waspada juga ikut berdiri.

Reza maju selangkah, Indi mundur selangkah.

“Kau mau apa?”

“Menciummu.”

“Aku sudah ingatkan tadi jangan macam-macam ka…”

“Aku tidak akan memberimu waktu buat mengambil kecoa putih sialan itu.”

Reza memutari meja dan Indi berlari kearah berlawanan dan akhirnya mereka berputar-putar. “Berhenti, Indi. Aku pusing!”

“Ya sudah pulang sana!” teriak Indi dan mereka masih berputar-putar.

JDUK!

“Agghhhrr!!” Reza terjerembab, meringkuk memeluk tulang keringnya yang mencium mesra ujung meja. Sakitnya sampai keotak. Bilang pisang saja tidak bisa.

“Sa…kit! Breng…”

Indi mengintip kebawah meja dan mendapati Reza meringkuk kesakitan. “Astaga! Maaf!” gadis itu langsung memapah dan membantu Reza duduk di sofa. Namun dia tidak sadar jika nafsu pria mampu mengalahkan rasa sakit.

“Dapat!”

“Eh! Kok? Kamu bohong ya!” tuduh Indi yang tidak terima sudah masuk dalam pelukan Reza yang seperti karet, didorong balik lagi.

“Enggak ini masih sakit, banget malah.” Reza memeluk Indi erat sambil masih meringis kesakitan. “Tapi kalo ga gini aku ga akan bisa meluk kamu lagi.”

Indi berhenti berontak. Reza masih tetap meringis kesakitan. Namun dia mendengar kekehan geli dari dalam pelukannya. Indi tertawa?

“Indi, Kamu lagi ketawain kakiku, ya? Ini sakit banget lho!” Reza menjauhkan tubuhnya agar bisa melihat gadis manis yang mentertawakan kakinya yang masih nyut nyutan sampai sekarang. Tahan lama sekali sakitnya ini. Tulang keringnya mungkin sudah berwarna ungu sekarang.

“Lagian pake acara muter-muter meja, kepentok, kan?” Indi masih terkekeh, menulari pria tampan yang sedang memeluknya. Reza ikut tersenyum.

“Syukurlah.” Reza kembali memeluk Indi erat. “Jadi kita sudah baikan kan?”

“Kalau masalah tunanganmu mungkin aku sudah mengerti walaupun masih belum jelas kalian sudah putus atau belum.” Indi mengingatkan.

“Aku akan menjelaskannya dengan Ibu pelan-pelan. Aku harap kau mau bersabar ya? Aku yakin Ibu akan mengerti, dia juga menyukaimu, kan?”

Indi hanya bisa bersabar saat ini. Selama ini dia sudah berhasil menyingkirkan kecoa-kecoa disekitar sayangnya, tidak mungkin kan kalau kali ini dia akan menyerah. Dan Indi hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Indi, aku mau menciummu sekarang, boleh?”

“Sejak kapan minta izin?”

Reza menggeram dan langsung mencium Indi dalam. Tangannya bergerak meremas lembut pinggang Indi, membawa tubuh gadis itu ke pangkuannya tanpa melepaskan ciuman mereka. Reza membuka kedua paha Indi diatas pangkuannya, agar gadis itu dapat merasakan hasratnya yang sudah tertahan sejak beberapa minggu lalu. Reza tidak pernah lagi menyentuh gadis lain sejak perasaan mereka menyatu.

“Ngh..”

Reza tersenyum dalam ciumannya saat mendengar Indi mendesah. Pria itu semakin sengaja menekan kejantanannya yang mengeras kearah inti Indi sampai-sampai tubuh gadis itu terangkat keatas.

“Oh aku merindukanmu, sayang!” ucap Reza saat bibirnya pindah ke leher jenjang Indi. Tangannya yang lain masih setia membelai paha Indi yang mengangkanginya. Ciuman mereka makin dalam dan panas. Tidak ada yang berniat berhenti.

“Ugh! Indi..”

“Kenapa?” Indi menarik tubuhnya menjauh menatap Reza yang tiba-tiba menunduk meringis. “Kakinya masih sakit?”

“Bukan, yang…lain..”

Dalam hitungan detik Reza mengangkat dan mendudukkan Indi di sofa. Pria itu berdiri dan perlahan menjauh. Wajahnya memelas antara kesal, marah, dan mau nangis?

“Kenapa gini lagi sih?! Aku benar-benar sudah kena kutuk!” Reza mengacak-acak rambutnya kesal.

“Kenapa?” Indi bingung, padahal ini adalah ulahnya.

“INI!” Reza menunjuk kearah depan celananya yang sudah membesar dan siap meledak. “Aku…walaupun aku tidak rela dan ingin menginap disini…”

“Tidak boleh!” potong Indi, bahaya besar jika Reza masuk kamarnya dan melihat semua koleksi gilanya.

Bagai tidak mendengar balasan Indi, Reza melanjutkan, “…aku harus pulang sekarang atau aku akan mempermalukan diriku untuk yang kedua kalinya didepanmu!”

Reza maju dengan cepat menangkup pipi Indi dan menciumnya dalam, menatap mata Indi seperti tidak rela namun alam semesta sepertinya ingin mereka berpisah. “Aku pulang, ya. Aku mencintaimu, Indi!” dan Reza kembali mencuri satu ciuman sebelum pergi.

“Reza!” panggilan Pak Mahendra menarik kembali Reza dari lamunan mesum plus malunya.

“Ayah tenang saja. Sebenarnya Aku dan Indi sudah berbaikan. Dan siang ini dia akan datang. Aku hanya menambah drama agar Tante Nia dan Om Joko ikut merasa bersalah pada Indi. “

“Dasar bocah licik!” balas ayahnya.

“Betul. Licik.”

Dan jika masalah ini selesai Ayah harus mendukungku tentang masalah pembatalan pertunangan.” Reza tersenyum manis, berharap ayahnya mau jadi sekutu.

“Dan melawan Ibumu, tidak terima kasih.” Balas Pak Mahendra ketus.

“Jangan mau, Yah!”

Reza merengut. “Ya sudah kalau begitu aku sendiri yang akan menghadapi Ibu dan Nala.”

“Jangan berani-berani membuat Ibumu sedih, Reza!” Pak Mahendra melempar pulpen kearah Reza yang bisa dihindari pria itu.

“Pukul aja, Yah!”

“Diam kau, Arya! Kau juga punya masalah yang sama gilanya dengan kakakmu!”

Arya kembali mundur menyamar menjadi dispenser saat omelan Pak Mahendra mengarah kepadanya.

“Pokoknya ayah tidak mau lagi mendengar masalah gila kalian terulang lagi. Segera selesaikan sebelum Ibu kalian tau dan membuatnya khawatir, mengerti!”

“Siap!” kompak kedua kakak beradik itu.

“Punya anak dua aja udah bisa bikin umur makin pendek!” Pak Mahendra terus mengeluh sampai keluar dari ruangannya sendiri meninggalkan kedua anak pembawa masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...