“Hah! Akhirnya pulang juga..”
Indi menutup
pintu dengan cepat setelah berhasil mengusir Reza yang hampir berhasil membuka
resleting gaunnya. Untungnya si tampan itu berhasil kabur sebelum mempermalukan
dirinya lagi didepan Indi.
“Hihihi…maaf ya,
sayang!” Indi masih merasa geli saat lagi-lagi Reza hampir meledakkan celana
bagian depannya.
Setelah
mematikan lampu depan, Indi membawa tubler yang sudah dia isi dengan air hangat
menuju ke kamar. Tanpa mengganti baju lagi dia merebahkan diri yang sebelumnya
menaruh tubler di meja sebelah kasurnya. Indi menatap langit-langit sambil
membayangkan apa yang akan terjadi besok. Apakah para direksi masih akan
memandangnya dengan tatapan menuduh atau percaya dengan penjelasan Reza yang
entah apa itu. Atau dia tidak usah datang saja.
“Haaah…”
menghela nafas lagi. Apakah dia akan semakin menua karena banyak pikiran.
“Mudah-mudahan
aja besok lancar…” dan gadis yang merasa sudah hampir memasuki fase matang
membusuk itu pun mulai tertidur.
Esok harinya. Di
Perusahaan.
Bu Nia memandang
remeh kearah keponakannya. Beralih ke kakak sepupunya yang saat ini pura-pura
sok serius memandang laptop. Sedang yang satu lagi malah senyum-senyum tidak
jelas.
“Reza, kau
benar-benar anak ayahmu. Tidak perlu repot-repot tes DNA.” Akhirnya wanita
paruh baya itu pun bersuara dengan ketus.
“Lho kok jadi
bawa-bawa a..”
“Hahaha! Benar
kan, Nia, apa kubilang…aku sudah curiga dari awal. Makanya saat rapat minggu
lalu aku tidak berani bicara aneh-aneh.” Pak Joko memotong ucapan Pak Mahendra.
Bu Nia kembali
mengela nafas dan menggelengkan kepalanya takjub atas kemiripan ayah dan anak
ini. “Dulu ayahmu menjebak ibumu dan sekarang kau menjebak Kepala Bagian
Keuanganmu sendiri. Apa aku melihat lonceng pernikahan akan berbunyi sebentar
lagi?”
“Tapi kali ini
kau sudah keterlaluan, Reza…” Pak Joko akhirnya mulai serius. “…bagaimana kalau
Indi terlanjur sakit hati dan menolak kembali ke perusahaan?”
Tersangka yang
sejak tadi hanya diam menunduk setelah pengakuan atas skenario yang dia rancang
untuk memfitnah Indi, mengangkat kepalanya. “Aku…tidak tau…” Reza kembali
menunduk namun tetap bicara, “Aku sudah mengakui semuanya pada Indi.
”Dia tau?” Bu
Nia terkejut.
Reza tersenyum
miris dan mengangguk pelan, “Dan parahnya lagi aku sempat mengancam akan
melaporkannya ke polisi.
“Kalau yang ini
kita tidak mirip sama sekali, Reza!” Pak Mahendra menatap kecewa pada putranya.
“Karena
itu..ayah, aku…”
“Tidak! Aku
tidak mau membantumu.” Pak Mahendra bisa menebak kelanjutannya. “Selesaikan
sendiri masalah yang kau buat!”
“Hah! Aku rasa
pembicaraan kali ini cukup sampai disini.” Bu Nia berdiri dan merapikan
blazernya. “Bagaimanapun kita semua sudah tau kinerja dan integritas Indi. Dan
aku harap kau, Reza, bisa kembali membuatnya bekerja lagi. Kalau perlu berikan
dia benefit tambahan agar dia tertarik kembali, mengerti!”. Dan Bu Nia pun
meninggalkan ruangan yang diikuti oleh Pak Joko yang menepuk pelan bahu Reza
sebelum pergi.
Tinggallah kini
Pak Mahendra, Reza dan Arya yang sejak tadi duduk diam tenang dipojokan seperti
ninja yang menyamar menjadi printer.
“Sekarang apa
rencanamu?
Ingatan Reza
terlempar ke kejadian tadi malam.
“China, lagi
bisnis disana. Ga tau kapan balik, aku juga ga pernah cari tau.”
“Keren
juga…bisnis apa?”
Reza menangkap
nada sinis penuh sindiran atas pertanyaan Indi dan dia mencari jawaban paling
aman menurutnya, “Produk Teh atau Kopi, aku juga lupa.”
Indi terdiam
dengan kening mengerut seperti memikirkan sesuatu.
“Di…?
“Lanjutkan.”
Indi mengerjapkan matanya berusaha kembali fokus.
Reza menarik
nafas dalam sebelum melanjutkan. Rasanya seperti berada didataran tinggi,
tekanannya agak bikin sesak.
“Sudah hampir
lima tahun kami tidak pernah berkomunikasi. Dua tahun lalu pun saat dia pulang
aku tidak sempat bertemu dengannya karena kita dalam perjalanan bisnis, kau
ingat kan?” dan Indi terlihat menaikkan alisnya tanda dia masih ingat.
“Tapi aku ingat
saat makan malam, kau menerima telpon dan terlihat sangat…apa ya…bersemangat,
mungkin?” Indi melirik sinis sebelum melanjutkan, “Telpon itu dari ‘dia’, kan?”
“I…iya..i…tu
dari…” Reza ingin menampar mulutnya sendiri, kenapa pula jadi gagap. Tapi Indi
bener-benar menyeramkan kalau lagi marah tapi kenapa malah bagian bawahnya
makin mengeras ya?
“Iya, itu memang
dari dia tapi kan kami tidak bicara lama-lama. Arya kan langsung memanggilku
karena acara mau dimulai. Setelah itu aku tidak ada bicara lagi…Oh! ayolah
sayang, kenapa aku seperti diinterogasi gini? Kan tadinya aku mau kasih
penjelasan saja.” Kali ini Reza benar-benar memelas meminta belas kasih Indi.
Indi menghela
nafas untuk kesekian kali. Akhirnya calon istrinya itu pun sedikit mengalah.
Catat sedikit. “Ya sudah, bicara. Aku tidak akan bertanya lagi? Tapi awas saja
kalau ada yang ditutup-tutupi!”. Reza menaikkan jempolnya plus cengiran.
Reza kembali
meneguk tehnya sebelum bicara, tapi kok ruangan jadi terasa makin panas ya?
Rasanya jadi pengen buka baju dan celana Indi, Eh?
Reza sedikit
menarik kerah bajunya, “Kami tidak pernah lagi membahasa masalah pertunangan
itu. Aku juga tidak pernah tau apa dia berhubungan dengan pria lain atau tidak
dan…saat kau dengar aku mengatakan mencintainya…” Reza mencuri pandang kearah
Indi dan gadis itu tetap tenang, bukannya lega tapi malah terasa makin horor.
“…aku memang
mencintainya namun hanya sebatas perasaan cinta kepada adik tidak lebih. Rasa
cinta padanya tidak mampu membuatku ingin memiliki seperti pada dirimu, Indi.
Rasa cinta padanya tidak membuatku bisa melakukan hal buruk demi bisa memiliki,
seperti yang kulakukan padamu. Rasa cinta padanya tidak bisa membuatku ingin
segera…diikat dalam pernikahan. Tapi denganmu aku sangat amat ingin melewati
hari-hari kita, dalam sebuah pernikahan. Aku mencintaimu Indi, sangat
mencintaimu. Tidak ada yang lain.” Reza tidak menyadari jika matanya sudah
berair, namun Indi dapat melihatnya. Melihat ketulusan pria yang sangat dia
cintai juga.
Indi menundukkan
kepalanya. Jujur hatinya menghangat dan rasa cinta yang sempat mau dia
hilangkan kembali membuncah. Dia ingin mencium Reza saat ini, sangat ingin.
Tapi harga diri menahannya. Namun tidak dengan Reza. Pria itu sudah tidak tahan
sejak tadi.
Reza sudah tidak
memikirkan hal lain lagi. Dia merasa dorongan ini semakin kuat. Dorongan ingin
mencium Indi dengan kuat, keras dan dalam. Tanpa bisa ditahan Reza berdiri dan
Indi yang waspada juga ikut berdiri.
Reza maju
selangkah, Indi mundur selangkah.
“Kau mau apa?”
“Menciummu.”
“Aku sudah
ingatkan tadi jangan macam-macam ka…”
“Aku tidak akan
memberimu waktu buat mengambil kecoa putih sialan itu.”
Reza memutari
meja dan Indi berlari kearah berlawanan dan akhirnya mereka berputar-putar.
“Berhenti, Indi. Aku pusing!”
“Ya sudah pulang
sana!” teriak Indi dan mereka masih berputar-putar.
JDUK!
“Agghhhrr!!”
Reza terjerembab, meringkuk memeluk tulang keringnya yang mencium mesra ujung meja.
Sakitnya sampai keotak. Bilang pisang saja tidak bisa.
“Sa…kit! Breng…”
Indi mengintip
kebawah meja dan mendapati Reza meringkuk kesakitan. “Astaga! Maaf!” gadis itu
langsung memapah dan membantu Reza duduk di sofa. Namun dia tidak sadar jika
nafsu pria mampu mengalahkan rasa sakit.
“Dapat!”
“Eh! Kok? Kamu
bohong ya!” tuduh Indi yang tidak terima sudah masuk dalam pelukan Reza yang
seperti karet, didorong balik lagi.
“Enggak ini
masih sakit, banget malah.” Reza memeluk Indi erat sambil masih meringis
kesakitan. “Tapi kalo ga gini aku ga akan bisa meluk kamu lagi.”
Indi berhenti
berontak. Reza masih tetap meringis kesakitan. Namun dia mendengar kekehan geli
dari dalam pelukannya. Indi tertawa?
“Indi, Kamu lagi
ketawain kakiku, ya? Ini sakit banget lho!” Reza menjauhkan tubuhnya agar bisa
melihat gadis manis yang mentertawakan kakinya yang masih nyut nyutan sampai
sekarang. Tahan lama sekali sakitnya ini. Tulang keringnya mungkin sudah
berwarna ungu sekarang.
“Lagian pake
acara muter-muter meja, kepentok, kan?” Indi masih terkekeh, menulari pria
tampan yang sedang memeluknya. Reza ikut tersenyum.
“Syukurlah.”
Reza kembali memeluk Indi erat. “Jadi kita sudah baikan kan?”
“Kalau masalah
tunanganmu mungkin aku sudah mengerti walaupun masih belum jelas kalian sudah
putus atau belum.” Indi mengingatkan.
“Aku akan
menjelaskannya dengan Ibu pelan-pelan. Aku harap kau mau bersabar ya? Aku yakin
Ibu akan mengerti, dia juga menyukaimu, kan?”
Indi hanya bisa
bersabar saat ini. Selama ini dia sudah berhasil menyingkirkan kecoa-kecoa
disekitar sayangnya, tidak mungkin kan kalau kali ini dia akan menyerah. Dan
Indi hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
“Indi, aku mau
menciummu sekarang, boleh?”
“Sejak kapan
minta izin?”
Reza menggeram
dan langsung mencium Indi dalam. Tangannya bergerak meremas lembut pinggang
Indi, membawa tubuh gadis itu ke pangkuannya tanpa melepaskan ciuman mereka.
Reza membuka kedua paha Indi diatas pangkuannya, agar gadis itu dapat merasakan
hasratnya yang sudah tertahan sejak beberapa minggu lalu. Reza tidak pernah
lagi menyentuh gadis lain sejak perasaan mereka menyatu.
“Ngh..”
Reza tersenyum
dalam ciumannya saat mendengar Indi mendesah. Pria itu semakin sengaja menekan
kejantanannya yang mengeras kearah inti Indi sampai-sampai tubuh gadis itu
terangkat keatas.
“Oh aku
merindukanmu, sayang!” ucap Reza saat bibirnya pindah ke leher jenjang Indi.
Tangannya yang lain masih setia membelai paha Indi yang mengangkanginya. Ciuman
mereka makin dalam dan panas. Tidak ada yang berniat berhenti.
“Ugh! Indi..”
“Kenapa?” Indi
menarik tubuhnya menjauh menatap Reza yang tiba-tiba menunduk meringis.
“Kakinya masih sakit?”
“Bukan,
yang…lain..”
Dalam hitungan
detik Reza mengangkat dan mendudukkan Indi di sofa. Pria itu berdiri dan
perlahan menjauh. Wajahnya memelas antara kesal, marah, dan mau nangis?
“Kenapa gini
lagi sih?! Aku benar-benar sudah kena kutuk!” Reza mengacak-acak rambutnya
kesal.
“Kenapa?” Indi
bingung, padahal ini adalah ulahnya.
“INI!” Reza
menunjuk kearah depan celananya yang sudah membesar dan siap meledak.
“Aku…walaupun aku tidak rela dan ingin menginap disini…”
“Tidak boleh!”
potong Indi, bahaya besar jika Reza masuk kamarnya dan melihat semua koleksi
gilanya.
Bagai tidak
mendengar balasan Indi, Reza melanjutkan, “…aku harus pulang sekarang atau aku
akan mempermalukan diriku untuk yang kedua kalinya didepanmu!”
Reza maju dengan
cepat menangkup pipi Indi dan menciumnya dalam, menatap mata Indi seperti tidak
rela namun alam semesta sepertinya ingin mereka berpisah. “Aku pulang, ya. Aku
mencintaimu, Indi!” dan Reza kembali mencuri satu ciuman sebelum pergi.
“Reza!”
panggilan Pak Mahendra menarik kembali Reza dari lamunan mesum plus malunya.
“Ayah tenang
saja. Sebenarnya Aku dan Indi sudah berbaikan. Dan siang ini dia akan datang.
Aku hanya menambah drama agar Tante Nia dan Om Joko ikut merasa bersalah pada
Indi. “
“Dasar bocah
licik!” balas ayahnya.
“Betul. Licik.”
Dan jika masalah
ini selesai Ayah harus mendukungku tentang masalah pembatalan pertunangan.”
Reza tersenyum manis, berharap ayahnya mau jadi sekutu.
“Dan melawan
Ibumu, tidak terima kasih.” Balas Pak Mahendra ketus.
“Jangan mau,
Yah!”
Reza merengut.
“Ya sudah kalau begitu aku sendiri yang akan menghadapi Ibu dan Nala.”
“Jangan
berani-berani membuat Ibumu sedih, Reza!” Pak Mahendra melempar pulpen kearah
Reza yang bisa dihindari pria itu.
“Pukul aja,
Yah!”
“Diam kau, Arya!
Kau juga punya masalah yang sama gilanya dengan kakakmu!”
Arya kembali
mundur menyamar menjadi dispenser saat omelan Pak Mahendra mengarah kepadanya.
“Pokoknya ayah
tidak mau lagi mendengar masalah gila kalian terulang lagi. Segera selesaikan
sebelum Ibu kalian tau dan membuatnya khawatir, mengerti!”
“Siap!” kompak
kedua kakak beradik itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar