Bu Ratna dan Pak Mahendra terkejut saat pintu kamar mereka terbuka tiba-tiba. Untuk tidak sedang aneh-aneh. Dan lebih terkejut lagi melihat memar disudut bibir Reza.
“Reza?”
Pak Mahendra
menegur putra tertuanya yang berjalan tertatih mendekati mereka seperti zombie
yang mengincar otak.
“Yah, aku pinjam
ibu.” tanpa menunggu jawaban ayahnya, Reza langsung menghambur bersimpuh
memeluk pinggang Ibunya, pipinya dia sandarkan dipaha Ibunya.
Melihat itu
ayahnya ingin bicara namun telunjuk istrinya kini berada dibibir wanita itu dan
memejamkan matanya mengirim kode agar suaminya memberi waktu ibu dan anak deep
talk.
Pak Mahendra
tersenyum dan perlahan keluar kamar, menutup pintu.
“Kamu kenapa, Nak?”
Bu Ratna memulai pembicaraan. Tangannya membelai bayi besarnya yang saat ini
terlihat begitu rapuh dan kesakitan.
“Ardi tadi mukul
aku..”
Bukannya marah,
Bu Ratna malah mengulum senyum geli. “Kenapa?”
“Ketauan cium
Indi, tadi diapartemennya.”
“Hah! Kamu tadi
ketempat Indi, pantesan dipanggil sarapan ga nongol.”
“Bu! Bukannya
kasihan, ibunya malah bahas sarapan.
Bu Ratna
terkekeh pelan, “Kalau ibu jadi Ardi juga pasti mukul kamu, Za. Karena
berani-berani cium adiknya.”
“Tapi kan...kami
sahabatan. Harusnya dia dukung dan kasih restu ke aku dong bukan malah
marah-marah.” Reza tak terima, lupa jika buku kumpulan dosa-dosanya sudah
dihapal Ardi luar kepala.
“Ya, kamu jangan
nyerah dong. Jujur Ibu senang kamu kali ini serius menjalin hubungan,
benar-benar mencintai seorang wanita. Apalagi itu Indi, bahagia Ibu jadi
dobel!”
“Trus aku harus
gimana, Bu. Hati aku sakit banget waktu lihat Indi tadi nangis.” Reza
menenggelamkan wajahnya dipaha sang ibu.
“Ya perjuangkan.
Kamu tunjukkan jika kamu memang serius dengan Indi. Tunjukan ke Ardi kalau kamu
sudah berubah. Saran Ibu kamu temui Ardi dengan jantan dan minta Indi secara
resmi padanya.”
“Kalau…dipukul
lagi?”
“Yah, sudah
resiko. Siapa suruh bandel jadi laki-laki!”
Reza mengangkat
kepalanya dan menatap ibunya dengan kesal, “Bu, ini masih sakit, lho!” Reza
menunjuk biru lebam disudut bibirnya. “Masa mau ditambah lagi!”
“RE.SI.KO.MU!”
“Udah sana
keluar, Ibu udah ngantuk!” Bu Ratna membuat gerakan mengusir ayam dan
mendorong-dorong tubuh besar anaknya.
“Ibu kandung rasa
ibu tiri ya gini!” sambil menggerutu Reza menyeret kakinya keluar kamar.
Begitu pintu
kamar tertutup, Reza bertekad akan mendatangi Ardi dan bersikap jantan
menghadapi calon abang ipar sialannya itu. Tangannya sudah terkepal didepan
dada menunjukkan jika tekadnya sudah bulat.
“Jangan halangin
pintu bisa? Ayah ga bisa masuk!” Pak Mahendra mendorong tubuh Reza yang
menutupi jalan. Dan dengan santai masuk kekamar, membanting pintu kamar didepan
hidung putranya.
“Ck, bapak
tiri!”
Tarik…buang…tarik…buang…
Reza menatap
horor bangunan yang berdiri kokoh didepannya seperti gambaran neraka. Padahal
dari rumah dia sudah menumpuk tekat penuh bahkan sampai luber-luber tapi begitu
sampai didepan kantor Ardi, nyalinya malah ciut.
Baru kali ini
dia merasa jika Ardi itu menakutkan. Ternyata rumor dikampus dulu benar jika
Ardi itu menyeramkan kalau marah. Karena mereka berteman jadi Reza tidak pernah
ambil pusing.
“Permisi, Pak.
Ada yang bisa dibantu. Dari tadi saya lihat bapak berdiri disini terus. Apa
bapak mau nawarin barang jualan ke pegawai sini?” sapa ramah seorang sekuriti.
Hah?
Jualan?
Emang dia sales?
“Oh enggak, Pak.
Saya mau bertemu dengan Pak Ardi.”
Sekuriti itu
manggut-manggut semangat, “Oh Pak Ardi baru aja masuk. Bapak bisa bertanya
resepsionis di lobi untuk diantarkan.”
“Iya, Pak,
diantarkan ke neraka..”
“Kenapa, Pak?”
“Oh, enggak Pak,
kalau gitu saya masuk dulu. Permisi.” Reza bernafas lega. Untung saja sekuriti
itu tidak mendengar gumamannya.
Dan dengan cepat
Reza sudah diarahkan kelantai dimana ruangan Ardi berada. Catat diantarkan.
Ternyata wajah tampan banyak gunanya.
“Silahkan, Pak.
Pak Ardi sudah menunggu didalam.”
“Terima kasih”
tanpa basa basi Reza langsung berjalan keruangan yang ditunjuk mbak-mbak modus
tadi.
Tarik…buang…Tarik…buang….
Merasa siap
fisik dan mental, Reza mengetuk pintu.
“Masuk!” dan
suara besar Ardi kembali menyiutkan nyalinya. Namun kalau tidak masuk,
gengsinya bisa hancur.
“Permisi.”
Dan disanalah
sosok calon abang iparnya itu, duduk dengan mata setajam elang menatap padanya
seperti melobangi keningnya.
“Ar…”
“Berani juga lo
kesini, salut gue.”
Reza yakin itu
adalah sindiran bukan pujian.
“Gue…gue…”
Ardi tidak ada
niatan menyuruh Reza duduk. Dia harus bisa membuat Reza tahu diri dan mundur dengan
sendirinya.
“Lo cinta sama
adek gue?”
“Sangat.
Satu-satunya.” Jawab Reza mantap.
Ardi mencibir,
“Huh satu-satunya…”
“…”
“Sejak kapan lo
suka Indi?”
“Sejak pertama
dia menginjakkan kakinya di perusahaan gue.”
Ardi
manggut-manggut, “Kapan terakhir lo ‘main’ sama perempuan?”
Reza memucat.
Dia terdiam.
Ardi yang sudah
bisa menebak tertawa sinis. “Reza..Reza, gue tau tabiat lo. Padahal cewek yang
lo bilang sangat lo cintai, cuma berjarak beberapa meter. Tapi lo masih bisa
ngeseks sama cewek lain kan? Bantah gue kalo salah?”
Perkataan Ardi
sontak membungkam mulut Reza. Dalam hati dia memaki dirinya sendiri yang
memiliki nafsu seperti setan.
“Sekarang lo
keluar dan jangan pernah lagi temuin Indi. Gue akan ngurus permohonan resign
Indi sama Om Mahendra. Gue masih bisa cariin dia kerjaan lain yang lebih
bersih.” Ardi kembali menekuni berkas dimejanya seakan tidak ada seseorang
diruangan itu selain dirinya.
Reza masih
terdiam. Shock. Marah. Kesal karena tidak mampu membela diri. Ya, dia memang
kotor. Indi bersih. Dan gadis itu berhak memiliki pasangan yang sama bersih
dengannya. Perlahan Reza pun melangkah dengan gontai dan keluar dari ruangan
Ardi.
Sepeninggalan Reza, Ardi membanting berkas ditangannya dengan kesal. dia benar-benar dilema kalau Reza anak baik-baik pasti dia dengan senang hati menerima pria itu atau malah dia jodohkan dengan adiknya. Tapi ini, walaupun sahabat tapi Ardi tetap ingin yang terbaik untuk adiknya. Cowok baik-baik dan bukan penjahat kelamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar