Sabtu, 11 Oktober 2025

09_MHB


“Dimana?”

Pria dengan wajah yang sudah bonyok dan mengeluarkan banyak darah hanya mampu menganggkat telunjuknya kearah pintu kayu berwarna gelap.

“Thanks!”

Dorr!!

Pria itu membuka maskernya karena sudah tidak perlu lagi menyamar, semua musuhnya sudah mati dalam satu ledakan kecil.

Tangannya mengetuk pintu itu beberapa kali dan terdengar suara terkesiap dari dalam. “Buka pintunya, aku datang menyelamatkan kalian!”

Sebenarnya pintu rapuh itu bisa dengan mudah dia dobrak. Namun pria itu tidak mau menimbulkan trauma lagi untuk orang-orang didalam.

“Ayolah, aku cukup lelah hari ini…biar kita selesaikan segera.” Pria itu memijit pangkal hidungnya.

Clek!

Pintu itu terbuka dan langsung terlihat wajah perempuan yang jumlahnya cukup banyak untuk satu kamar berukuran kecil.

Dari belakang pria itu muncul orang-orang berpakaian hitam. “Mereka akan membawa kalian kerumah sakit setelah itu terserah kalian mau apa.”

Pria itu berbalik sambil memainkan ponselnya. Tangannya dengan lincah membalas beberapa pesan masuk. Tak lama suara transferan uang membuat sudut bibirnya terangkat naik.

Memutar ponsel ditangan dia mulai berjalan keluar dari rumah bertingkat yang selama ini dijadikan mafia sebagai tempat penyekapan manusia-manusia yang akan diseludupkan keluar negeri. Human trafficking. Bisa-bisanya rumah sebesar ini dan ditengah kota besar bisa terlewat dari mata polisi.

“Ah lupa kan!” Pria itu turun kembali dan berlari kecil kearah pintu rumah dan menempelkan stiker khasnya. Disampingnya terlihat iring-iringan para perempuan yang dimasukkan kedalam mobil SUV berlogo Intelijen Negara.




“Iya, Ma…ini udah di Stasiun kok, bentar lagi jalan…iya…ok..bye!”

Nove mematikan sambungan telponnya. Matanya memandang ke sekeliling stasiun yang terlihat masih cukup ramai. Nove memilih untuk masuk kereta saat mau berangkat saja, dia tidak kuat dengan dinginnya AC kereta padahal sudah pakai baju dan jaket berlapis.

Matanya menyapu kesekeliling stasiun. Dari jauh dia bisa melihat beberapa petugas stasiun sedang bercanda, mungkin berusaha mengusir rasa kantuk mereka. Sekitar dua puluh menitan Nove menunggu, pemberitahuan jika kereta akan segera diberangkatkan pun terdengar diseluruh stasiun.

Dia pun berdiri dan menyandang ranselnya dibahu. Saat baru mau masuk kereta seseorang menepuk punggungnya dari belakang.

“Dek, boleh minta tolong cariin kursi saya, saya lupa bawa kacamata.” Seorang pria paruh baya memperlihatkan Nove tiket yang sudah dicetak disebuah kertas.

“Oh, bisa pak. Kebetulan gerbong kita sama.”

Wajah bapak itu terlihat lega. “Terima kasih ya, dek!”

Nove pun berjalan sambil mencocokkan nomor yang ada ditiket si bapak dengan nomor kursi. “Nah, disini pak, kursi bapak!”

“Oh iya iya, makasih ya, dek!” bapak itu menepuk bahu Nove dengan pelan.

“Kalau begitu saya cari kursi saya dulu ya, pak! Permisi!” Nove memang memilih letak kursi yang agak mojok agar tidak terganggu saat tidur.

Bapak itu tersenyum sambil memandang penuh arti punggung Nove yang mulai menjauh.

Begitu duduk, Nove langsung memakai hodienya dan mulai mengambil posisi nyaman untuk tidur. Perjalanan cukup jauh dan dia baru akan sampai Jakarta sekitar jam enam pagi jadi lebih baik dia segera istirahat agar besok lebih segar.

Baru saja mulai menutup mata suara pesan masuk terdengar dari ponselnya. Dengan mata tertutup dia merogoh ponselnya dari dalam saku. Dengan malas dia membuka pesan itu,

‘Kak, titip bakpia kukus!’ , ini Dash.

‘Kak wingko!’, Okta.

‘Kak, Mama titip gudeg kaleng selusin ya!’

‘Kak, hati-hati ya…awas copet!’

Nove mengabaikan semua pesan dan hanya membalas ayah tersayangnya yang paling the best. Nove mematikan ponselnya dan kembali tidur setelah menyimpannya disaku jaket.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...