Sabtu, 11 Oktober 2025
01_MHB
“Bisa?”
Cklik!
“Hm!”
Sudut bibir dibalik masker hitam itu tertarik keatas. Keahliannya semakin bagus saja dan semua jadi terasa lebih mudah.
“Keluarkan yang kita butuhkan saja.”
“Iya tau!”
Beberapa dokumen sengaja diacak dan lembaran yang penting langsung diselipkan kedalam baju. Pria lain yang tadi berdiri dibelakang mengambil beberapa ikat uang yang terlihat menggiurkan dalam brankas.
“Tadi katanya ambil yang butuh aja?” Pria yang sedang berjongkok didepan brankas mendengus mengejek.
“Buat beli cilok.”
“Terserah!”
Setelah mengambil beberapa dokumen yang dibutuhkan mereka pun beranjak dengan membiarkan brankas itu tetap terbuka.
“Jangan lupa tempel!”
“Oh iya!” Pria bermasker hitam menepuk kepalanya dan mengambil sebuah stiker berwarna hitam dengan logo khas, dan menempelkannya tepat diatas brankas tersebut.
“Yuk!”
Mereka pun berjalan keluar dengan melangkahi beberapa mayat. Diruangan luas itu terlihat jelas bekas baku tembak baru saja terjadi. Percikan darah memenuhi dinding bagai sebuah wallpaper abstrak. Genangan darah bagaikan lapisan karpet merah yang empuk.
“Awas!” Pria yang tadi mengambil uang menarik si pria bermasker karena hampir menginjak genangan darah dilantai.
“Hampir!”
Sekali lagi mereka mengecek cctv yang sekiranya belum mereka rusak. Setelah semua terlihat aman, mereka pun segera meninggalkan tempat tersebut.
Keesokan harinya semua berita dari berbagai media menyiarkan tentang kematian seorang pengusaha dengan luka tembak tepat dibagian kepalanya. Bukti otentik tentang kerjasamanya dengan beberapa puhak dibagian pemerintahan sudah tidak terbantahkan lagi. Pihak pemberantasan korupsi serta polisi langsung bertindak cepat. Namun lagi-lagi yang menjadi pusat sorotan masyarakat adalah stiker berlogo yang ditemukan dilokasi kejadian.
Ada yang kontra dengan cara kelompok tersebut dalam memberantas kejahatan dan ketidakadilan karena dianggap terlalu kejam dan ekstrim namun tidak sedikit pula yang mendukung, berharap dengan adanya mereka maka dapat menekan tingkat kejahatan.
Seorang pria remaja putih abu-abu sedang mengoles rotinya dengan selai srikaya dan ini sudah roti kesekian yang dia makan. Sambil menonton televisi tangannya terus menyuapkan roti kemulut.
“Cepat juga beritanya…Okta, rotinya jangan dihabiskan, yang lain belum makan!”
Okta menatap malas ke mamanya yang masih terlihat seperti gadis kuliahan dengan celana jeans selutunya, “Baru lima, Ma…masih ada sisa tuh empat biji!”
“Mana cukup empat biji buat tiga orang!”
Seseorang mencium pipi Mamanya dari belakang dan tersenyum mengejek ke Okta. “Aku beli cilok aja Ma, nanti dikampus…jalan dulu ya udah telat!”
“Kak…Bareng! Okta dengan cepat memasukkan sepotong besar roti kemulutnya, mencium pipi mamanya dan berlari keluar rumah.
“Udah heboh aja pagi-pagi…” seorang pria yang terlihat gagah dengan kemeja putihnya mencium pucuk kepala istrinya dengan sayang.
“Anak-anak kamu tuh, Pa!” Kirana mendelik ke suaminya yang malah terkekeh geli.
Tangan Tomi mengacak-acak gemas rambut Kirana. Matanya mencari-cari apa yang bisa dimakan untuk sarapan. “Sarapan apa, Ma?”
Kirana mendesah pelan, “Tadinya mau bikin roti bakar tapi rotinya dihabisin sama Okta, tinggal empat tuh…atau Papa mau dibuatin yang lain?”
“Yang belum sarapan siapa?” Tomi terlihat ragu, takut ada anaknya yang belum sarapan. Pria tampan ini memang sesayang itu pada anaknya.
“Tinggal kamu sama si princess. Dia agak siangan sih ke sekolah karena hari ini cuma perkenalan murid baru aja.”
Tomi mengangguk paham, “Ya udah aku makan roti ini aja, nanti kamu buatin dia nasi goreng, biarpun cewek, anak itu makannya banyak. Mana cukup dia roti empat biji.”
“Okey!”
Setelah selesai sarapan, Tomi pun beranjak mengikuti kedua anaknya yang terlebih dahulu berangkat kuliah dan sekolah.
Semuanya terlihat bersemangat. Ini adalah hari pertama sepasang suami istri dan tiga orang putranya itu beraktivitas di kota yang baru. Tomi baru dipindahkan untuk mengurus cabang sebuah perusahaan yang baru dibuka. Alhasil semuanya juga harus ikut pindah termasuk sekolah anak-anaknya. Syukurlah mereka pindah bertepatan dengan waktu kelulusan jadi prosesnya tidak terlalu merepotkan.
Rumah terlihat sepi sepeninggalan Tomi dan kedua anaknya. Suara televisi yang masih menyiarkan berita yang sama menarik perhatian Kirana. Wanita itu menarik nafasnya dalam dan membuangnya dengan sekali dorongan. “Saatnya beres-beres.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Novel Unggulan
01_Janda Labil
Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...
-
Dia yang hanya menggunakan instingnya, menebak kemana Hana pergi setelah sampai ke Jakarta tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Bahkan...
-
“Oh, begitu ya. Padahal mereka berdua terutama Hana sudah sangat membantu di Panti Asuhan. Anak-anak disana juga sudah lengket banget dengan...
-
“Hana, kamu dimana , nak. Kok udah gelap masih belum balik?” Suara khawatir Bibi Yi terdengar dari seberang sana membuat Hana menggigit bibi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar