Hana mengelap telapak tangan yang lembab kecelana jeansnya.
Betapa dia sangat gugup saat ini. Keputusan akan dilanjutkannya beasiswa prestasinya akan diberitahukan hari ini. Hana menarik nafasnya beberapa kali, memantapkan hati dan perlahan tangannya terangkat mengetuk pintu ruangan dekan.
"Masuk." suara lembut Bu Dekan mengalun dari dalam ruangan
"Permisi, Bu." jawab Hana masih diliputi kegugupan sambil membuka pintu didepannya pelan
Terlihat senyuman manis penuh kebaikan terlukis diwajah seorang wanita paruh baya yang sedang terduduk dibelakang meja kerjanya.
"Duduklah, Hana. Tidak perlu gugup seperti itu." sapa Bu Dekan ramah.
"Baik, Bu. Terima Kasih."
"Baiklah, Ibu tidak akan memperlama lagi, melihat wajahmu yang sepucat itu benar-benar menyeramkan..." canda Bu Dekan. Mau tidak mau Hana terbawa kekehan Bu Dekan, hatinya lumayan lebih tenang.
"...kau mendapatkan beasiswamu lagi, Nak. Selamat yah."
Bu Dekan yang beranjak dan berjalan mendekati Hana dengan tangan terbuka.
Tanpa bisa dicegah linangan keharuan dan kebahagiaan memenuhi wajah Hana. Berkali-kali mulutnya melafalkan ucapan syukur atas berkah yang kembali dia terima. Betapa Tuhan masih mau mengizinkan Hana menerima amanatnya lagi. Walaupun dia kini sebatang kara namun Tuhan masih tetap bersamanya. Melindungi dan menjaganya. Sekali lagi Hana mengucapkan syukur yang tiada tara.
Hana dan Bu Dekan berpelukan dengan iringan tawa dan tangis.
"Selamat yah Hana Habiebah. Kau adalah kebanggaan Fakultas kita. Ibu dan semua dosen sangat bangga padamu, Nak. Teruslah kejar mimpimu. Kami selalu mendukungmu, Hana."
Hana masih tersenyum kecil mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Betapa hatinya sangat bahagia saat ini. Hana bertekad menghadiahkan dirinya sendiri dengan semangkuk mie ayam bang Edi. Membayangkannya saja sudah membuat perutnya lapar.
Matanya menatap jam dinding kampus yang menunjuk kearah angka sebelas. Hana tersenyum. Waktu yang tepat untuk makan, sarapan sekaligus makan siang. Walau bagaimanapun Hana haruslah tetap berhemat, bukan.
Langkah yang penuh semangat perlahan terhenti saat matanya menangkap jejeran mantan temannya. Yah, mantan. Kumpulan orang-orang yang selalu bersamamu disaat kau sedih namun pergi disaat kau bahagia. Kedengarannya memang baik tapi percayalah itu semua kemunafikan.
Alya, Monic, Susi dan Laras. Empat gadis yang selalu bersama dengan dirinya semenjak masuk dunia perkuliahan. Dengan kehidupan mereka yang bisa dibilang sibuk, Hana maklum jika mereka tidak sempat belajar dan mengerjakan tugas. Sebagai sahabat tentu Hana tidak bisa menolak permohonan mereka, kan. Alhasil Hana-lah yang akan bergadang menyelesaikan tugas keempat gadis populer itu. Namun apa yang dia dapat, tidak ada. Tidak Ada.
"Gitu ya, mentang-mentang dapet beasiswa lagi, porsi sombongnya nambah nih! Negur kita aja ga mau!" cerca Monic.
Keempat gadis itu menghampiri Hana yang berdiri diam ditempatnya. Bagai tidak melihat jika Hana ada didalam jarak pandang mereka, gadis-gadis itu terus saja menyiksa batin nya.
Kali ini Susi-lah yang ambil suara. "Beasiswa buat orang tidak mampu aja disombongin. Pake apa lo buat dapetin itu, paha? dada? atau vagina elu?"
Hana menggigit pipi bagian dalamnya keras. Berusaha menjadikan hal itu sebagai alarm peringatan. Sekali dia berbuat salah maka beasiswa itu terancam hilang. Selain prestasi, Hana juga terbebani dengan penilaian perilaku yang sangat ingin dihancurkan keempat perempuan iblis didepannya ini.
Alya dan Laras hanya menatap Hana dalam diam. Bukan berarti mereka baik. Rasa iri akan prestasi Hana lah yang memicu Alya bertindak seperti ini. Dia merasa jika dirinya lah yang jauh lebih pintar namun kenapa Hana yang berhasil mendapatkan beasiswa sialan itu. Dan sebagai sepupu yang baik, Laras harus selalu setia mendukung Alya, bukan.
Alya berjalan dan memposisikan tubuhnya lebih kedepan, memperlihatkan kepemimpinannya. Otomatis jaraknya menjadi lebih dekat dengan Hana.
"Tinggal dua semester lagi, Hana. Dan kupastikan kau akan hancur sehancur-hancurnya. Bertahanlah, sayang..." Alya menepuk pipi Hana pelan sebelum melanjutkan,
"...hidupku akan membosankan jika kau menyerah."
Dan mereka meninggalkan Hana seorang diri berdiri disana.
'Tahan, Hana....Tahan...kau kuat...kau kuat...'
Hana terus menerus mengulang kata-kata itu bagai mantra penguat. Dia harus kuat. Tidak ada yang akan menjadi penopang kelemahannya. Dia sendiri. Dan harus bisa berusaha sendiri.
Dengan tubuh gemetar menahan berbagai macam emosi, Hana memacu kakinya keluar dari Fakultas. Setetes airmata yang berhasil lolos langsung dihapusnya cepat. Semakin lama dia disini, rasanya akan semakin menyakitkan.
Namun bukan ketenanganlah yang dia dapatkan begitu kakinya melangkah keluar dari pagar kampusnya. Sentakan tangan seseorang pada tangannya terasa sangat menyakitkan, sampai Hana meringis menahan sakit itu.
"Perempuan sial! Kau kira sudah berapa lama aku menunggumu disini!"
"Kak Aryo?" Sungguh Hana kaget setengah mati mendapati Aryo-lah yang mencengkeram tangannya kasar dan menatapnya dengan tatapan membunuh.
Dengan kasar Aryo menyeret tubuhnya, membuka pintu dan membanting tubuh Hana keatas jok mobilnya. Bahkan Hana dapat mendengar suara kikikan para mahasiswi yang mungkin menganggap sikap kasar Aryo padanya adalah hiburan tidak ternilai.
"A...ada apa ini?" tanya Hana lirih, mengusap bagian tangannya yang sudah memerah hasil cekalan Aryo.
"Kau perempuan busuk! Ini rencanamu kan!" tuduh Aryo
Hana menggelengkan kepala tidak mengerti. "Rencana apa? Sungguh aku tidak tau apa maksudmu?"
Aryo mengerem mendadak dan Hana yang tidak siap langsung terhempas menabrak dashboard dengan sangat keras. Hana memejamkan matanya erat, menahan linangan airmata yang memberontak keluar. Ya Tuhan, ini sakit sekali. Tidak cukupkan hatinya saja yang terluka sampai fisiknya juga harus bernasib sama.
"Aaa..." erang Hana kesakitan
Aryo hanya menatap Hana jijik tanpa ada niatan membantu. Bahkan memberikan selembar tisu untuk menghapus bercakan darah dikening Hana pun Aryo malas.
"Ibu menyuruhku menjemputmu karena kau sama sekali tidak mengindahkan panggilannya. Aku bahkan harus meninggalkan wanita-ku hanya untuk menjemput wanita tidak berguna sepertimu!" jelas Aryo penuh emosi
Menahan sakit, Hana langsung merogoh tasnya dan menemukan ponselnya sudah dalam keadaan rusak, tepatnya pecah.
'Alya, yah' batin Hana miris
Sepertinya mulai hari ini dia akan hidup tanpa ponsel.
Salahnya-lah yang meninggalkan tas di loker tanpa terkunci.
Salahnya-lah membuat Aryo meninggalkan wanita yang dia cintai.
Salahnya-lah yang menjadi orang yang selalu merusak kebahagiaan semua orang.
Semua adalah salahnya. Salahnya.
Hana hanya bisa menguatkan dirinya sendiri. Harus bisa menahan air mata. Harus bisa menerima tanpa mengeluh. Harus bisa membagi hati dan Harus bisa menyediakan hati untuk menerima rasa sakit. Karena Hana sadar, dia hanyalah bagian kecil yang tidak akan pernah masuk dalam hidup orang lain. Bagian yang jika hilang tidak akan berarti apapun. Bagian yang jika mati...tidak akan ditangisi oleh siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar