Menyesal.
Andai saja dia tetap berada dikamar dan tidak pernah keluar maka amarah ini tidak akan memenuhi seluruh tubuhnya. Apa lagi yang harus dia buktikan. Belum cukupkah semua kepahitan yang beruntun menimpanya. Hana sudah lelah. Apa ini imbalan dari semua kesabarannya. Apa Tuhan melupakannya atau malah...membencinya.
Hana merosot duduk. Punggungnya bersandar didinginnya dinding kamar mandi. Entah sudah berada lama dia mengurung diri didalam.
Ingatannya terlempar kemenit-menit sebelum rasa putus asa ini memenuhi seluruh hatinya.
Menit-menit saat bibir dokter wanita itu mengucapkan jika Hana mengandung.
Dua minggu.
Kekehan sinis tanpa sadar terucap dari celah bibirnya yang memucat. Sepucat wajah Bibi Yi kala itu.
Dengan pelan Hana menghembuskan napas. Bola matanya bergulir kebawah. Tepatnya kearah pergelangan tangannya yang memerah pekat. Memerah darah.
"Aku tidak sanggup...tidak...sanggup lagi..."
Dan kegelapan pun mulai merayap memasuki kesadarannya.
Bosan.
Itulah yang dirasakannya. Aryo menghabiskan seluruh waktu dengan bekerja dan terus bekerja. Rasanya percuma menikmati kesenangan yang biasa dilakoninya saat hanya rasa hambar yang mendominasi. Jika Aryo mengatakan rindu maka dia akan muntah saat ini juga. Kehadiran Valdie bagai hiburan tersendiri untuk jiwanya. Saat bersama bocah nakal itu, sisi kosong Aryo terasa terpenuhi. Sisi seorang adik yang tak pernah dia dapatkan.
Aryo meringis saat pemikiran itu muncul kembali. Bisa habis dia ditertawakan playboy busuk itu jika tau.
Jemari panjangnya dengan santai memutar kunci mobil. Langkah kakinya mantap menapaki satu demi satu anak tangga. Tidak perlu mengetuk ataupun memencet bel. Tidak perlu dibukakan pintu oleh pelayan. Adalah kebiasaan pemuda tampan itu untuk masuk tanpa dipersilahkan. Toh, rumah ini juga miliknya. Jadi tidak masalah bukan?
Mata pemuda itu menyapu semua sisi rumah. Sepi adalah kata yang tepat. Wajar saja sebenarnya. Ayahnya masih belum kembali dari luar kota dan jelas juga, ini masih terlalu pagi.
Salahkan perempuan sial yang membangunkannya dengan cara yang amat tidak terhormat. Semua kepuasan seks yang diberikan perempuan itu tadi malam menghilang dalam sekejap berganti dengan rasa jijik. Seharusnya Aryo menyumbat mulut perempuan itu sebelum dengkuran keras mengotori kesucian pendengarannya.
"Ibu..." ujarnya pelan saat melihat sosok ibunya yang sedang duduk tak bergerak. Dengan pelan dia melangkah, berniat ingin sedikit menggoda ibunya dengan ciuman selamat pagi dadakan. Siapa tau dia bisa mendapatkan menu sarapan favoritnya.
Namun langkahnya langsung terhenti saat isakan terdengar samar dari arah sang ibu. Buru-buru Aryo mendekat, khawatir.
"Bu..." Aryo mengusap lembut bahu ibunya kemudian mendudukkan diri dikursi sebelahnya.
Namun yang dipanggil hanya menggelengkan kepalanya yang tertunduk. Isakan pun berganti tangis yang mengiris hati.
"Maafkan aku...maafkan aku..." cicit wanita paruh baya itu dalam tangisnya.
Kekhawatiran langsung memuncak sampai keubun-ubun Aryo. Jangan bilang jika penyakit ibunya kambuh lagi. Beriring doa didalam hati, pemuda itu berusaha menarik atensi sang ibu dan menanyakan apa yang terjadi padanya. "Ibu...kenapa? Apa ada yang sakit lagi? Aku akan menelpon ayah!" Aryo langsung beranjak. Namun tarikan pada tangannya, membuat Aryo terdiam ditempat.
"Tidak ada yang sakit, Nak....tidak ada. Bukan ibu yang sakit...tapi orang lain. Dan ibu menyesal menjadi salah satu penyebabnya...." Ika langsung menggeleng saat dilihatnya Aryo akan berucap. "Duduklah. Temani ibu disini dulu. Ibu butuh seseorang untuk menemani...menemani ibu mengatasi rasa bersalah ini..."
Beribu pertanyaan meluncur cepat memenuhi kepala Aryo. Namun bibirnya hanya bisa mengatup rapat saat ini. Dengan lembut pria itu menenggelamkan tubuh sang ibu kedalam pelukan.
Tidak butuh waktu lama. Merasa cukup, Ika langsung menegakkan tubuhnya dan memberikan sebuah amplop yang sedari tadi berada digenggaman kepada putranya. "Buka dan bacalah."
Entah mengapa Aryo merasakan perasaan mual saat menatap kertas putih yang bahkan dia tidak tahu apa isinya. Namun karena ini desakan ibunya, pemuda itu tidak bisa menolak. Dengan kaku dia mengambil alih amplop putih itu dari genggaman ibunya.
Aryo langsung membuka dan menarik dua lembar kertas dari dalamnya. Kerutan langsung tercipta didahinya. "Apa ini, bu? Kenapa ada nama perempuan itu dikertas ini?" tanya Aryo dengan nada tidak suka.
Tahu jika putranya kecewa karena perilaku calon menantunya, Ika mencoba menenangkan. "Bacalah dulu, Aryo. Bacalah."
Aryo tidak mau repot-repot menghilangkan raut tidak suka dari wajahnya. Amarah yang dulu sempat teredam kini muncul kembali kepermukaan. Sudah hilang pun perempuan itu tetap saja membuatnya repot. Maki Aryo dalam hati.
Dengan malas-malasan, Aryo memulai tugas beratnya. Membaca hal yang tidak penting. Sama seperti perempuan bernama Hana Habiebah. Perempuan yang tidak penting. Sampai menit selanjutnya mulai mengikis pemikiran bodoh itu.
Perlahan hingga semakin cepat. Bermalas hingga mulai tertarik. Berwarna hingga memucat pasi. Entah reaksi apalagi yang tergambar dari wajah pemuda tampan itu. Bahkan dia tidak sadar jika jemari sang ibu menggenggam tangannya yang mulai gemetar. Aryo bukanlah orang bodoh yang tidak mengerti isi dari surat ditangannya. Dan bukan pula berhati batu untuk tidak peka maksud dari semua keadaan ini.
Keadaan dimana harus merasakan apa yang dinamakan menyesal. Dan jujur dia sangat membenci rasa ini, saat ini.
"Hana..." baru kali ini Aryo tidak merasa jijik saat mengucap satu nama itu. Hanya perasaan berat yang tidak mampu dia artikan, apa itu.
"Iya, Aryo. Apa yang tertulis disurat itu sudah ibu buktikan sendiri..." Ika menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,
"Kemarin ibu ingin menutup rekening yang ibu buat untuk Hana dan neneknya. Tapi apa yang terjadi membuat ibu kaget, Nak. Pihak bank menyatakan jika saldo yang ada direkening itu masih sangat banyak dan tidak ada penarikan dana yang pernah terjadi..."
"Lalu bagaimana...di..dia dan neneknya menjalani hidup selama ini? Makan? Biaya kuliah kedokteran yang sangat mahal?" tidak sabar Aryo memotong penjelasan ibunya. Dia butuh jawaban. Dia sangat butuh itu, sekarang.
"Pensiun. Nenek Hana memiliki dana pensiun dibank yang sama. Yang sepertinya masih cukup untuk biaya hidup mereka berdua...dan untuk Hana sendiri, dia selama ini selalu berusaha mempertahankan nilai-nilainya agar mendapatkan beasiswa. Ibu sudah memastikan kekampus Hana." jelas Ika yang langsung membungkam putera semata wayangnya.
Kaki Aryo pun melemas seketika. Pemuda itu langsung terduduk diatas kursi. Matanya kembali mencari penggalan kata bercetak tebal yang tertera diatas kertas-kertas putih itu.
Pencabutan Beasiswa.
Dan
Surat Keputusan Pemberhentian Sebagai Mahasiswa.
Aryo meletakkan kertas laknat itu keatas meja. Bagai ulasan kaset rusak, gambaran acak perlakuannya selama ini kepada sang gadis memaksa berputar berulang-ulang dikepalanya.
Sang ibu yang tidak tahu apa yang disembunyikan puteranya, malah menatap sedih. Dengan lembut dia mengusap punggung rapuh Aryo.
"Maafkan dia yah, Nak. Hana adalah anak yang baik. Mungkin kesalahannya kemarin karena pengaruh pergaulan atau pelampiasan kesedihan atas kepergian neneknya."
Dan kalimat yang meluncur mulus dari mulut ibunya tanpa disadari malah semakin menghancurkan jiwa Aryo. 'Hana...apa yang sudah aku lakukan...padamu...?'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar