"MENYEBALKAAAAAAAN!!!!"
Dengan brutal
Indi membanting-bantingkan bantal yang malang itu kekasur dengan sekuat tenaga.
Berkali-kali.
"Dasar
perempuan-perempuan murahan menjijikan. Berani sekali kalian mendekati Reza-ku
sayang. Dasar lalat-lalat busuk..."
Mata Indi
menoleh kearah kolong meja. Dengan cepat dia melangkah menuju meja dan
bersujud, berusaha menggapai sesuatu dibawah sana. Terdengar suara gesekan
lantai dengan benda berbahan kaleng.
Begitu kaleng
kotak berukuran 30x30 cm itu berada diatas pangkuannya, mata Indi langsung
berbinar cerah. Bahkan terdengar suara tawa kecil dari mulutnya. Sungguh tawa
itu terdengar menyeramkan.
"Hehehehe...come
to mama, darling!"
Kleng!
Terpampanglah
foto seseorang yang bertumpuk-tumpuk didalam kaleng tersebut. Dari mulai foto
yang wajar sampai jika si korban melihat dijamin akan mendapat serangan
jantung. Entah bagaimana caranya Indi mendapatkan foto-foto itu. Yah, sudah
bisa ditebak siapa korban indi yang ada didalam foto-foto itu.
Reza Artha
Maheswara.
Bahkan foto Reza
yang hanya memakai handuk untuk menutupi daerah pribadinya yang sangat tersohor
itu pun ada. Oh, Indi betapa sudah akut nya penyakitmu.
"Sayang~"
ucap Indi tersenyum lebar pada foto digenggamannya. Bagai seorang ibu yang
menimang bayinya, Indi bergoyang-goyang memeluk foto Reza dengan senyum lebar
dan mata terpejam.
"Kenapa sih
kamu selalu menyerah merayuku. Kenapa kamu tidak memaksaku. Padahal sekertaris
jelekmu yang dulu menolakmu saja sekarang mengejar-ngejarmu bagai anjing
kampung. Mana udah jadi istri orang lagi..."
Indi melepaskan
foto itu dari pelukan dan membawa 'Reza' bertatap-tatapan dengan matanya. Indi
mencium lama foto itu.
"Kenapa
kamu tidak memaksaku seperti pada perempuan lain. Aku pasti akan dengan rela
menyerahkan diri dan hatiku padamu..." tanpa dia sadari setetes air
mengalir dari sudut matanya.
Indi beranjak
berdiri dan berjalan pelan menuju kasurnya. Dengan lelah Indi merebahkan
tubuhnya. Sekali lagi dia menatap foto itu dan kembali membawa 'Reza' kedalam
pelukannya.
"Kenapa...padahal
aku begitu mencintaimu..." bisiknya lirih dalam keheningan malam. Sebelum
mimpi kembali menjemputnya.
Indi bersyukur
demi bang toyib yang akhirnya ikut kurban tahun ini. Syukurlah hari ini hari
MINGGU. Dan dia tidak perlu pergi ke kantor dengan mata balon alias mata
sembab. Semalaman menangis efeknya benar-benar mengerikan. Selain wajahmu
sembab seperti habis di face off, kepala pun pusingnya minta ampun seperti
dipukuli orang satu provinsi.
Indi masih
memijit-mijit kepalanya saat terdengar suara bel. Mulutnya terus mengumpati
tamu sangat tidak diundang yang tega-teganya bertamu jam 7 pagi. Namun apa
daya, jika dia tidak membuka pintu sialan itu maka tamu yang juga sialan itu
akan terus memencet bel apartemennya sampai bolong.
"Iyaaaaa!!!
Sebentaaaarr!!!" teriaknya kesal
"Cepatlah!
gue buru-buru!" balas suara seorang wanita dari luar pintu.
Indi membuka
pintu itu dengan kasar karena jujur dari kekeras kepalaan tamu yang dengan
tidak sopannya terus memencet bel, dia bisa menebak siapa yang ada di balik
pintu apartemennya.
"Hai, kakak
ipar. Bisakan lu ga ngerusak hari libur orang?" tanya indi penuh
kesinisan.
Sedangkan wanita
didepannya seakan mati rasa malah menerobos masuk kedalam apartemennya.
"Eh, titip
ini yah. Susah bawanya, besar banget. Gue mau anter Lila kesekolah dulu, ada
latihan drama gitu. Nanti kalo sempat balik gue ambil. Daaaahhh!" setelah
meletakkan dua bungkusan besar diatas meja, Ika, mantan sahabat yang beralih
fungsi sebagai kakak ipar pergi seenak jidatnya meninggalkan Indi yang
terbengong ria. Tapi sebelum Ika menutup pintu dia berteriak,
"Itu teh,
kalo mau pake aja, enak lho. Okeeehhh!"
Indi memijit
kepalanya yang bertambah pusing. Akhirnya di menghela nafas pasrah. Mau protes
juga orangnya sudah pergi.
Indi berjalan
mendekati dua bungkus besar yang katanya teh itu diatas meja.
"Banyak
banget" Indi menatap takjub jejeran kotak-kotak berisi kantung teh yang
dititipkan kakak iparnya. Perlahan senyumnya mengembang.
"Coba satu
ah, sekalian sarapan."
Indi melenggang
kedapur membawa sekotak teh yang katanya enak itu. Dengan cekatan dia mengambil
cangkir dan menyeduh teh yang sekali lagi katanya enak itu.
"Wanginya
enak juga..." Indi menghirup dalam-dalam aroma teh yang lumayan mengurangi
sakit kepalanya.
Sluruup!
"Enak...padahal
belum dikasih gula!" ujar Indi antusias.
Bagai palu godam
yang menghantam kesadaran Indi, matanya sontak terbelalak saat menyadari jika
dirinya melewatkan sesuatu hal yang sangat penting.
"Astaga!
Kenapa gue bisa lupa. Reza-ku sayang kan sangat menggilai teh. Asiiik! Besok
akan gue bikinkan teh yang super enak ini untuknya. Dia pasti suka. Tunggu aku
yah cintaaaaa...." ujar Indi riang sambil memutar-mutar kotak teh itu
bagai sedang berdansa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar