Sabtu, 11 Oktober 2025

18

 DHUUUUG! DHUUUG! DHUUUG!

"ASTAGA! SEBENTAAAAARR!!!"

Baru juga secuil celah tercipta dari pintu yang dibuka Ika, Ibu satu anak itu harus rela terhuyung kebelakang saat tubuhnya terdorong oleh pintunya sendiri. Seakan belum cukup, kini ikutan si pelaku anarkis pendobrak pintu rumah yang menubruk sampai-sampai dadanya terasa sakit. Entah mengapa kemarahan dan kekesalannya tadi langsung menguap tanpa jejak. Tidak harus bertanya dan melihat untuk tau siapa yang sekarang tengah memeluk dan membasahi lapisan baju dibahunya.

"Ingus jangan keluar, yah..."

Ucapan penuh rasa tidak suka itu begitu kontras dengan tangannya yang terangkat dan membelai rambut sahabatnya. Ika memilih untuk tetap diam, menunggu Indi meluapkan berbagai emosi yang memenuhi rongga dadanya dalam tangisan tak bersuara.

"Lu ga nanya?" ucap Indi lirih setelah meletakkan tisu penuh ingus ke atas meja.

Dengan jijik Ika menendang tisu itu jauh-jauh. "Pengen sih...tapi kalo sang korban belum mau cerita, yah ditunggu aja. Dan biasakanlah mulai memanggilku dengan sebutan yang sopan...kakak gitu! Minimal aku-kau lah seperti yang kita terapkan belakangan ini."

Menggigiti bibirnya ragu, tidak membalas Indi malah memain-mainkan ujung bajunya. Beberapa detik terjadi keheningan. Dengan sabar Ika menunggu sambil memakan kacang atomnya dengan anggun. Namun tak sekalipun perhatiannya teralih dari si adik ipar.

"Gue...gue..." keraguan ini membesar seiring perkataan yang keluar dari mulutnya.

"Ck! Cepatlah Indira. Sebentar lagi suami tampan gue akan pulang dan lu pasti tau apa yang akan dia lakukan setelah melihat mata bengkak itu!" Ika menunjuk kesal Indi dengan bungkus kacangnya.

Mulut Indi membuka menutup tanpa suara seperti ikan yang mau mati. Entah harus mulai dari mana. Entah reaksi apa yang akan dipertontonkan Ika nanti. Entah bagaimana jalan hidupnya nanti. Sungguh Indi tidak mau tau lagi apa yang akan terjadi. Rasa sesak ini harus dikeluarkan. Harus dilampiaskan.

Maka mengalirlah kisah yang entah bisa disandingkan dengan kata cinta itu dari mulut Indi. Baru kali ini gadis itu mendapati jika wajah sahabat plus kakak iparnya ini bisa mengeluarkan seribu ekspresi. Mulai dari mulut menganga tidak percaya, mata berbinar karena dapat masukan foreplay, sampai wajah memerah karena menahan amarah.

"DAN ELU PEREMPUAN BEGO BINTI DODOL, KAGA NAMPAR TUH BOCAH KURANG AJAR SETELAH APA YANG UDAH DIA BUAT SAMA HARGA DIRI LU!!!!"

Baru kali ini, catat, baru kali ini Indi takut dengan amukan kakak iparnya itu. Aura singa betina beranak satu menguar kuat dari tubuh Ika. Bahkan mengangkat kepalanya saja pun Indi tidak berani.

"Gue harus bilang semua ini sama Ardi dan di..."

"JANGAN! Ja...jangan, Ka! Reza bisa mati kalo abang gue tau semuanya...jangan, Ika. Lu jangan kasih tau siapapun kalo masih mau gue hidup di dunia ini." dengan teramat dramatis Indi memeluk kaki Ika erat-erat sambil kembali berlinangan air mata dan ingus. Alhasil Ika hanya bisa menghela napas berat menghadapi sahabat labilnya ini.

"Haaahh! Lu yang punya masalah, kenapa umur gue yang rasanya memendek sih!" ika menjatuhkan tubuhnya kembali ke sofa dengan kaki yang masih dipeluk Indi.

"Trus sekarang gimana? Lu tetap mau datang dengan ke-jablay-an lu itu, kerumah tuh kecoa!"

"Dia benci kecoa."

"Peduli setan!" murka Ika kesal. Bisa-bisanya adik iparnya ini ingat apa yang disuka dan tidak dari laki-laki yang sudah jahat padanya.

"Yah, mau gimana lagi...nasib gue ada ditangannya. Berontak dikit aja pasti gue masuk penjara..." jawab Indi tertunduk lesu. "...lagipula gue penasaran, buat apa dia maksa ketemuan..."

"Penasaran apa kegatelan?!" potong Ika dengan kejam.

Ika terus menatap tajam kearah Indi yang sekarang mencomot kacang atomnya dengan lemas.

"Haaahh! Ya sudahlah. Susah juga kalau lu udah cinta mati begini. Ga ada jalan lain lagi, kita beresin masalah lu ini sampai keakar-akarnya..." kalimat menggantung Ika memaksa kepala Indi untuk terangkat dan menoleh cepat. Penasaran.

Indi langsung merinding disko ditempatnya saat melihat seringai Ika mulai berkembang. Pasti jalan keluar ini tidak akan tersusun secara sederhana.

"Kita selesaikan semua, dengan cara gue."

Dan Indi yakin itu.

Tap Taap!

Suara pantulan tumit sepatu yang beradu dilangkah cepat seorang pria menjadi latar yang terabaikan dikeramaian restoran cepat saji itu. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, tidak ada tanda-tanda jenuh dari orang-orang yang terus berdatangan untuk memenuhi hasrat lapar mereka dengan makanan penuh racun namun sialnya enak itu. Termasuk si pria pemilik langkah dan temannya yang sudah duluan menunggu.

Suara gesekan kursi memaksa seseorang untuk mengalihkan perhatiannya dari adukan teh panas.

"Maaf telat ta...eh sebentar aku telpon istri dulu ya!" pria yang baru saja mendudukkan dirinya itu langsung kembali berdiri dan berputar balik kearah luar. Menelpon istrinya tentu saja.

Reza hanya mampu mengulum senyum geli saat mengamati gerak tubuh sahabat sekaligus seniornya itu. Pasti menyenangkan punya istri.

Pikirannya langsung terjerat pada sosok seorang Indi. Apa Indi juga akan posesif padanya jika mereka sudah menikah nanti? Oh...itu indah sekali.

Senyum Reza pun semakin melebar.

"Ga usah senyum sok ganteng gitu. Nanti dikira orang kita pasangan homo."

"Hahaha! Bukannya dulu di kampus gosip itu memang sudah ada, senior?" dan tawa Reza kembali berderai.

"Yah! dan itu adalah tahun-tahun menjijikan yang pernah aku lewati!" tak pelak pria itu pun ikut tertawa.

Tanpa ada basa-basi kedua pria itu langsung melahap makanan mereka dengan santai dan mulai memasuki obrolan inti.

"Jadi...untuk kesekian kalinya dengan harapan yang semakin bertambah besar, aku mau minta Mas untuk membantuku di perusahaan." ucap Reza setelah menelan makanannya.

"Bukannya selama ini aku memang sudah membantumu?" balas pria didepannya dengan mulut yang masih penuh.

Reza berdecak kesal. Dia yakin seniornya ini sudah tau kemana arah pembicaraannya. Orang sejenius ini mana mungkin tidak peka.

"Maksud aku itu, Mas Ardi pindah kerja ke perusahaanku!" dengan kekesalan tertahan Reza mengutarakan niatnya.

Namun sayang kakak dari wanita yang dia cintai hanya membalasnya dengan kekehan. Yah, Kakak. Andai saja mereka saling tau maka pembicaraan ini pasti akan terjadi di ring tinju. Dan tonjokanlah yang akan menjadi medianya.

Ardi mengelap mulutnya dengan tisu sebelum membalas perkataan adik kelas kurang ajarnya ini. "Dengan kau yang menjadi bosku. Tidak terima kasih. Lagipula aku sudah nyaman dengan posisiku sekarang. Kalau kau butuh bantuanku tinggal bilang saja, beres kan?"

Reza menghela napas lelah bercampur kesal. Selalu saja kepala batu. Sosok keras kepala didepannya ini langsung mengingatkannya pada Indi. Kalau mereka jadi saudara pasti pas sekali. Yah, sekali lagi. Andai saja Reza tau.

"Aku tidak akan menyerah, Mas." dan sekali lagi hanya tawa yang menjadi jawaban seniornya itu.

Mata Reza menangkap gerakan Ardi yang sedari tadi menatap jam tangannya.

"Lima belas menit lagi aku cabut yah!" ujar Ardi yang kembali mencomot kentang goreng empat batang sekaligus.

"Ditungguin Mba Ika, yah? Masih mesra aja sih. Coba kalo dia tau betapa liar suaminya dulu. Bahkan lebih parah dari aku...Hahaha!"

Ardi mendengus menjawab ledekan Reza. "Dia tidak perlu tau. Anggap saja aku amnesia. Masa lalu tidak jelas seperti itu lebih baik dilupakan saja sampai kerak-keraknya."

"Ck ck ck! Ternyata efek menikah hebat juga yah?!" Reza menggelengkan kepalanya. Takjub.

Telunjuk Ardi teracung didepan hidung Reza. "Ralat. Bukan hanya menikah. Tapi menikah dengan cinta. Cinta, Reza. Kau akan merasa lengkap jika mengalaminya. Percayalah padaku."

Raut wajah Reza perlahan berubah kelabu. Dan Ardi yang mengerti pun menepuk pelan bahu adik kelasnya itu. "Aku berharap, Mas Ardi. Sangat malah." mata Reza menatap kegelapan malam dari balik kaca.

"Kau masih belum mencintai tunanganmu?"

Pertanyaan Ardi menerbitkan senyum samar dibibir Reza. "Aku sayang dan cinta padanya, Mas. Tapi berapa kalipun aku mencoba tetap tidak bisa menghapus kata 'adik' dari perasaan ini. Apalagi..."

"Apalagi?" Ardi yang penasaran mengulang perkataan Reza tanda dia tidak sabar.

"Apalagi...aku...aku sekarang...aku jatuh cinta pada wanita lain. Dan rasa ini begitu penuh. Sampai sesak rasanya..."

Ardi tersenyum puas. "Ternyata Sang Playboy yang paling diminati ibu-ibu untuk menjadi menantu sudah takluk."

Melihat Reza yang masih berwajah mendung, mau tidak mau Ardi sebagai yang lebih berpengalaman harus segera turun tangan.

"Reza, apa kau benar-benar mencintai wanita baru ini?" dan Reza pun mengangguk yakin.

"Lebih daripada tunanganmu?" sekali lagi Reza mengangguk dan bergumam...'sudah pasti'.

Ardi terdiam sebelum melanjutkan, "Apa keluargamu sudah tau?"

"Arya dan sepertinya...Ayah juga sudah menduga. Memangnya kenapa?" jujur Reza sedikit tersinggung dengan pertanyaan terakhir ini. Ini adalah hidupnya. Dia yang menjalani. Keluarganya harus mendukung selama itu masih dalam rute yang lurus, kan. Lagipula dia...

"Sesuai tebakanku. Ibumu belum tau kan?"

Pertanyaan itu langsung membendung apapun yang sedang berjalan dikepalanya. Yah, ibunya.

Ibu yang paling lembut dan paling dikagumi. Bahkan banyak dari teman-temannya dulu ingin bertukar ibu dengannya, dengan alasan klise. Ibu mereka terlalu cerewet. Jika saja mereka tau ibunya memiliki jurus ampuh yang mampu membungkam ketiga lelaki dihidupnya.

Air mata.

Sama seperti ketidakmampuan Reza menolak untuk ditunangan dengan sahabat kecilnya, maka kali ini dia pun tidak sanggup untuk membawa Indi kehadapan ibunya. Walaupun cintanya itu adalah pegawai kesayangan ayah dan ibunya.

Keheningan Reza menarik kesimpulan di kepala Ardi. "Jalani saja dulu. Biarkan takdir yang menuntunmu, Reza. Istilah jodoh tidak kemana...itu benar lho! Lihat aja aku, sekarang jadi suami dan tergila-gila pada sahabat adikku yang sejak dulu mengejarku seperti orang gila...Hahaha! Ardi tidak bisa menahan tawanya membayangkan betapa jijiknya dia dulu pada sang istri.

Reza pun ikut tertular tawa seniornya. Ingatan akan Ardi yang kabur dan bersembunyi dirumahnya karena ada wanita gila yang tidak mau pulang-pulang dari rumahnya. " Hahaha...Ya, Mas Ardi juga bilang kan kalau adiknya Mas mengira jika sahabatnya membayar seorang dukun untuk mengirimkan 'pelet'."

"Ya, aku ingat." dan mereka berdua kembali tertawa.

"Oh iya. Adiknya Mas apa kabar. Mana janjinya katanya mau menjodohkan kami..." Reza menaik turunkan alisnya menggoda.

"Aku tarik kembali. Lagipula siapa yang mau menikahkan adiknya dengan serigala berbulu monyet sepertimu!" balas Ardi ketus. Dan tersentak saat menyadari jika waktu lima belas menitnya sudah terlewat. Bisa mampus dia jika Ika memotong jatah bercinta mereka karena pulang terlambat.

"Aku balik duluan yah. Mau mampir beli martabak dulu. Adikku lagi nginep dirumah." ucap Ardi sembari berdiri dan memakai jasnya kembali.

"Yang sayang adik...yang sayang adik!" seru Reza menggoda berbumbu ledekan kepada Ardi.

"Yah. Sangat. Kalo ada aja yang berani nyakitin dia bakal langsung aku matiin!" balas Ardi sambil mengepalkan tangannya membentuk tinjuan.

"Akan aku bantu." dan mereka berdua terkekeh menyadari betapa posesifnya sang kakak ini.

"Reza. Jika bisa buatlah wanita yang kau cintai itu bahagia walaupun sebentar. Paling tidak dia bisa menyimpan sebuah kenangan manis jika kau nanti tidak memilihnya." dan Ardi pun berbalik pergi dengan terburu, menjauhi seorang pria yang kembali berwajah sendu.

"Bahagia yah...bahkan airmata sudah lebih dahulu keluar daripada tawanya..." mata itu terpejam lelah.

'Indi...'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...