DHUUUUG! DHUUUG! DHUUUG!
"ASTAGA!
SEBENTAAAAARR!!!"
Baru juga secuil
celah tercipta dari pintu yang dibuka Ika, Ibu satu anak itu harus rela
terhuyung kebelakang saat tubuhnya terdorong oleh pintunya sendiri. Seakan
belum cukup, kini ikutan si pelaku anarkis pendobrak pintu rumah yang menubruk
sampai-sampai dadanya terasa sakit. Entah mengapa kemarahan dan kekesalannya
tadi langsung menguap tanpa jejak. Tidak harus bertanya dan melihat untuk tau
siapa yang sekarang tengah memeluk dan membasahi lapisan baju dibahunya.
"Ingus
jangan keluar, yah..."
Ucapan penuh
rasa tidak suka itu begitu kontras dengan tangannya yang terangkat dan membelai
rambut sahabatnya. Ika memilih untuk tetap diam, menunggu Indi meluapkan
berbagai emosi yang memenuhi rongga dadanya dalam tangisan tak bersuara.
"Lu ga
nanya?" ucap Indi lirih setelah meletakkan tisu penuh ingus ke atas meja.
Dengan jijik Ika
menendang tisu itu jauh-jauh. "Pengen sih...tapi kalo sang korban belum
mau cerita, yah ditunggu aja. Dan biasakanlah mulai memanggilku dengan sebutan
yang sopan...kakak gitu! Minimal aku-kau lah seperti yang kita terapkan
belakangan ini."
Menggigiti
bibirnya ragu, tidak membalas Indi malah memain-mainkan ujung bajunya. Beberapa
detik terjadi keheningan. Dengan sabar Ika menunggu sambil memakan kacang
atomnya dengan anggun. Namun tak sekalipun perhatiannya teralih dari si adik
ipar.
"Gue...gue..."
keraguan ini membesar seiring perkataan yang keluar dari mulutnya.
"Ck!
Cepatlah Indira. Sebentar lagi suami tampan gue akan pulang dan lu pasti tau
apa yang akan dia lakukan setelah melihat mata bengkak itu!" Ika menunjuk
kesal Indi dengan bungkus kacangnya.
Mulut Indi
membuka menutup tanpa suara seperti ikan yang mau mati. Entah harus mulai dari
mana. Entah reaksi apa yang akan dipertontonkan Ika nanti. Entah bagaimana
jalan hidupnya nanti. Sungguh Indi tidak mau tau lagi apa yang akan terjadi.
Rasa sesak ini harus dikeluarkan. Harus dilampiaskan.
Maka mengalirlah
kisah yang entah bisa disandingkan dengan kata cinta itu dari mulut Indi. Baru
kali ini gadis itu mendapati jika wajah sahabat plus kakak iparnya ini bisa
mengeluarkan seribu ekspresi. Mulai dari mulut menganga tidak percaya, mata
berbinar karena dapat masukan foreplay, sampai wajah memerah karena menahan
amarah.
"DAN ELU
PEREMPUAN BEGO BINTI DODOL, KAGA NAMPAR TUH BOCAH KURANG AJAR SETELAH APA YANG
UDAH DIA BUAT SAMA HARGA DIRI LU!!!!"
Baru kali ini,
catat, baru kali ini Indi takut dengan amukan kakak iparnya itu. Aura singa
betina beranak satu menguar kuat dari tubuh Ika. Bahkan mengangkat kepalanya
saja pun Indi tidak berani.
"Gue harus
bilang semua ini sama Ardi dan di..."
"JANGAN!
Ja...jangan, Ka! Reza bisa mati kalo abang gue tau semuanya...jangan, Ika. Lu
jangan kasih tau siapapun kalo masih mau gue hidup di dunia ini." dengan
teramat dramatis Indi memeluk kaki Ika erat-erat sambil kembali berlinangan air
mata dan ingus. Alhasil Ika hanya bisa menghela napas berat menghadapi sahabat
labilnya ini.
"Haaahh! Lu
yang punya masalah, kenapa umur gue yang rasanya memendek sih!" ika
menjatuhkan tubuhnya kembali ke sofa dengan kaki yang masih dipeluk Indi.
"Trus
sekarang gimana? Lu tetap mau datang dengan ke-jablay-an lu itu, kerumah tuh
kecoa!"
"Dia benci
kecoa."
"Peduli
setan!" murka Ika kesal. Bisa-bisanya adik iparnya ini ingat apa yang
disuka dan tidak dari laki-laki yang sudah jahat padanya.
"Yah, mau
gimana lagi...nasib gue ada ditangannya. Berontak dikit aja pasti gue masuk
penjara..." jawab Indi tertunduk lesu. "...lagipula gue penasaran,
buat apa dia maksa ketemuan..."
"Penasaran
apa kegatelan?!" potong Ika dengan kejam.
Ika terus
menatap tajam kearah Indi yang sekarang mencomot kacang atomnya dengan lemas.
"Haaahh! Ya
sudahlah. Susah juga kalau lu udah cinta mati begini. Ga ada jalan lain lagi,
kita beresin masalah lu ini sampai keakar-akarnya..." kalimat menggantung
Ika memaksa kepala Indi untuk terangkat dan menoleh cepat. Penasaran.
Indi langsung
merinding disko ditempatnya saat melihat seringai Ika mulai berkembang. Pasti
jalan keluar ini tidak akan tersusun secara sederhana.
"Kita
selesaikan semua, dengan cara gue."
Dan Indi yakin
itu.
Tap Taap!
Suara pantulan
tumit sepatu yang beradu dilangkah cepat seorang pria menjadi latar yang
terabaikan dikeramaian restoran cepat saji itu. Walaupun jam sudah menunjukkan
pukul setengah sepuluh malam, tidak ada tanda-tanda jenuh dari orang-orang yang
terus berdatangan untuk memenuhi hasrat lapar mereka dengan makanan penuh racun
namun sialnya enak itu. Termasuk si pria pemilik langkah dan temannya yang
sudah duluan menunggu.
Suara gesekan
kursi memaksa seseorang untuk mengalihkan perhatiannya dari adukan teh panas.
"Maaf telat
ta...eh sebentar aku telpon istri dulu ya!" pria yang baru saja
mendudukkan dirinya itu langsung kembali berdiri dan berputar balik kearah
luar. Menelpon istrinya tentu saja.
Reza hanya mampu
mengulum senyum geli saat mengamati gerak tubuh sahabat sekaligus seniornya
itu. Pasti menyenangkan punya istri.
Pikirannya
langsung terjerat pada sosok seorang Indi. Apa Indi juga akan posesif padanya
jika mereka sudah menikah nanti? Oh...itu indah sekali.
Senyum Reza pun
semakin melebar.
"Ga usah
senyum sok ganteng gitu. Nanti dikira orang kita pasangan homo."
"Hahaha!
Bukannya dulu di kampus gosip itu memang sudah ada, senior?" dan tawa Reza
kembali berderai.
"Yah! dan
itu adalah tahun-tahun menjijikan yang pernah aku lewati!" tak pelak pria
itu pun ikut tertawa.
Tanpa ada
basa-basi kedua pria itu langsung melahap makanan mereka dengan santai dan
mulai memasuki obrolan inti.
"Jadi...untuk
kesekian kalinya dengan harapan yang semakin bertambah besar, aku mau minta Mas
untuk membantuku di perusahaan." ucap Reza setelah menelan makanannya.
"Bukannya
selama ini aku memang sudah membantumu?" balas pria didepannya dengan
mulut yang masih penuh.
Reza berdecak
kesal. Dia yakin seniornya ini sudah tau kemana arah pembicaraannya. Orang
sejenius ini mana mungkin tidak peka.
"Maksud aku
itu, Mas Ardi pindah kerja ke perusahaanku!" dengan kekesalan tertahan
Reza mengutarakan niatnya.
Namun sayang
kakak dari wanita yang dia cintai hanya membalasnya dengan kekehan. Yah, Kakak.
Andai saja mereka saling tau maka pembicaraan ini pasti akan terjadi di ring
tinju. Dan tonjokanlah yang akan menjadi medianya.
Ardi mengelap
mulutnya dengan tisu sebelum membalas perkataan adik kelas kurang ajarnya ini.
"Dengan kau yang menjadi bosku. Tidak terima kasih. Lagipula aku sudah
nyaman dengan posisiku sekarang. Kalau kau butuh bantuanku tinggal bilang saja,
beres kan?"
Reza menghela
napas lelah bercampur kesal. Selalu saja kepala batu. Sosok keras kepala
didepannya ini langsung mengingatkannya pada Indi. Kalau mereka jadi saudara
pasti pas sekali. Yah, sekali lagi. Andai saja Reza tau.
"Aku tidak
akan menyerah, Mas." dan sekali lagi hanya tawa yang menjadi jawaban
seniornya itu.
Mata Reza
menangkap gerakan Ardi yang sedari tadi menatap jam tangannya.
"Lima belas
menit lagi aku cabut yah!" ujar Ardi yang kembali mencomot kentang goreng
empat batang sekaligus.
"Ditungguin
Mba Ika, yah? Masih mesra aja sih. Coba kalo dia tau betapa liar suaminya dulu.
Bahkan lebih parah dari aku...Hahaha!"
Ardi mendengus
menjawab ledekan Reza. "Dia tidak perlu tau. Anggap saja aku amnesia. Masa
lalu tidak jelas seperti itu lebih baik dilupakan saja sampai
kerak-keraknya."
"Ck ck ck!
Ternyata efek menikah hebat juga yah?!" Reza menggelengkan kepalanya.
Takjub.
Telunjuk Ardi
teracung didepan hidung Reza. "Ralat. Bukan hanya menikah. Tapi menikah
dengan cinta. Cinta, Reza. Kau akan merasa lengkap jika mengalaminya.
Percayalah padaku."
Raut wajah Reza
perlahan berubah kelabu. Dan Ardi yang mengerti pun menepuk pelan bahu adik
kelasnya itu. "Aku berharap, Mas Ardi. Sangat malah." mata Reza
menatap kegelapan malam dari balik kaca.
"Kau masih
belum mencintai tunanganmu?"
Pertanyaan Ardi
menerbitkan senyum samar dibibir Reza. "Aku sayang dan cinta padanya, Mas.
Tapi berapa kalipun aku mencoba tetap tidak bisa menghapus kata 'adik' dari
perasaan ini. Apalagi..."
"Apalagi?"
Ardi yang penasaran mengulang perkataan Reza tanda dia tidak sabar.
"Apalagi...aku...aku
sekarang...aku jatuh cinta pada wanita lain. Dan rasa ini begitu penuh. Sampai
sesak rasanya..."
Ardi tersenyum
puas. "Ternyata Sang Playboy yang paling diminati ibu-ibu untuk menjadi menantu
sudah takluk."
Melihat Reza
yang masih berwajah mendung, mau tidak mau Ardi sebagai yang lebih
berpengalaman harus segera turun tangan.
"Reza, apa
kau benar-benar mencintai wanita baru ini?" dan Reza pun mengangguk yakin.
"Lebih
daripada tunanganmu?" sekali lagi Reza mengangguk dan bergumam...'sudah
pasti'.
Ardi terdiam
sebelum melanjutkan, "Apa keluargamu sudah tau?"
"Arya dan
sepertinya...Ayah juga sudah menduga. Memangnya kenapa?" jujur Reza
sedikit tersinggung dengan pertanyaan terakhir ini. Ini adalah hidupnya. Dia
yang menjalani. Keluarganya harus mendukung selama itu masih dalam rute yang
lurus, kan. Lagipula dia...
"Sesuai
tebakanku. Ibumu belum tau kan?"
Pertanyaan itu
langsung membendung apapun yang sedang berjalan dikepalanya. Yah, ibunya.
Ibu yang paling
lembut dan paling dikagumi. Bahkan banyak dari teman-temannya dulu ingin
bertukar ibu dengannya, dengan alasan klise. Ibu mereka terlalu cerewet. Jika
saja mereka tau ibunya memiliki jurus ampuh yang mampu membungkam ketiga lelaki
dihidupnya.
Air mata.
Sama seperti
ketidakmampuan Reza menolak untuk ditunangan dengan sahabat kecilnya, maka kali
ini dia pun tidak sanggup untuk membawa Indi kehadapan ibunya. Walaupun
cintanya itu adalah pegawai kesayangan ayah dan ibunya.
Keheningan Reza
menarik kesimpulan di kepala Ardi. "Jalani saja dulu. Biarkan takdir yang
menuntunmu, Reza. Istilah jodoh tidak kemana...itu benar lho! Lihat aja aku,
sekarang jadi suami dan tergila-gila pada sahabat adikku yang sejak dulu
mengejarku seperti orang gila...Hahaha! Ardi tidak bisa menahan tawanya
membayangkan betapa jijiknya dia dulu pada sang istri.
Reza pun ikut
tertular tawa seniornya. Ingatan akan Ardi yang kabur dan bersembunyi
dirumahnya karena ada wanita gila yang tidak mau pulang-pulang dari rumahnya.
" Hahaha...Ya, Mas Ardi juga bilang kan kalau adiknya Mas mengira jika
sahabatnya membayar seorang dukun untuk mengirimkan 'pelet'."
"Ya, aku
ingat." dan mereka berdua kembali tertawa.
"Oh iya.
Adiknya Mas apa kabar. Mana janjinya katanya mau menjodohkan kami..." Reza
menaik turunkan alisnya menggoda.
"Aku tarik
kembali. Lagipula siapa yang mau menikahkan adiknya dengan serigala berbulu
monyet sepertimu!" balas Ardi ketus. Dan tersentak saat menyadari jika
waktu lima belas menitnya sudah terlewat. Bisa mampus dia jika Ika memotong
jatah bercinta mereka karena pulang terlambat.
"Aku balik
duluan yah. Mau mampir beli martabak dulu. Adikku lagi nginep dirumah."
ucap Ardi sembari berdiri dan memakai jasnya kembali.
"Yang
sayang adik...yang sayang adik!" seru Reza menggoda berbumbu ledekan
kepada Ardi.
"Yah.
Sangat. Kalo ada aja yang berani nyakitin dia bakal langsung aku matiin!"
balas Ardi sambil mengepalkan tangannya membentuk tinjuan.
"Akan aku
bantu." dan mereka berdua terkekeh menyadari betapa posesifnya sang kakak
ini.
"Reza. Jika
bisa buatlah wanita yang kau cintai itu bahagia walaupun sebentar. Paling tidak
dia bisa menyimpan sebuah kenangan manis jika kau nanti tidak memilihnya."
dan Ardi pun berbalik pergi dengan terburu, menjauhi seorang pria yang kembali
berwajah sendu.
"Bahagia
yah...bahkan airmata sudah lebih dahulu keluar daripada tawanya..." mata
itu terpejam lelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar