Clek!
Kening Reza
menyerngit bingung saat mendapati jika gadis yang dicintainya menatap sofa di
depan dengan pandangan kosong. Apa kursi berbusa itu jauh lebih menarik dari
dirinya yang sangat tampan ini, batin Reza tidak terima. Namun seketika hatinya
tercubit saat mendapati aliran airmata yang mengering dipipi gadis manis itu.
Terima kasih pada cahaya lampu yang memantulkannya. Reza menarik napasnya
dalam, sadar jika yang dia lakukan pada Indi benar-benar melukai gadis itu.
Tapi inilah satu-satunya cara yang terlintas diotaknya saat ini demi
mendapatkan Indi seutuhnya. Jiwa dan sudah pasti raga.
"Ehm!"
Reza menghela
napas lelah saat Indi sama sekali tidak merespon dan tetap berdiri diam bagai
sebuah manekin pajangan.
Menggelengkan
kepalanya samar, Reza pun berlalu menuju kursi kerjanya dan langsung
mendudukkan diri.
"Indi, mau
sampai kapan kau berdiri disana. Duduklah." ucapnya sedatar mungkin
padahal ingin sekali tubuhnya berlari memeluk sang gadis disaat sentakan tubuh
dan pucatnya wajah itu akhirnya merespon panggilannya.
"Maaf, Pak.
Saya berdiri saja."
Tidak suka.
Itulah yang dirasakan Reza saat ini. Jawaban apa itu. Seakan-akan mereka tidak
ada hubungan saja padahal kan dia adalah kekasih gadis itu. Atau hanya dia saja
yang berpikiran seperti itu. Sialan!
"Terserah!"
balas Reza kesal.
Reza buru-buru
memalingkan matanya kearah laptop saat mata indah itu menatapnya lurus. Dia
tidak boleh terlena. Untuk saat ini dia harus tega. Dan Reza bertekad akan
segera merubah tatapan penuh luka itu menjadi pancaran bahagia. Bahagia karena
menjadi istri dari seorang Reza Artha Maheswara.
"Langsung
saja. Aku ingin mendengar pertanggung jawabanmu, Indi. Apa yang akan kau
lakukan untuk mengganti 700 juta yang hilang dari perusahaan ini?" tanya
Reza datar tanpa melepas fokusnya dari laptop. Padahal yang terpampang disana
hanyalah sebuah game yang telah di pause.
"Maaf jika
saya lancang, Pak. Apa tidak ada cara lain untuk membuktikan saya lah yang
benar?" Oh! Indi tidak akan mengatakan 'untuk membuktikan saya tidak
bersalah'. Karena sungguh dia yakin jika memang tidak ada yang salah dalam
pekerjaannya.
"Maksudmu?"
Indi memejamkan
matanya. Saat kelopak itu terbuka, luapan emosilah yang mengumpul disana.
"Mirna.
Tadi saya menelponnya dan dia...menangis. Sepertinya Bapak Reza yang terhormat
jauh lebih tau daripada saya, mengapa Mirna sampai menangis." cecar Indi
langsung tanpa berusaha menutupi rasa kecewanya.
Rahang Reza
mengeras. Dalam hati dia terus mengutuk perempuan lemah bernama Mirna. Dasar
tidak tau diuntung, maki Reza dalam hati.
Perlahan pemuda
tampan itu mengalihkan atensinya dari layar laptopnya kearah sang gadis pujaan.
Tanpa bisa dicegah seringai keji diwajah Reza pun terbit. Tidak perlu lagi
berpura-pura. Tak perlu lagi menutupi bau bangkainya. Gadis didepannya ini
terlalu cerdas untuk dikelabui. Reza menertawai dirinya sendiri karena sampai
lupa dengan fakta yang satu itu.
Reza bangkit
dari kursinya. Entah mengapa rasa takut memenuhi dada Indi saat pria itu
perlahan mendekatinya. Bagai seekor predator yang menatap lapar mangsanya, Reza
terus mengunci tajam tepat kemata Indi.
Begitu
mengikatnya pandangan itu sampai-sampai Indi tidak menyadari jika Reza sudah
berada tepat didepan hidungnya. Bahkan dia bisa mencium dengan jelas aroma
maskulin mantan prianya. Kekasih yang tidak dianggap seperti dirinya hanya bisa
meringis dalam hati.
"Mengapa...mengapa
kau melakukan ini?" Oh! airmata sialan ini kenapa harus keluar. Indi
memaki dirinya sendiri karena bertingkah cengeng. Tapi efek Reza yang berada
didekatnya seperti ini membuatnya menjadi lemah. Bagaimanapun Indi adalah perempuan
biasa. Yang pasti luluh didepan pria yang dia cintai dengan sangat.
Andai saja Indi
tau jika pria didepannya saat ini begitu ingin merengkuh tubuh kecil itu dalam
pelukannya dan menghapus airmatanya dengan ciuman sayang. Namun bukan hal itu
yang malah diwujudkan oleh Reza.
"Untuk
mengikatmu diantara kedua kakiku."
Plak!
Pria tampan itu
malah semakin membarakan api diantara mereka.
Napas Indi masih
memburu karena emosi. Tangannya masih terasa panas karena menampar keras pipi
pria itu. Sehina itukah dia dimata Reza. Semurahan itukah nilai dirinya. Apa
tadi kata pria itu? Mengikat Indi diantara kedua kakinya? Apa dia dianggap
sebagai...pelacur?
Secinta-cintanya
dia kepada Reza, Indi tidak akan membiarkan pria itu menghinanya seperti ini.
Menghina seorang manusia yang setengah mati dilahirkan oleh ibunya.
Dasar Brengsek!
Mengabaikan
keburaman pandangannya karena gumpalan airmata, Indi terus menatap tajam kearah
pria yang kembali menarik kepalanya kedepan setelah tadi terlempar kesamping
karena menerima tamparan keras. Bekas merah itu terlukis jelas dipipi putih
sang adonis.
"Cukup!
Sudah cukup kau menghinaku seperti ini. Apa karena begitu mudahnya aku terbuai
padamu, kau jadi menganggap aku semurahan itu. Ya, memang benar aku mencintaimu
bahkan memujamu..." Indi perlahan mundur dan memeluk dirinya sendiri,
mengais sisa-sisa tenaganya untuk membuat benteng perlindungan.
"...bahkan
jika kau menyuruhku mencium kakimu pun aku bersedia..."
Reza terpaku
ditempat saat matanya menangkap aliran deras airmata didepannya.
"...aku
akui aku memang semurahan itu. Tapi bisa tidak...sedikit saja...sedikit
saja..." Indi mengeratkan pelukannya dan semakin membungkuk, memohon.
"...jangan
perlakukan aku seperti perempuanmu yang lain. Kumohon jangan khianati
aku..." lanjutnya lirih.
Reza mengerjap
beberapa kali. Bingung, itulah yang dia alami sekarang. Apa maksud gadis ini.
Khianat. Siapa yang mengkhianati siapa. Disini dialah yang merasa diabaikan
oleh Indi. Setelah dia mengungkapkan perasaannya, Indi malah mengabaikan seolah
perasaan cintanya pada gadis itu tidak berarti apa-apa. Hanya omong kosong.
"...apa
menyakitiku dengan tidak setia saja tidak cukup bagimu dan sekarang kau ingin
menghancurkan karir yang bertahun-tahun susah payah aku bangun..." lanjut
Indi mengabaikan pancaran tidak mengerti dimata Reza.
"A..apa
mak..." tanya Reza yang langsung terpotong.
"Aku
membencimu. Aku membencimu Reza Artha Maheswara!"
Salah. Adalah
tindakan yang salah Indi mengucap kalimat laknat itu.
Tanpa sadar Indi
sudah menggores dinding ego pria itu. Tidak ada seorang pun yang boleh menolak
Reza. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan membencinya. Hanya dia lah yang
boleh memperlakukan siapa pun sesuka hatinya. Termasuk Indi.
"Kau.
Tidak. Bisa. Membenciku. Indi."
Tekanan kata
perkata itu sontak membungkam Indi. Rasa dingin dan amarah terasa kental dalam
ucapan pria itu. Sekali lagi tanpa sadar Indi melangkah mundur. Takut. Itulah
yang dia rasakan sekarang.
"Jangan...jangan
mendekat!"
Bagai tuli Reza
terus berjalan mendekati tubuh Indi yang menggigil. Tatapan dingin dan wajah
kaku itu sungguh begitu menakutkan.
"AAKH!"
Pekikan langsung
terlontar dari mulut Indi saat tangan Reza dengan kasar menarik tubuhnya
kepelukan pria itu.
"Lepas!
Lepammpphhh!!!"
Dengan kasar
Reza melumat telak bibir Indi. Tidak ada rayuan. Tidak ada buaian seperti yang
pernah Reza beri untuknya. Ciuman ini diliputi berbagai emosi yang mereka saja
tidak mengerti itu apa. Marah, Kecewa, Sedih, semua melebur ditambah
emosi-emosi lain yang tak terungkap. Mengapa perasaan mereka jadi serumit ini.
Indi terus
mendorong tubuh Reza agar ciuman dan pelukan itu terlepas namun sayang sang
pria belum mengizinkan.
Masih mengunci
Indi dimulutnya, Reza mengangkat dan menghempaskan tubuh mungil itu keatas meja
kerjanya. Indi bahkan sampai meringis didalam lumatan Reza saat punggungnya
mencium mesra dinginnya meja kayu berlapis kaca tebal itu.
Indi langsung
panik dan gelagapan saat menyadari jika posisinya saat ini benar-benar dalam
kuasa sang adonis. Entah kapan dan bagaimana hingga Reza sudah berdiri diantara
kedua tungkainya yang menjuntai kebawah.
"Lepas!"
Indi terus berusaha mendudukkan dirinya dan mendorong tubuh Reza yang tak
tergeser sedikit pun bagai batu.
"Tidak akan
aku lepaskan..." Reza melumat bibir itu lagi dan dengan gemas menggigit
bibir yang berani-beraninya menolak. Bahkan Reza mengabaikan pekikan sakit sang
gadis karena begitu dibutakan amarah dan nafsu.
"...kau
harus disadarkan jika tubuhmu ini adalah milikku. Milikku!"
"Akkkhhh!"
Indi menjerit saat dua jemari Reza tiba-tiba memasuki pusat kenikmatannya yang
dengan kurang ajar sudah terlumuri cairannya sendiri.
Reza terkekeh
yang terdengar penuh hinaan ditelinga Indi. "Sepertinya tubuh ini tidak
semunafik mulutmu, sayang..."
Indi hanya mampu
memejamkan matanya rapat-rapat. Menelan rasa malu saat tubuhnya dengan mudah
terangsang dan menerima perlakuan hina Reza pada dirinya. Dasar pelacur, maki
Indi pada dirinya sendiri.
Napas Reza
begitu memburu saat kedua jarinya terus membelai, menusuk dan mengaduk
kewanitaan Indi yang sudah membanjiri jari-jarinya.
"Engghhhh...aaahhh..."
Bibir Indi yang
sedikit terbuka dan berhias desahan langsung dilumat penuh kedominanan oleh
Reza.
Reza begitu
menikmati goyangan erotis nan pasrah tubuh Indi seirama dengan gerakan
jemarinya yang timbul tenggelam dikelembaban inti gadis itu. Dengan lembut Reza
memeluk tubuh Indi tanpa mengurangi limpahan kenikmatan yang diterima Indi darinya.
Dengan sayang
Reza menciumi pipi putih gadis itu. Mata Indi masih terpejam, terbuai, terlena,
nikmat.
"Mmmm....aaahhh.."
desah Indi lemah saat Reza mengeluarkan jarinya yang mengilat basah dan
memasukkannya lagi dengan perlahan, menikmati pijatan kewanitaan Indi pada
kedua jarinya. Menggoda gadis itu. Memancingnya pada kenikmatan karena dicintai. Namun Reza lagi-lagi mengeluarkan
jemarinya yang sangat basah, menarik resletingnya sendiri dan mengusapkan
cairan yang menempel itu pada kejantanannya sendiri. Mata Reza terpejam
menikmati sensasi dingin cairan Indi.
Merasa kosong
pada intinya, Indi membuka matanya sayu dan menangkap senyuman lembut diwajah
tampan Reza. Tapi perlahan senyuman itu menghilang dan berganti seringai
mengejek.
Dengan santai
Reza melepaskan pelukannya. Menarik selembar tisu dimeja dan langsung mengelap
jemarinya, seolah ada yang menjijikan disana.
Indi hanya
menatap lemas tanpa ada tenaga untuk menggerakkan tubuhnya sendiri, bahkan
napasnya saja masih terengah. Reza telah membuat dirinya merasakan puncak
kenikmatan sebanyak tiga kali hanya dengan jari pria itu. Benar-benar seorang
dewa. Dewa Seks.
"Terserah
jika hatimu suka atau tidak. Aku hanya butuh tubuhmu yang sepertinya masih
membutuhkan belaianku...."
Reza menarik jas
yang tergeletak dikursinya. Dengan perlahan dia menutupi tubuh Indi yang sangat
berantakan dengan jas itu.
"Aku akan
membersihkan namamu kembali tapi Sabtu besok...kau datanglah ke apartemenku.
Kita akan membahas upah atas kemurahan hatiku ini."
Dan Reza pun melenggang
pergi membawa harga diri seorang Indi yang kembali menangis dalam diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar