Jumat, 17 Oktober 2025

14_Love



Walaupun tidak begitu keras, namun suara bantingan buku keatas meja kayu cukup membuat Ika menghela napas kesal. Entah terbuat dari apa kepala anaknya ini. Bahkan batu terhitung masih terlalu lembek.

"Paling tidak ketemu dulu, Ar!" tidak menyerah Ika terus mendesak. Siapa tahu kali ini berhasil.

"Hah!" Aryo menyisir rambutnya kebelakang dengan kesepuluh jarinya. Frustasi.

"Tidak, bu! Untuk kesekian kalinya aku jawab tidak. Dan kumohon ini yang terakhir ibu memaksaku!"

Entah hilang kemana putra penurut itu. Padahal dulu dia selalu melakukan apapun yang ibunya mau.

"Ar, Ayahmu sudah semakin menua. Ibu juga. Dulu kau menolak untuk kuliah kedokteran...ayah dan ibu tidak melarangmu. Kau ingin berbisnis sendiri, kami juga tidak pernah membatasi...tapi ini demi kelangsungan rumah sakit kita, Nak. Ibu mohon..." Ika menarik napasnya lelah sebelum melanjutkan.

"...Dini seorang dokter bedah yang menjadi andalan rumah sakit kita. Jika kau tidak mau meneruskan biar istrimu yang jadi pengganti ayah. Menikahlah dengan Andini, Ar!" bujuk Ika penuh permohonan.

Bukannya melemah, Aryo malah menatap kesal pada ibunya. Mengalah, Aryo memejamkan matanya mengendalikan emosi yang merangkak naik keubun-ubun.

"Ibu tau kan...apa yang saat ini sedang aku lakukan? Aku masih mencarinya...bu..." Aryo melembutkan nada suaranya. Bujukan harus dilawan dengan bujukan. Bagaimanapun Ika adalah sosok seorang ibu yang begitu menyayangi putranya. Putra satu-satunya.

"Dan sampai saat ini belum ada hasil apapun, ibu benar kan?"

Fakta itu menghantam kesadaran Aryo. Hatinya kembali merasa sakit. Bertahun-tahun sudah. Apa ini saatnya dia menyerah.

Tidak.

Tidak.

Kali ini dia lah yang harus menggambar jalannya sendiri. Menentukan dengan siapa dia akan menghabiskan hidupnya. Dengan siapa dia mencurahkan hatinya tanpa batas. Dan itu sudah pasti. Hanya 'dia' yang berhak.

Hanya Hana.

Aryo berjalan mendekat dan memeluk ibunya erat. Kepalanya dia jatuhkan kebahu ibunya.

"Aku mohon dukung aku, bu. Aku yakin bisa menemukannya..."

Aryo mengangkat kepalanya dan menatap lurus kemanik mata ibunya. Senyum lemah terukir dibibirnya.

"Setelah nanti kami menikah...dia yang akan menggantikan papa...bukankah dia calon dokter yang jenius..." Aryo menyelipkan hiburan sarat candaan agar ibunya terhibur. Namun penuh pintaan pengertian.

Ika terdiam beberapa saat maraup seluruh ekspresi sedih dan lelah dari putranya yang semakin hari semakin menjelek saja. Pelihara brewok tapi tak terurus. Sedangkan Aryo hanya menunggu tanpa ingin mendesak.

"Bagaimana aku bisa tidak mengabulkan keinginanmu....jika wajahmu mengiba seperti monyet kelaparan begini..."

Dan keduanya terkekeh mendengar ledekan Ika.

"...tapi...sudah sejauh mana pencarianmu akan Hana, Ar? Ini bahkan sudah mau lima tahun berlalu dan entah dimana dia sekarang. Jujur ibu ingin bertanya keseluruhan tragedi yang dulu itu padanya. Ibu terlalu emosi..."

Sontak perkataan Ika membuat wajah Aryo pias memucat. Suara ibunya bagai mengecil terbawa angin. Tidak. Ibunya tidak boleh tahu. Dia akan memperbaiki semuanya tanpa siapapun tahu. Termasuk Hana.

"Aryo!"

Aryo mengerjap. Hentakan suara ibunya yang sudah berulang kali memanggil sarat akan kekesalan.

"Kau melamun...lagi!"

Menggeleng pelan, Aryo menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Entah kemana sosok lamanya pergi. Tidak ada lagi kesan arogan dan sombong yang dulu selalu sepaket melekat. Dirinya seperti orang yang setengah hidup. Dia harus mencari satu sosok untuk melengkapi setengah jiwanya lagi.

"Aku pamit dulu, bu."

"Hm." Ika memberi tangannya untuk dicium Aryo. Percuma menahan putranya itu untuk menginap. Aryo seperti menghindar untuk bertemu ayahnya. Apa takut wajah tua itu berhasil membuatnya luluh. Pasti itu.

Aryo terus melangkah keluar rumah. Berjalan cepat menuju mobil hitamnya. Dengan kasar dibantingnya pintu mobil. Helaan lelah terdengar samar.

"Harus kemana lagi aku mencarimu..."

Drrt Drrt!

Malas-malas Aryo mengambil ponsel dari saku celananya. Nama yang terpatri dilayar membuat keningnya berkerut. Tumben.

"Malam, Tante..." sapa Aryo ramah setelah panggilan itu tersambung.

Perubahan ekspresi silih berganti mewarnai wajahnya. Perkataan entah apa dari orang diseberang sana membuat lidahnya terpaku. Aryo terus saja mendengarkan tanpa berniat ikut bicara walaupun sekedar basa-basi.

"Belum...dia belum menghubungi, Tante. Mungkin masih sibuk. Nanti Saya aja yang nelpon..."

Aryo menatap lurus kepemandangan yang tersaji dibalik kaca mobilnya datar. Mengangguk sekilas sebagai jawaban walaupun sang penelpon tidak melihat.

"Baik, Tante. Nanti saya sampaikan. Salam buat Om ya, Tante. Selamat malam!"

Aryo meletakkan ponselnya yang sudah berlayar gelap ke jok sebelah. Pria itu hanya terdiam bagai patung mencerna informasi yang baru dia dapat. Jujur memang terasa aneh, tapi dia juga tidak mau pencariannya ada yang mengganggu. Dan dia tidak mau lagi menghabiskan waktu untuk hal lain yang tidak penting. Lebih baik dia mencari Hana jika ada waktu luang walau cuma semenit.

'Sudah seminggu dia disini...dan bocah brengsek itu tidak menghubunginya...' batinnya tetap penasaran.

.

.

Sedangkan dilain tempat diwaktu yang sama seorang pria dengan pakaian santai sedang mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Ikut bernyanyi mengikuti lantunan yang mengalun dari radio. Kali ini dia sendiri tanpa ditemani oleh sopir pribadinya.

Menyadari tujuan yang semakin terlihat, Valdie langsung membelokkan mobilnya kesebuah bangunan yang berlampu cukup terang.

Valdie menghentikan mobilnya tepat didepan pintu masuk. Dengan kepongahan yang menguar dari setiap jengkal tubuhnya, pria itu melempar kunci mobil dan langsung berlalu meninggalkan petugas hotel yang sudah tahu apa tugasnya.

Kaos berwarna putih memantulkan kulit Valdie yang memang bersih. Rambut yang acak-acakan malah membuat tampang bad boy-nya terasa semakin lezat. Reaksi perempuan yang berada di-teritorinya sudah cukup menjadi bukti.

Valdie manatap meja resepsionis hotel dengan malas. Yah, dia harus puas walaupun dengan sangat terpaksa. Hotel ini adalah hotel terbaik yang ada disini. Dalam skala kota kecil seharusnya itu sudah cukup. Untung saja pria itu masih bisa mengendalikan sorot jijik yang bakal membuat semua orang sakit hati dan tersinggung.

Kepalanya mulai mendata ketidaknyamanan yang akan dia hadapi nanti. Namun membayangkan apa reward yang akan dia dapatkan sebagai bayaran...

Pengorbanan seperti ini rasanya masih cukup ringan.

"Permisi. Saya ingin confirm pesanan atas nama Novaldie Chandra."

Suara datar Valdie membuat petugas resepsionis mengalihkan atensinya dari game ponsel dengan kesal. Namun detik berikutnya, gadis itu malah terperangah, terjerat pesona wajah sempurna Valdie yang memang jauh diatas rata-rata. Gadis resepsionis itu menggali ingatannya atas artis-artis sinetron yang biasa menghiasi layar kaca, namun gagal menemukan yang cocok. Mungkin masih artis baru yang belum terkenal.

"Hei! Apa kau dengar perkataanku tadi!"

Sentakan kasar Valdie langsung menarik kesadaran perempuan didepannya. Dengan gugup dia langsung mengangguk dan segera mengecek data dikomputer.

'Dasar tidak profesional!' umpat Valdie dalam hati. namun sayang tanpa dia sadari kalimat itu meluncur dari bibirnya. Valdie sadar saat melihat si mbak resepsionis menggigit bibirnya berusaha menahan tangis.

"Maaf Pak Valdie dan terima kasih sudah menunggu. Pesanan kamar atas nama bapak sudah kami terima. Untuk...seminggu ya, Pak?"

Valdie tetap diam dengan tatapan yang seolah berkata, "Masih harus nanya? Memang dikomputer bututnya itu masih belum jelas?"

Seakan mengerti situasi, Manager Hotel yang sedari tadi memang berdiri tidak jauh dari mereka mulai mendekat. Dengan ramah dia menjulurkan tangannya. Untung saja Valdie masih bisa menjaga perilaku dengan menerima jabatan tangan pria tua itu, walaupun masih dengan tampang kesal.

"Maaf Pak Valdie atas ketidaknyamanan dari kami. Sesuai permintaan bapak, kami sudah menyediakan kamar terbaik yang kami punya dengan pemandang..."

"Berikan saja kuncinya, biar aku sendiri yang membuktikan perkataanmu. Dan segera masukkan koperku kekamar, ada dibagasi mobil. Dan..dimana restorannya?" potong Valdie yang memang sudah jengah. Ditambah lelah dan lapar karena harus menyetir sendiri menambah jelek moodnya. Padahal biasanya dia tidak sejutek ini. Mungkin nanti dia akan meminta maaf pada petugas resepsionis itu sembari menghangatkan ranjangnya.

"Baik Pak Valdie akan saya antarkan. Dan sebenarnya ada seseorang yang sudah menunggu bapak sejak sore tadi direstoran..."

Kening Valdie mengkerut dan perlahan cengiran nakal terbit diwajah tampannya. "Kemana arah restoran?" tanyanya lagi dengan semangat. Entah kenapa moodnya langsung berubah.

"Kearah kanan...lurus saja Pak.." jawab si Manager Hotel yang sebenanya ingin mengantar namun sudah tertinggal karena Valdie langsung melesat pergi.

Dan benar saja, jejeran meja dan kursi langsung menyambut kedatangannya. Suasana yang tidak terlalu ramai sangat menguntungkan. Mata Valdie langsung menangkap sosok seseorang yang memang sudah ingin dia temui.

'pasti sudah kesel banget...' kekeh Valdie dalam hati.

Dengan santai dan perlahan, Valdie mendekati kursi yang diduduki oleh tamunya. Matanya menyerap dengan puas punggung kecil yang masih membelakanginya. Pasti enak dipeluk, batinnya mulai melantur.

"Ehm.."

Deheman Valdie langsung membuat kepala itu menoleh. Raut kesal yang hampir menangis malah membuat Valdie geli. Pria itu menggigit bibirnya sendiri agar tidak tersenyum.

"Baguslah anda sudah datang...." Hana melirik jam yang bertengger manis didinding restoran, "...dijam setengah sembilan malam!"

Bukannya tersindir karena tekanan kata malam dari Hana, Valdie malah menarik kursi dan duduk disebelah Hana. Dengan cuek dia meraih kantong plastik berisi toples yang ada diatas meja dan menatap benda itu dengan mata berbinar.

Kue kacang kesukaannya.

"Kalau begitu saya pamit. Selamat malam."

"Eh...jangan pulang!" tanpa sadar Valdie maraih dan menangkap pergelangan tangan Hana yang langsung ditepis. Hana beranjak mundur.

"Ini sudah malam, menginap saja disini...dikamarku mungkin..." dan

Plaak!!

Tidak sakit tapi tetap saja kaget.

Hana menampar Valdie. Ibu satu anak itu langsung beranjak pergi dengan kemarahan maksimal. Segala macam makian yang belum pernah dia ucapkan seumur hidup meluncur indah dari bibir mungilnya.

Bre**sek!

Set*n!

Man*ak!

Hentakan kaki didalam langkahnya cukup membuat orang tahu jika Hana sedang murka. Siapa yang tidak marah jika dilecehkan seperti itu.

Dasar Ba**sat!

Makian keluar lagi. Untung saja Yuri tidak ikut. Entah apa yang akan dikatakan Bibi Yi jika mendengar perkataan Hana barusan. Mungkin Nenek Dana malah terkena serangan jantung.

Valdie yang masih terbengong kembali sadar. Tangannya mengusap-usap bekas tamparan Hana. Bukannya marah, malah sedari tadi senyum dan kekehan tak pernah lepas dari wajahnya. Hana-nya marah. Lucu sekali.

Padahal tadi dia iseng saja. Syukur-syukur dapat hadiah. Kan jadi iseng-iseng berhadiah.

Dengan langkah besar, Valdie langsung berhasil menyusul Hana yang sudah berada diparkiran. Wanita itu memakai helm dengan kasar dan Valdie berhasil menghadang saat Hana mau memundurkan motor matic-nya.

"Mau apa lagi!" hilang sudah rasa segan dan hormat Hana. Bahkan dia sudah lupa jika Valdie, putra donatur terbesar panti mereka.

Masih menenteng kue kacang buatan Hana ditangan kanannya. Valdie mengusap tengkuknya dengan tangannya yang lain. Bingung harus mulai dari mana. Jujur, wajah Hana tidak hanya mengalihkan dunianya seperti diiklan tapi membuat lidahnya keseleo. Walaupun playboy tapi Valdie tidak pernah se frontal itu diawal.

"Ehm.." Valdie berdehem berusaha menetralisir rasa gugup dan...gagal.

"A...itu..kuenya..makasih..." Valdie akan memukul dirinya sendiri setelah ini. Apa-apaan gugup macam anak abg.

"Sama-sama." balas Hana datar dan kembali memundurkan motornya namun masih terhalang Valdie. Menghela napas lelah, Hana mengalah. Jika tidak maka dia akan semakin malam disini.

"Apa ada lagi yang anda inginkan?" tanyanya mulai menurunkan tingkat kesinisan walau sedikit.

Valdie membasahi bibirnya dan menarik napas sebelum berkata, "Yang tadi...perkataanku..maaf, ya. Aku hanya bercanda.." Valdie mengamati perubahan mimik wajah Hana.

"Mungkin buat anda yang biasa tinggal diluar negeri itu adalah hal biasa. Tapi buat saya itu sama saja dengan pelecehan. dan jujur saya memang marah pada anda. Tapi anda sudah minta maaf...yah sudahlah! Saya juga minta maaf karena tadi...menampar anda. Saya hanya sedikit emosi.

Sedikit tapi sakit sayang...

Batin Valdie kembali melantur. Baru dirasakannya efek samping tamparan Hana yang datang terlambat. Sekarang pipinya terasa panas dan kebas.

tanpa bisa dicegah Hana malah mulai curhatan pribadinya. "Ibu anda mengatakan jika anda akan datang sore untuk mengambil kue kacangnya...tapi baru datang sekarang..."

Valdie terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Rasa bersalah menghantam dirinya. Tadi dia sengaja lama berangkat dari Jakarta agar sampai Pandeglang malam hari. Sengaja biar Hana menginap bersamanya. Kembali ke iseng-iseng berhadiah.

Valdie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf..." hanya itu kata yang mampu meluncur.

"...entah Yuri sudah makan atau belum sekarang..."

"Memang kenapa? Ini sudah terlalu malam, masa Yuri belum makan?!" rasa khawatir pada si squishy tidak dapat ditutupi dari pertanyaan Valdie. Dan Hana bisa menangkap ketulusan didalamnya. Emosinya perlahan mencair.

"Jika tidak ada saya, dia tidak akan mau makan..."

Dengan cepat Valdie beranjak, "Aku antar kau sekar..."

"Tidak perlu. Saya akan pulang sendiri." potong Hana.

"Tapi ini sudah malam dan..."

"Saya bisa pulang sendiri. Terima Kasih dan Selamat malam."

Valdie ingin mencubit pipi itu karena terlalu keras kepala. Tanpa bisa dicegah Hana memundurkan motornya dan membuat Valdie menyingkir karena hampir tertabrak.

"Besok aku akan mampir!" teriak Valdie saat Hana mulai menjauh. Entah didengar atau tidak.

Dan kesadaran yang mengerikan menyentaknya. Membuatnya meringis ngeri.

Bagaimana Hana melewati jalan neraka itu dengan motor matic kecil.

Andaikan dia tahu jika sepeda motor tidak perlu melewati jalan neraka itu. Hana bisa sampai dengan lancar hanya dalam waktu 15 menit. Sekali lagi andai saja dia tahu..

.


Malam itu ada dua manusia yang telah keluar dari kotaknya. Dan mungkin salah satunya harus menggunakan sabun untuk mencuci mulutnya yang sudah terlanjur dikotori makian....atau malah...keduanya...???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...