Sabtu, 11 Oktober 2025

19

"Hah!" kembali raut gahar itu memenuhi wajahnya.

"Aaaaa~" dan untuk kesekian kali berubah memelas kembali.

Begitu saja daritadi dan berulang-ulang Indi menampilkan kedua ekspresi itu diwajah, mewakili hati dan pikirannya.

Kembali lagi wajah Indi berkerut marah dan detik kemudian dia langsung mengusap wajahnya kasar. Frustasi. Untunglah saat ini dia tidak memakai maskara.

Perlahan keberanian terkumpul dijari telunjuknya yang terangkat. Semakin dekat menuju pencetan bel yang tepat berada disamping pintu neraka sekaligus surga didepannya. Belum juga ujung jarinya menyentuh bel sudah kembali ditarik. Sentuh. Tarik. Sentuh lagi. Tarik lagi.

"Tinggal pencet aja apa susahnya sih?"

"ASTAGA MAMA!" Indi langsung terlonjak kaget.

Matanya terbelalak mendapati sosok yang dihindarinya beberapa hari ini. Dia belum siap lahir batin. Sosok itu hanya mengenakan kaos oblong dan celana sedengkul namun tetap lezat dipandang. Indi menahan keinginan menjilati bibirnya sendiri.

"Pencet." tawar Reza lagi.

Indi merasakan ancaman menguar dari seluruh tubuh pria itu. Walaupun terlihat tenang dan santai namun mata sitampan itu tidak bisa berbohong. Perlahan kakinya bergeser mundur. Posisi bertahan. Yah, bertahan dari nafsu yang tiba-tiba menggelegak. Mode jalang kumohon jangan aktif sekarang, Indi membatin.

Reza sendiri tidak mau repot-repot mengalihkan matanya ke objek lain. Yang paling penting saat ini hanya Indi. Wajah Indi, hati Indi. Tubuh Indi. Dada Indi...bokong...vag....

"Ehm...apa kita akan berdiri disini atau masuk?" seakan deheman bisa saja menutupi reaksi 'junior'nya saat ini. Tidak ada salahnya kan mencoba. Dan...gagal.

Dengan cepat bagai mengacuhkan padahal agar Indi tidak melihat sesuatu dibalik celananya yang mulai mendesak keluar, Reza berjalan dan langsung menempelkan kartu kuncinya kepintu.

Begitu kunci terbuka, Reza langsung mendorong pintu dan berjalan cepat masuk kedalam.

Meninggalkan seorang gadis yang terdiam ditempatnya. Senyum luka tersirat samar dibibirnya. Apakah dia semurahan itu dimata Reza. Bahkan sekertaris berdada palsunya saja terkadang masih mendapatkan hadiah-hadiah kecil setelah puas dipakai. Yah, tentu saja Indi tahu sampai sedetail itu.

"Masuk!"

Indi tersentak dari lamunannya saat perintah bernada mutlak mengaum dari dalam apartemen itu.

Dengan berat diseretnya kedua kaki itu melangkah melewati batas amannya.

Mendapati wajah gadis didepannya yang memutih membuat Reza mendengus kesal. Apa yang ditakuti Indi. Mereka hanya akan bahagia. Yah, bahagia. Akhir yang bagus, bukan?

"Duduklah!"

Indi menurut.

"Mau minum apa? Aku punya ju..."

"Tidak terima kasih, Pak. Saya bawa minuman sendiri." balas Indi sambil mengeluarkan botol minumnya yang berisi teh manis.

"Ap..." Reza tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Apa-apaan itu bawa minum sendiri. Memangnya dia anak sekolah. Apa dikira gadis ini dia mau diracun atau dikasih obat perangsang.

"Ck! Sebegitunya kau mencurigaiku, Indi?" Reza kembali berdecak kesal mengakhiri kalimatnya.

Tersentil sudah. Tersentil sudah emosi Indi karena pria jahanam seksi ini. "Ya! Saya tidak lagi percaya pada bapak setelah apa yang bapak lakukan pada perasaan dan karir saya!" balas Indi berapi-api.

"Jangan panggil aku bapak!" entah kemana fokus Reza saat ini. Pria itu malah mengomentari sebutan Indi padanya.

Apa pria ini tidak punya otak. Indi yang pusing hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Ini...ini yang dari kemarin membuat aku bingung. Apa maksud semua perkataanmu? Kenapa kau tiba-tiba seperti ini..." Indi langsung memotong

"Seperti apa! Seperti perempuan yang sudah diperlakukan seperti sampah! Sudahlah! Kita selesaikan saja semuanya sekarang!" Indi mendudukkan dirinya diatas sofa empuk dan menyilangkan kedua kaki dan juga tangannya. Menantang.

Tahan. Tahan. Reza terus mengucapkan mantera itu dalam hati. Emosi hanya akan membuat semuanya semakin kacau. Dengan sedikit bersabar dia bisa mencari tahu kenapa mantan kekasihnya ini mendadak murka.

Mengabaikan mata Indi yang penuh tanya dan tidak terima, Reza malah mendudukan dirinya persis dibagian kosong disebelah Indi. Rapat.

"Eh! Ngapain duduk disini. Duduk sana!" perintah Indi.

Seringai sihir itu melengkung dibibir tampannya. Bukannya menjauh seperti perintah Indi, Reza malah semakin mendekat sampai paha mereka menempel. "Ya terserah aku lah. Memangnya sofa ini punyamu?"

Indi berdecak kesal dan langsung berdiri. "Ya sudah aku saj...Aaa!"

Bagai kecepatan salah satu tokoh Marvel, Flash. Reza menarik pinggang gadis itu saat setengah berdiri dan dengan mantap Indi langsung terduduk tepat dipangkuan Reza.

Dengan cepat pria itu langsung menekan, melumat, mendorong lidahnya dengan bernafsu menguasai bibir jutek Indi.

"Mmmpp...." bahkan tangan Indi sudah terkunci tangan Reza dibelakang punggungnya sendiri. Perlawanan Indi hanya semakin membusungkan kedua bola kenyal didadanya. Reza tergoda dan menekan benda lembut itu kedadanya sendiri.

Reza mengerang didalam ciuman saat pantat Indi bergoyang-goyang mengguncang benda menonjol kebanggaannya. Padahal Indi berusaha berdiri untuk menyelamatkan kewarasannya. Jangan sampai dia kalah.

Perkataan Ika tadi malam langsung menghantam kesadarannya dan Indi langsung menghantam kepala Reza dengan keningnya.

BUG!

"AAKH!"

"Mampus kau!" maki Indi sambil menjauh dan merampas tasnya. Merogong tas mungil itu mencari sesuatu.

"Apa-apaan kau Indi. Sakit sekali ini. Brengsek!" tidak. Bukan pada Indi. Reza hanya memaki rasa sakit yang menjalar diseluruh keningnya yang memerah.

"Senjata....senjata...dimana sih...Hah! Dapat!"

Indi mengeluarkan sebungkus plastik transparan. Benda yang disarankan Ika untuk melindunginya. Senjata paling mutakhir. Pelindung para wanita dari iblis tampan dan nafsuin seperti Reza.

Sebungkus plastik dengan isi satu keluarga. Keluarga kecoa yang bahagia. Bahkan ada yang masih bayi didalamnya. Entah bagaimana cara Indi mendapatkan keluarga cemara itu.

Plek!

Suara plastik yang beradu pada kaca meja terdengar bagaikan alunan lagu kematian.

Tanpa melihat pun Reza tahu itu apa. Penciumannya yang tajam bahkan sudah meneriakkan alarm bahaya. Aroma musuh bebuyutannya.

"AAAKKKHHH!!! BUANG BANGSAT ITU! BUNUH INDI! BUNUH!!!"

Reza langsung melompat kebalik sofa dengan kecepatan luar biasa. Bahkan Indi tak tahu kapan itu terjadi. Wujud Reza sendiri pun telah lenyap. Indi hanya bisa mendengar suara manisnya. Teriakan seksi prianya. Ah, mantan prianya.

Mengabaikan perintah Reza, Indi kembali menghempaskan bokongnya ke sofa. Keempukan sofa itu membuatnya memejamkan mata menikmati. Enak pasti rasanya bercinta disini. Dengan Reza. Sayangku yang nakal. Sekarang mama akan menghukummu.

"Oh, tidak! Kalau aku bunuh siapa yang akan menyelamatkan aku jika kau nakal lagi, Sayang?" jawab Indi menggoda.

Reza mengintip dari balik sofa. Indi menahan mati-matian tawanya melihat wajah sepucat kertas A4 itu.

"Kumohon Indi. Aku janji tidak akan menciummu. Paling peluk aj...

Kres!

JANGAAAAAAN!!!"

Teriakan dan aksi sembunyi kembali terjadi saat Indi menggunting dan membuat lubang kecil pada plastik sehingga aroma kecoa kembali menguar bebas keangkasa.

"Tidak ada pelukan, ciuman bahkan sentuhan. Jaga jarakmu dariku, Sayang. Atau keluarga cemara ini akan menumpang hidup disini."

Tidak ada jawaban. Reza masih setia menggigit jarinya dibalik perlindungan sofa.

Indi menghela napasnya malas. Berjalan kedapur seakan apartemen itu miliknya dan kembali dengan toples plastik.

Dimasukkannya keluarga cemara itu kedalam toples. Tatapan permohonan dan iba pun dilayangkan sang ibu kecoa. Dengan berat hati Indi menggeleng drama.

"Keluarlah, Reza. Sementara kau aman. Ingat SE-MEN-TA-RA!"

Perlahan namun tidak pasti kepala seksi itu mulai menyembul dari balik sofa. Sontak matanya melotot tak terima.

"Itu toples kerupukku!" ucap Reza.

Indi memutar bola matanya. "Kubuka nih!"

"Jangan! Jangan! Ga apa-apa kok. Buat kamu apa sih yang tidak kuberi. Kecoa di dalam toples kerupukku, itu adalah pengorbanan besar, Cinta!" balas Reza perlahan menyeret kakinya kembali duduk normal. Namun kakinya tertekuk diatas. Batas aman.

"Langsung saja. Apa yang ingin kau bicarakan?" tegas Indi.

1..

2..

3..

4..

"Reza!"

"Eh...Iya! Apa, Cinta?" Reza tersentak mengalihkan matanya dari toples ke Indi.

Sekali lagi dan untuk sekian kali Indi menghela napas. Sepertinya salah dia membawa-bawa sebungkus kecoa sebagai malaikat pelindung. Lihatlah betapa tidak fokusnya pria itu sekarang. Matanya bahkan sudah kembali lagi ke toples.

"Aku tanya....Apa yang ingin kan bicarakan? Apa itu tentang pemecatanku?"

Buru-buru Reza menggelengkan kepalanya. "Bukan...bukan, Cinta!"

"Lalu?"alis Indi terangkat satu.

Reza menarik napasnya dalam dan langsung menyesal. Aroma kecoa meresap masuk kedalam relung jiwanya.

'Tahan. Kali ini harus selesai.'

" Menikah denganku, Indi. Atau aku akan membawa kasusmu ke ranah hukum."

Dan Indi hanya mampu menganga.

"A...apa..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...