"Hah!" kembali raut gahar itu memenuhi wajahnya.
"Aaaaa~"
dan untuk kesekian kali berubah memelas kembali.
Begitu saja
daritadi dan berulang-ulang Indi menampilkan kedua ekspresi itu diwajah,
mewakili hati dan pikirannya.
Kembali lagi
wajah Indi berkerut marah dan detik kemudian dia langsung mengusap wajahnya
kasar. Frustasi. Untunglah saat ini dia tidak memakai maskara.
Perlahan
keberanian terkumpul dijari telunjuknya yang terangkat. Semakin dekat menuju
pencetan bel yang tepat berada disamping pintu neraka sekaligus surga
didepannya. Belum juga ujung jarinya menyentuh bel sudah kembali ditarik.
Sentuh. Tarik. Sentuh lagi. Tarik lagi.
"Tinggal
pencet aja apa susahnya sih?"
"ASTAGA
MAMA!" Indi langsung terlonjak kaget.
Matanya
terbelalak mendapati sosok yang dihindarinya beberapa hari ini. Dia belum siap
lahir batin. Sosok itu hanya mengenakan kaos oblong dan celana sedengkul namun
tetap lezat dipandang. Indi menahan keinginan menjilati bibirnya sendiri.
"Pencet."
tawar Reza lagi.
Indi merasakan
ancaman menguar dari seluruh tubuh pria itu. Walaupun terlihat tenang dan
santai namun mata sitampan itu tidak bisa berbohong. Perlahan kakinya bergeser
mundur. Posisi bertahan. Yah, bertahan dari nafsu yang tiba-tiba menggelegak.
Mode jalang kumohon jangan aktif sekarang, Indi membatin.
Reza sendiri
tidak mau repot-repot mengalihkan matanya ke objek lain. Yang paling penting
saat ini hanya Indi. Wajah Indi, hati Indi. Tubuh Indi. Dada
Indi...bokong...vag....
"Ehm...apa
kita akan berdiri disini atau masuk?" seakan deheman bisa saja menutupi
reaksi 'junior'nya saat ini. Tidak ada salahnya kan mencoba. Dan...gagal.
Dengan cepat
bagai mengacuhkan padahal agar Indi tidak melihat sesuatu dibalik celananya
yang mulai mendesak keluar, Reza berjalan dan langsung menempelkan kartu
kuncinya kepintu.
Begitu kunci
terbuka, Reza langsung mendorong pintu dan berjalan cepat masuk kedalam.
Meninggalkan
seorang gadis yang terdiam ditempatnya. Senyum luka tersirat samar dibibirnya.
Apakah dia semurahan itu dimata Reza. Bahkan sekertaris berdada palsunya saja
terkadang masih mendapatkan hadiah-hadiah kecil setelah puas dipakai. Yah,
tentu saja Indi tahu sampai sedetail itu.
"Masuk!"
Indi tersentak
dari lamunannya saat perintah bernada mutlak mengaum dari dalam apartemen itu.
Dengan berat
diseretnya kedua kaki itu melangkah melewati batas amannya.
Mendapati wajah
gadis didepannya yang memutih membuat Reza mendengus kesal. Apa yang ditakuti
Indi. Mereka hanya akan bahagia. Yah, bahagia. Akhir yang bagus, bukan?
"Duduklah!"
Indi menurut.
"Mau minum
apa? Aku punya ju..."
"Tidak
terima kasih, Pak. Saya bawa minuman sendiri." balas Indi sambil
mengeluarkan botol minumnya yang berisi teh manis.
"Ap..."
Reza tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Apa-apaan itu bawa minum
sendiri. Memangnya dia anak sekolah. Apa dikira gadis ini dia mau diracun atau
dikasih obat perangsang.
"Ck!
Sebegitunya kau mencurigaiku, Indi?" Reza kembali berdecak kesal
mengakhiri kalimatnya.
Tersentil sudah.
Tersentil sudah emosi Indi karena pria jahanam seksi ini. "Ya! Saya tidak
lagi percaya pada bapak setelah apa yang bapak lakukan pada perasaan dan karir
saya!" balas Indi berapi-api.
"Jangan
panggil aku bapak!" entah kemana fokus Reza saat ini. Pria itu malah
mengomentari sebutan Indi padanya.
Apa pria ini
tidak punya otak. Indi yang pusing hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak
percaya.
"Ini...ini
yang dari kemarin membuat aku bingung. Apa maksud semua perkataanmu? Kenapa kau
tiba-tiba seperti ini..." Indi langsung memotong
"Seperti
apa! Seperti perempuan yang sudah diperlakukan seperti sampah! Sudahlah! Kita
selesaikan saja semuanya sekarang!" Indi mendudukkan dirinya diatas sofa
empuk dan menyilangkan kedua kaki dan juga tangannya. Menantang.
Tahan. Tahan.
Reza terus mengucapkan mantera itu dalam hati. Emosi hanya akan membuat
semuanya semakin kacau. Dengan sedikit bersabar dia bisa mencari tahu kenapa
mantan kekasihnya ini mendadak murka.
Mengabaikan mata
Indi yang penuh tanya dan tidak terima, Reza malah mendudukan dirinya persis
dibagian kosong disebelah Indi. Rapat.
"Eh!
Ngapain duduk disini. Duduk sana!" perintah Indi.
Seringai sihir
itu melengkung dibibir tampannya. Bukannya menjauh seperti perintah Indi, Reza
malah semakin mendekat sampai paha mereka menempel. "Ya terserah aku lah.
Memangnya sofa ini punyamu?"
Indi berdecak
kesal dan langsung berdiri. "Ya sudah aku saj...Aaa!"
Bagai kecepatan
salah satu tokoh Marvel, Flash. Reza menarik pinggang gadis itu saat setengah
berdiri dan dengan mantap Indi langsung terduduk tepat dipangkuan Reza.
Dengan cepat
pria itu langsung menekan, melumat, mendorong lidahnya dengan bernafsu
menguasai bibir jutek Indi.
"Mmmpp...."
bahkan tangan Indi sudah terkunci tangan Reza dibelakang punggungnya sendiri.
Perlawanan Indi hanya semakin membusungkan kedua bola kenyal didadanya. Reza
tergoda dan menekan benda lembut itu kedadanya sendiri.
Reza mengerang
didalam ciuman saat pantat Indi bergoyang-goyang mengguncang benda menonjol
kebanggaannya. Padahal Indi berusaha berdiri untuk menyelamatkan kewarasannya.
Jangan sampai dia kalah.
Perkataan Ika
tadi malam langsung menghantam kesadarannya dan Indi langsung menghantam kepala
Reza dengan keningnya.
BUG!
"AAKH!"
"Mampus
kau!" maki Indi sambil menjauh dan merampas tasnya. Merogong tas mungil
itu mencari sesuatu.
"Apa-apaan
kau Indi. Sakit sekali ini. Brengsek!" tidak. Bukan pada Indi. Reza hanya
memaki rasa sakit yang menjalar diseluruh keningnya yang memerah.
"Senjata....senjata...dimana
sih...Hah! Dapat!"
Indi
mengeluarkan sebungkus plastik transparan. Benda yang disarankan Ika untuk
melindunginya. Senjata paling mutakhir. Pelindung para wanita dari iblis tampan
dan nafsuin seperti Reza.
Sebungkus
plastik dengan isi satu keluarga. Keluarga kecoa yang bahagia. Bahkan ada yang
masih bayi didalamnya. Entah bagaimana cara Indi mendapatkan keluarga cemara
itu.
Plek!
Suara plastik
yang beradu pada kaca meja terdengar bagaikan alunan lagu kematian.
Tanpa melihat
pun Reza tahu itu apa. Penciumannya yang tajam bahkan sudah meneriakkan alarm
bahaya. Aroma musuh bebuyutannya.
"AAAKKKHHH!!!
BUANG BANGSAT ITU! BUNUH INDI! BUNUH!!!"
Reza langsung
melompat kebalik sofa dengan kecepatan luar biasa. Bahkan Indi tak tahu kapan
itu terjadi. Wujud Reza sendiri pun telah lenyap. Indi hanya bisa mendengar
suara manisnya. Teriakan seksi prianya. Ah, mantan prianya.
Mengabaikan
perintah Reza, Indi kembali menghempaskan bokongnya ke sofa. Keempukan sofa itu
membuatnya memejamkan mata menikmati. Enak pasti rasanya bercinta disini.
Dengan Reza. Sayangku yang nakal. Sekarang mama akan menghukummu.
"Oh, tidak!
Kalau aku bunuh siapa yang akan menyelamatkan aku jika kau nakal lagi,
Sayang?" jawab Indi menggoda.
Reza mengintip
dari balik sofa. Indi menahan mati-matian tawanya melihat wajah sepucat kertas
A4 itu.
"Kumohon
Indi. Aku janji tidak akan menciummu. Paling peluk aj...
Kres!
JANGAAAAAAN!!!"
Teriakan dan
aksi sembunyi kembali terjadi saat Indi menggunting dan membuat lubang kecil
pada plastik sehingga aroma kecoa kembali menguar bebas keangkasa.
"Tidak ada
pelukan, ciuman bahkan sentuhan. Jaga jarakmu dariku, Sayang. Atau keluarga
cemara ini akan menumpang hidup disini."
Tidak ada
jawaban. Reza masih setia menggigit jarinya dibalik perlindungan sofa.
Indi menghela
napasnya malas. Berjalan kedapur seakan apartemen itu miliknya dan kembali
dengan toples plastik.
Dimasukkannya
keluarga cemara itu kedalam toples. Tatapan permohonan dan iba pun dilayangkan
sang ibu kecoa. Dengan berat hati Indi menggeleng drama.
"Keluarlah,
Reza. Sementara kau aman. Ingat SE-MEN-TA-RA!"
Perlahan namun
tidak pasti kepala seksi itu mulai menyembul dari balik sofa. Sontak matanya
melotot tak terima.
"Itu toples
kerupukku!" ucap Reza.
Indi memutar
bola matanya. "Kubuka nih!"
"Jangan!
Jangan! Ga apa-apa kok. Buat kamu apa sih yang tidak kuberi. Kecoa di dalam
toples kerupukku, itu adalah pengorbanan besar, Cinta!" balas Reza
perlahan menyeret kakinya kembali duduk normal. Namun kakinya tertekuk diatas.
Batas aman.
"Langsung
saja. Apa yang ingin kau bicarakan?" tegas Indi.
1..
2..
3..
4..
"Reza!"
"Eh...Iya!
Apa, Cinta?" Reza tersentak mengalihkan matanya dari toples ke Indi.
Sekali lagi dan
untuk sekian kali Indi menghela napas. Sepertinya salah dia membawa-bawa
sebungkus kecoa sebagai malaikat pelindung. Lihatlah betapa tidak fokusnya pria
itu sekarang. Matanya bahkan sudah kembali lagi ke toples.
"Aku
tanya....Apa yang ingin kan bicarakan? Apa itu tentang pemecatanku?"
Buru-buru Reza
menggelengkan kepalanya. "Bukan...bukan, Cinta!"
"Lalu?"alis
Indi terangkat satu.
Reza menarik
napasnya dalam dan langsung menyesal. Aroma kecoa meresap masuk kedalam relung
jiwanya.
'Tahan. Kali ini
harus selesai.'
" Menikah
denganku, Indi. Atau aku akan membawa kasusmu ke ranah hukum."
Dan Indi hanya
mampu menganga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar