Jumat, 17 Oktober 2025

20_Love



Bibi Yi melihat kearah Yuri yang sudah tertidur lelap disebelah mereka. Anak lucu itu senang sekali mendengar orang yang sedang mengobrol dan lama-lama tertidur.

“Trus bagaimana keputusanmu, Hana?”

Hana melipat baju-baju dengan telaten dan rapi kemudian meletakkannya didalam keranjang baju yang akan disetrika besok. Pertanyaan dari Bibi Yi membuat lipatannya terhenti, dan wanita itu memandang Bibi Yi dengan muka memelas.

“Sebenarnya aku sudah sangat nyaman Bi, disini. Tadinya aku berencana berangkat sendiri ke Jakarta buat ngurus surat-surat Yuri, gimana pun harus segera diurus. Nanti juga bakal ditanya lagi saat masuk SD, SMP trus SMA. Kata Pak RT sebenarnya ga ribet kok ngurus surat-surat Yuri tapi…”

“Tapi…” Bibi Yi mengulang pertanyaan Hana.

“Tapi…aku memikirkan ke depannya, Bi. Benar saran Rika. Ga mungkin juga selamanya kita menumpang disini, aku harus mulai mencari pekerjaan, kebutuhan Yuri pasti akan bertambah seiring semakin dia besar.”

‘Apalagi setelah tahu siapa pemilik Panti Asuhan ini. Jujur Hana tidak ingin menumpang hidup dari orang seperti Valdie walaupun Ibunya baik.’

Bibi Yi menganggukkan kepalanya tanda setuju, “Kamu…siap kembali ke Jakarta, Hana?” bagaimanapun Bibi Yi yang menemukan Hana hampir meregang nyawa, pastinya wanita itu masih khawatir dengan kesehatan mental Hana.

“Harus, Bi. Sekarang aku seorang ibu jadi harus kuat.” Hana tersenyum meyakinkan Bibi Yi, padahal dia sendiri masih ragu dengan keputusan ini.

Bibi Yi mengambil telapak tangan Hana dan mengusapnya pelan, hati-hati wanita itu kembali bertanya, “Balik kerumah nenekmu? Kalau masih belum kuat kita bisa cari kontrakan atau kost-kostan mungkin yang kira-kira sesuai? Andai saja rumah Bibi tidak dijual kita bisa tinggal disana.”

Hana tak kuasa menahan harunya. Dia memeluk erat seorang wanita yang telah berkorban banyak untuknya. Bibi Yi menjual rumah sekaligus warung bakminya demi menambah biaya perawatan Hana dan bekal mereka pindah dari Jakarta. Sebelum tinggal di Panti Asuhan ini sudah berkali-kali mereka keluar masuk kontrakan dan kost-kostan, untuk menghindari pandangan negatif orang-orang kepada Hana yang hamil tanpa suami. Untunglah mereka bertemu dengan Nenek Dana yang dengan ikhlas menerima kehadiran Hana dan bayinya.

“Terima kasih, Bi…terima kasih karena terus ada disampingku..” Hana terisak dipelukan Bibi Yi.

Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mengusap-usap punggung Hana yang masih bergetar, “Kamu udah Bibi anggap anak sendiri, Hana. Kamu udah jadi tanggung jawab Bibi. Sejak awal Bibi sudah merasa harus melindungi kamu…apalagi sekarang sudah ada Yuri. Kita berdua sanggup melewati masa lalu yang kelam itu dan Bibi yakin kali ini petualangan kita tidak akan seberat dulu. Bibi akan mendukung apapun keputusanmu, ya!”

Bibi Yi menjauhkan wajah Hana dan mengusap air matanya dengan sayang. Dipandangnya wajah Hana yang masih basah, dalam hati dia pun memanjatkan do’a.

‘Ya Tuhan, lindungilah anak baik ini. Dia terlalu banyak menderita. Berikannya kebahagiaan padanya dan jagalah dia serta putrinya dalam lindunganmu..’

“Besok kita bicara ke Nenek Dana, ya.”

“Iya, Bi”.

“Ya sudah kalau begitu kita juga tidur, Bibi udah dari tadi nahan-nahan meluk si bawel ini dan cium bau acem kepalanya! Bibi Yi menggeser tubuh Hana dan menguasai Yuri yang berfungsi sebagai obat tidur wanita paruh baya itu.

Besok paginya Hana langsung mendatangi Nenek Dana, sayangnya rencana Bibi Yi akan menemani batal karena harus mempersiapkan sarapan anak-anak Panti.

Begitu Hana mengutarakan niatnya untuk kembali ke Jakarta tidak langsung disetujui oleh Nenek Dana. Wanita itu terlihat sangat berat untuk melepas kedua wanita yang selama ini menemaninya mengurus anak-anak terutama hatinya sangat berat buat berpisah dari Yuri.

“Hana ingin berusaha lagi, Nek. Jujur Hana juga berat untuk meninggalkan Nenek dan anak-anak panti, Hana sangat menyayangi kalian…”

“…kalau begitu jangan pergi Hana. Kamu dan Bibi Yi juga bisa bekerja disini dan digaji, nenek akan segera menghubungi Bu Vanessa jika kau mau tetap tinggal dan bekerja disini, ya?” Nenek Dana berusaha membujuk agar Hana berubah fikiran. Namun ucapan nenek Dana malah membuat tekad Hana semakin bulat. Mana mau dia berhutang budi pada ibu dari pria brengsek itu. Itu sama saja dia jadi pegawai pria mesum itu kan? Jelas Hana menolak keras.

“Saya hanya ingin berusaha memperbaiki hidup dan diri saya sendiri, Nek. Saya tidak bisa selamanya lemah dan menghindar dari masa lalu. Sekarang saya akan berusaha menjadi ibu yang kuat, demi Yuri. Hana sangat berharap nenek mengerti dan mendukung Hana.”

Perlahan Hana mendekati nenek Dana yang terlihat sangat berat menerima keputusannya. Dengan lembut Hana meraih tangan wanita tua itu dan mencium punggung tangannya lama. Tanpa bisa ditahan Hana menangis. Betapa beruntungnya dia dipertemukan dengan orang-orang baik yang mau menerimanya, melindunginya, menemaninya bahkan menganggapnya sebagai keluarga. “Hana hanya bisa mengucapkan terima kasih, Nek…terima kasih karena menerima…Hana…” rasa sedih ini membuat Hana susah berbicara. Dia ingin menumpahkan semua perasaannya namun mulutnya hanya bisa terisak menahan luapan emosinya.

“Hana…Nak…” Nenek Dana merengkuh Hana dalam pelukannya dan kedua wanita itu menangis bersama menyampaikan semua kata yang susah untuk diungkapkan. Saling mengerti walau tak terucap. Saling memahami walau tidak dijelaskan.

“Kamu kuat, Hana. Nenek belum pernah bertemu dengan wanita sekuat dirimu. Semoga kebahagian selalu menyertaimu, Nak. Datanglah kembali jika kau mau, Nenek akan selalu menyambut kehadiranmu dan Bibi Yi.” Nenek Dana membelai lembut rambut panjang Hana, dan mencium pipi Hana sayang. “Nenek mendo’akan yang terbaik untuknya, Hana, kesayangan nenek.” tidak tahan wanita tua itu kembali memeluk Hana erat. Merekam momen ini untuk dijadikan kenangan indah.



Hana, Bibi Yi dan Yuri membutuhkan waktu selama tiga hari untuk dapat menjelaskan kepergian mereka pada anak-anak panti. Tidak ada yang rela. Tidak ada yang setuju. Mereka marah. Menangis. Memohon berharap Hana membatalkan kepergian mereka. Bahkan Yuri pun sempat mogok makan saat tahu jika dia harus meninggalkan teman-teman pantinya. Hana, Bibi Yi dan Nenek Dana menjelaskan dengan sabar dan membujuk anak-anak itu untuk mengerti. Perpisahan memang menyakitkan namun jika untuk menjemput kebahagiaan maka harus terus dijalani.

Nenek Dana mengajak anak-anak panti untuk mengantar kepergian Hana. Dia sengaja meminjam angkot Pak RT sekaligus sopirnya untuk mengantar ke stasiun kereta Rangkasbitung. Barang-barang Hana, Bibi Yi dan Yuri tidak terlalu banyak. Mereka hanya membawa dua tas travel ukuran besar dan sedang. Sedangkan keperluan Yuri dia bawa sendiri diransel kuda poninya.

Hana mencium dan memeluk anak-anak yang masih terisak. Walau malu dilihat orang lain, namun anak-anak itu tidak dapat menahan air matanya dan bolak balik menghapus dengan baju. “Jangan keras-keras nanti merah lho matanya digosok gitu!” Hana mengingatkan dengan lembut.

Terdengar tangisan histeris disebelahnya dan tanpa melihat pun Hana sudah tahu siapa pemilik suara itu.

“Aaaaa…jangan nangiiiss…aku kan jadi nangis jugaaaa….!!!” Yuri menangis bersama dua teman lainnya dan membuat semua orang melihat kearah mereka.

Hana dan Bibi Yi jadi kelabakan. Air mata langsung berhenti seketika. Bibi Yi langsung panik saat dua orang sekuriti datang mendekati mereka. “Waduh bisa dikira kita culik anak ini, Hana!”

“Selamat pagi ibu-ibu. Apa ada masalah disini?” tanya salah satu sekuriti. Dan syukurlah nenek Dana mengenal mereka.

“Maaf, Pak, mereka anak-anak Panti Kasih Bunda, lagi kangen-kangenan jadinya bikin heboh!” jelas Nenek Dana.

“Iya Bu, ga apa-apa, hanya saja tadi sempat bikin heboh.” sekuriti yang lebih tua menatap geli pada Yuri dan sahabatnya yang masih menangis namun dalam volume suara yang lebih kecil.

Tak lama suara pemberitahuan memenuhi seluruh stasiun. Menginformasikan jika kereta menuju Tanah Abang, Jakarta akan sampai sebentar lagi. Kali ini semuanya lebih tenang dan sudah merelakan perpisahan hari ini. Sekali lagi Hana memeluk Nenek Dana dan anak-anak panti yang diikuti oleh Bibi Yi. Yuri pun tak lupa mencium tangan Nenek Dana dan dihadiahi ciuman pada pipi gembul itu.

“Baik-baik ya kalian di Jakarta.”

“Iya, Nek. Makasih.”

Dan kereta yang akan membawa Hana ke jalan hidupnya kemudian telah tiba di stasiun. Mereka saling melambaikan tangan dengan haru. Tidak ada tangis lagi. Hanya ada senyuman yang menjanjikan pertemuan selanjutnya yang lebih indah. Namun tanpa Hana sadari, keputusannya kembali ke Jakarta pada hari ini lagi-lagi menjauhkannya pada pencarian seorang pria yang baru akan kembali ke Indonesia. Entah takdir pertemuan yang seperti apa yang akan mereka alami selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...