Tiga hari sudah berlalu sejak terakhir Reza datang menemui Ardi.
Indi tidak
pernah mendengar kabarnya lagi.
Pria itu bagai
hilang ditelan kuda nil.
Apa memang rasa
penasaran Reza padanya sudah hilang dan sekarang sudah bosan.
Indi kembali
murung dan matanya kembali basah.
Selama dia
tinggal dirumah abangnya, dia dilarang kemana-mana bahkan ke kantor. Abangnya
malah berencana membuat Indi resign. Dia mendengar pembicaraan abangnya dan Ika
tadi malam.
Suara ketukan
terdengar, namun Indi hanya kembali tidur dan menutup dirinya dengan selimut.
Menolak keluar ataupun makan.
Suara Ika
terdengar dari luar.
“Di, makan malam
dulu…aku masakin ayam kecap kesukaanmu, lho!”
Ika mengetuk
lagi namun seperti kemarin malam, pagi dan siang ini Indi tidak mau keluar.
Ika menghela
nafas dan kembali turun kebawa membawa makanan yang tadinya mau dia kasih ke
Indi.
Ika sampai anak
tangga terakhir, bersamaan dengan suaminya yang baru pulang.
“Cium!” Ardi
merentangkan tangannya namun Ika hanya memandangnya diam, biasanya istrinya itu
akan menghabur kepelukannya dan mencium pipi, bibir dan keningnya sekaligus.
“Yang?”
“Mandi dulu ya,
aku siapin dulu makannya.” Ika tersenyum namun tidak sampai kematanya. Ardi pun
menurut dan langsung mandi membersihkan dirinya.
Ardi
mengeringkan rambutnya yang setengah basah dan membuatnya acak-acakan. Ika
menahan mati-matian hasratnya yang ingin melompat kepelukan suaminya.
“Masak apa,
Yang?”
“Ayam kecap.”
“Wah kesukaan
Indi tuh, anaknya udah makan?”
“Belum dari
kemarin.”
Ardi menghela
nafas, “Dasar manja.”
Ika membanting
sendok nasi yang ada ditangannya, “Manja? Abang bilang manja?”
“Dia hanya sedih
karena abang tidak merestui hubungannya dengan Reza!” mata Ika berkaca-kaca dan
wanita itu berlari masuk kedalam kamar, meninggalkan suaminya yang terbengong
sendiri.
Ardi kalang
kabut mengejar istrinya yang sprint kekamar. Begitu masuk kamar dia melihat Ika
yang duduk dikasur mereka sambil terisak.
“Yang, kamu
kenapa? Kok nangis?”
“Abang restuin
ga, Indi sama Reza! Kasihan Indi, bang!”
Ardi memejamkan
matanya menahan kesal, beginilah kalau cewek sahabatan. Saling dukung trooss!
“Abang begini
demi kebaikan Indi, Yang! Reza itu laki-laki brengsek, dia tidak akan bisa
membuat Indi bahagia!”
“Trus aku
bahagia ga?!”
Hah? Kenapa jadi
melebar kemana-mana?
“Aku bahagia, ga
menurut abang?” desak Ika.
“Bahagia, dan
abang pasti akan terus menjamin kebahagiaanmu sampe kita menua bersama.” Ardi
menjawab mantap.
Mata Ika
berkaca-kaca, “Tuh kan, Indi pasti juga bahagia kalau bersama orang yang dia
cintai, bang. Indi mirip kayak aku, sama-sama jatuh cinta dengan cowok
brengsek!”
Eh?
Kok?
“Yang…”
“Aku bener kan?
Abang juga dulu cowok brengsek, tapi bisa buat aku bahagia. Semua itu karena
rasa cinta, bang!”
Skakmat.
Ardi tak bisa
ber word-word.
Kepalanya sudah
berkeringat, padahal tadi abis mandi.
Kok istrinya
masih ingat aja sih? Udah lama lho itu!
“Bang, aku tau
kalau dulu abang nerima cinta aku karena mau jadiin aku tameng kan? Buat
cewek-cewek yang ngejar abang…”
Kepala Ardi
gatal.
“Masih mending
Reza, dia berhenti dekat sama cewek lain sejak bersama Indi…”
Ardi mengitung
jumlah kotak di lantai.
“…sedangkan
abang, aku tau abang masih sering selingkuh kan walaupun kita udah pacaran…”
Ardi membuang
pandangan ke plafon kamar.
“…saat itu aku
sedih banget, bang. Sakiiit…dan yang ada disamping aku, nguatin aku, meluk aku,
dukung aku itu cuma Indi…Indi, bang. Bukan abang.”
“Yang, maaf!”
Ardi tidak tahan lagi. Dia memeluk Ika erat. Menenggelamkan wajahnya dibahu
istrinya. Ika merasakan basah dibahunya. Suaminya menangis.
Ika mengusap
punggung suaminya mesra, “tapi sekarang aku bahagia, bang. Sangat
bahagia…apalagi setelah ada Lila. Dan aku yakin Indi juga akan bahagia bersama
Reza. Karena mereka saling mencintai.”
Ika menjauhkan
dirinya dan mengangkat wajah Ardi, dan benar suaminya…menangis.
“Lelaki yang
dulunya brengsek, ga selamanya brengsek. Kalian bisa jadi sumber kebahagiaan
kami, wanita yang mencintai kalian.” Jelas Ika mengusap air disudut mata
suaminya.
“Beri mereka
kesempatan ya, Yang. Seperti kita dulu.”
Hati Ardi
menghangat. Sisi posesif membuatnya lupa jika dulu dia bahkan lebih brengsek
dari Reza. Dan semuanya berakhir bahagia, dengan Ika.
“Makasih ya,
Yang. Udah buka mataku…ngomong-ngomong akulapar lho, Yang. Tadi ga jadi makan,
kan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar