Praaakk!!!
Reza membanting
ponselnya dengan kasar keatas meja kerjanya. Telapaknya mengusap kasar wajah
yang terlihat sangat kusut itu. Jelas saja kusut, semalaman dia tidak tidur.
Jika tidak dipaksa Arya mungkin dia tidak akan pulang dan mandi. Sarapan yang
di suruh Arya untuk dibeli Mang Entis pun masih tergeletak di atas meja
tamunya.
'Kemana dia?
Kemana gadis itu?'
Reza membatin
penuh kekeselan dan tidak dipungkiri jika dia juga sangat khawatir.
Berjam-jam dia
menunggu Indi didepan apartement gadis itu. Berpuluh-puluh panggilan tidak
terjawab dia sambungkan kenomor gadis itu. Bahkan jempolnya sampai kram karena
mengetik pesan-pesan. Dan hasilnya semua Nol Besar.
Bagai alien yang
kembali ke planetnya. Indi menghilang tanpa jejak. Meninggalkan dirinya yang
kalut seperti ini.
Terdengar
kembali helaan napas dari mulutnya. Matanya melirik kearah jam dinding.
10.15
Dan batang
hidung cantik gadis itu masih belum terlihat.
Reza meraih
cangkir dan mengumpat, saat teh dicangkir itu sudah habis diteguknya sampai
tetes terakhir.
Dengan malas
diangkatnya tubuhnya dan berjalan pelan kearah pintu.
Matanya
menangkap keantusiasan Sisca saar melihat atasan tampannya berjalan mendekati
mejanya. Apa Reza akan mengajaknya Short time sex sekarang. Bukankah sudah lama
mereka absen, batin Sisca riang.
"Pagi Pak.
Ad..."
"Suruh Mang
Entis membuatkan teh lagi. Sekarang." potong Reza datar yang langsung
menerbitkan kekecewaan dihati si sekretaris jalang.
"Baik,
Pak."
Bukan tanpa
alasan Reza keluar dari ruangannya hanya untuk secangkir teh. Dia bisa saja
menyuruh sekretarisnya itu melalui telpon. Tapi dia tau jika Indi tidak suka
dengan kehadiran Sisca disekitarnya, bahkan tadi malam dia sempat berpikir akan
mengganti sekretarisnya itu jika Indi meminta. Toh, kerjaannya juga tidak
bagus-bagus amat.
Namun alasan
yang paling utama adalah Reza ingin melihat langsung ruangan Indi yang masih
kosong secara langsung. Seolah kaca penguntitnya hanya memberikan gambaran
palsu sedaritadi. Dan benar saja, rahangnya langsung mengeras saat menangkap
Indi yang baru keluar dari lift, bersama si sialan Panji sambil tertawa lepas.
Apa sekarang gadisnya itu sudah berubah menjadi ibu peri pembawa keceriaan. Apa
dia tidak tau jika sejak tadi malam pria ini galau memikirkannya.
Dan apa pula
tangan si sialan itu berani-berani menyentuh pundak cantik kekasihnya. Mau mati
dia?
Reza mendata
semua keburukan Panji sebagai alasan pemecatan pria malang itu. Namun sekali
lagi kesialan memilih bersekutu dengannya. Lebih banyak prestasi yang diberikan
kepala bagian IT nya itu daripada kegagalan.
Sial! Sial!
Sial!
Begitu kedua
muda mudi yang sedang asik bercengkerama itu melintas melewati Reza yang
berdiri disamping tembok, tersembunyi bagai seorang ninja, langsung saja sang
CEO menunjukkan kembali taring kekuasaannya.
"Panji!"
Yang dipanggil
langsung tersentak kaget dan berbalik kebelakang. Matanya langsung membesar
saat mendapati sang atasan lagi-lagi menatapnya tajam.
Apa salahnya,
Panji membatin.
"Iya, Pak."
jawab Panji dengan intonasi senormal mungkin. Padahal jantungnya udah mau
keluar dari mulut.
"Kembali
keruanganmu. Sekarang!"
HAH???
Indi dan Panji
sukses bengong ditempat dengan mulut yang menganga lebar. Apa-apaan ini,
memangnya Panji anak kencil yang mau disuruh tidur siang apa?
"Ehm...maksudnya
apa yah, Pak?" tanya Panji sekali lagi memastikan pendengarannya.
Reza mendecak
tidak suka dengan pertanyaan yang tidak bermutu. Padahal disini yang tidak
bermutu sama sekali adalah perintahnya.
"Yah, kamu!
Sudah sana kembali keruangan dan kerja yang rajin. Aku tidak menaikkan gaji
kalian dengan cuma-cuma..."
Baru juga Panji
akan mengatakan sesuatu saat suara tajam Reza lagi-lagi mengalun.
"...dan kau
Indira, ke ruanganku. Sekarang!"
Reza langsung
berjalan cepat kembali keruangannya dan langsung merampas cangkir berisi teh
panas yang akan diantarkan Sisca keruangannya. Sisca menggigit bibirnya kesal
karena lagi-lagi gagal modus.
"Gimana ini
Indi, padahal kan gue mau ke toilet secara toilet dibawah lagi rusak...kalo gue
pipis dicelana gimana dong?"
Suara Panji yang
memelas menarik kepala Indi untuk menoleh kesamping. Melihat wajah merana Panji
benar-benar membuatnya iba. Dasar CEO sadis, seenaknya saja menyuruh bawahannya
dengan perintah yang aneh-aneh.
Indi menghela
napasnya pelan. Kepalanya bahkan masih pusing karena semalaman menangis
sekarang sudah harus menghadapi tingkah kekanakan CEO nya ini.
"Sudahlah.
Kau pergi saja sana ke toilet. Toh, dia tidak akan tau." ucap Indi malas.
"Benar
juga. Mau ikut, Ndi?" Panji menaik turunkan alisnya, menggoda Indi.
"Ikut
kepalamu!" dan Indi meninggalkan Panji yang terkekeh dibelakangnya.
Sisca
menyilangkan tangan didadanya yang super besar itu, dan membuat gumpalan palsu
itu semakin menonjol kedepan.
"Udah
ditunggu tuh sama Reza. Ngomong-ngomong lu pake guna-guna apa buat Reza, sampe
mau sama cewek ga jelas macam lu?" Sisca terus menatap tajam kearah Indi
yang membalasnya dengan tatapan malas.
"Guna-guna
istri muda." jawab Indi santai sambil terus melangkah keruangan CEO nya.
Indi menarik
napas dalam-dalam dan mulai mengetuk pintu yang tadi malam menjadi saksi bisu
dia terisak tanpa suara. Menangisi sang kekasih yang mungkin sekarang sudah
menjadi mantan kekasih dalam kurun waktu kurang dari sehari.
Tok! Tok! Tok!
Suara Reza yang
menyuruhnya masuk mengalun dari dalam ruangan, membelai manis kekupingnya.
Sungguh malangnya nasibmu Indi yang masih merasakan debaran dari lelaki yang
sudah menghancurkan hatimu berkeping-keping.
"Permisi,
Pak." ujar Indi sedatar dan seformal mungkin, membuka pintu ruangan itu
pelan.
Namun bagai
setan ditelan bumi, sejauh matanya memandang Indi hanya mendapati ruangan
kosong tanpa ada siapapun didalam. Apa sekarang mantan yayangnya ini sedang
dalam mode tuyul dan mencuri uang dibrangkas yang ada diruangannya.
Grep!
"ASTAGANAGA!!!!"
Indi langsung
terlonjak kaget saat merasakan pelukan erat seseorang dibelakangnya. Hembusan
napas yang beratdan memburu menderu telinga kanannya. Tanpa bisa dicegah
serangan tiba-tiba ini membuat sekujur tubuh Indi panas dingin. Sekuat
sisa-sisa tenaga Indi yang tidak terlena, mencoba menahan tangan-tangan yang
mulai menjalari seluruh bagian perutnya dengan terburu-buru. Namun
tangan-tangan liar itu malah menepis genggamannya dan dengan kasar menarik bajunya
paksa sampai terbuka. Bahkan Indi bisa mendengar suara kancing-kancing bajunya
mulai berjatuhan.
Tidak! Dia tidak
ingin diperlakukan seperti ini!
Dengan tenaganya
yang tersisa, Indi menarik tangan-tangan itu hingga terlepas.
"Hentikan!"
gadis itu langsung berlari kedepan dan berbalik. Tangannya menarik kemejanya
dan menutupi dadanya yang terbuka. Tanpa sadar, Indi menangis.
Jujur dia sangat
takut dengan tatapan frustasi pria didepannya. Mata yang merah itu menatap
tajam. Indi langsung beranjak mundur saat langkah pria itu mulai bergerak maju.
"Jangan
mendekat! Berhenti!" namun seolah tuli, pria itu malah semakin mendekat.
"Berhenti
melecehkanku, Reza!"
Kata-kata itu
sukses menghentikan langkah-langkah kaki sang pria. Tatapan tajam dan frustasi
itu perlahan berubah sendu dan melembut. Sungguh hatinya tidak tega melihat
tubuh Indi yang gemetar ketakutan.
"Kau
kekasihku. Aku hanya ingin bermesraan denganmu, Indi. Apa salah? Semalaman aku
menunggumu di apartement. Telepon dan pesanku pun tidak terjawab. Kau tidak tau
sekhawatir apa aku? Dan sekarang kau datang sambil tertawa-tawa dengan si
brengsek Panji itu!" keluar semua apa yang mengganjal dihati Reza.
Ekspresinya berubah-ubah seiring perkataannya. Dari mulai senyuman miris,
takut, marah, emosi semua menumpuk dikepalanya.
Mengingat malam
itu kembali memunculkan rasa perih dihati Indi. Sekuat tenaga dia menahan untuk
tidak meneriaki sang atasan tepat diwajahnya. Bagaimanapun dia sedang berada
dikantor dalam posisi seorang bawahan yang baik. Indi memejamkan matanya yang
mulai memanas. Kata-kata 'jangan menangis' terus dia lantunkan dikepala bagai
sebuah mantera. Tangan yang menggenggam bajunya yang terbuka semakin
mencengkeram kuat, sampai kepalan itu memutih.
"Aku bukan
kekasih siapapun." ucap Indi begitu dingin. Menegakkan tubuhnya
disisa-sisa tenaganya. Alis Reza langsung menyerngit bingung, namun pria itu
hanya diam menunggu.
"Kejadian
kemarin hanya sebuah kesalahan. Saya sudah terlalu tidak sopan kepada anda
selaku atasan saya..."
"Kau
mengatakan kesalahan. Apa bagimu ungkapan perasaanku adalah...kesalahan?"
potong Reza dengan rahang yang mengeras. Oh, jika saja Indi tau seberapa
marahnya pria itu.
Indi menarik
napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. "Ya."
Plok Plok Plok!
Indi memandang
Reza yang bertepuk tangan dalam diam. Tidak pernah sekalipun dia melihat Reza
memasang wajah seperti ini. Jangan katanya rasa sakit yang Indi rasakan setara
dengan pria ini. Indi terus mengingatkan dirinya jika dia hanyalah salah satu
persinggahan sementara. Dan akhirnya pria tampan ini tetap akan menikahi
tunangan yang sangat dia cintai. Mengingat Reza yang sudah bertunangan membuat
hatinya semakin sakit.
"Hebat,
Indi. Jadi semua ini hanyalah permainan. Sepertinya aku terkena karma,
yah?" Reza memandang Indi dengan mata yang mulai memburam. Oh! apa
sekarang dia akan menjadi pria yang cengeng.
Indi hanya
terdiam dengan kata-kata penuh sindiran itu. Tubuhnya tersentak dan beringsut
mundur saat Reza kembali mendekat.
Tumpah sudah.
Airmata itu sudah tidak tertahan lagi saat Reza menutupi tubuh Indi dengan jas
nya. Indi menundukkan wajah agar rambutnya tergerai dan menyembunyikan wajah
penuh duka itu.
"Maaf."
sebelum hatinya luluh dan menyerahkan harga dirinya yang terakhir untuk Reza
injak-injak. Indi langsung melesat pergi setelah meminta maaf entah untuk apa.
Bantingan pintu
sama sekali tidak membuat Reza beranjak dari tempatnya. Matanya masih terpejam
rapat. Perlahan kepalan tangan yang memutih itu mulai mengendur. Reza menyeret
tubuh lelahnya kekursi dan langsung menjatuhkan dirinya.
Indi memutusnya.
Gadis itu
menolak cintanya.
Apa salahnya?
Apa dia terlalu bergerak cepat?
Tidak. Reza
yakin seyakin-yakinnya jika Indi memiliki perasaan yang sama dengannya. Gadis
itu juga mengatakan mencintainya bukan? atau dia yang salah dengar.
Rasa sedih itu
perlahan berubah menjadi amarah. Tidak ada satupun perempuan yang boleh
menolaknya. Hanya dia disini yang berhak mencampakkan perempuan yang tidak dia
inginkan, bukan sebaliknya. Dan disaat dia serius, perempuan yang dia inginkan
malah mempermainkan perasaannya. Tidak bisa Indi, tidak bisa. Kau tidak akan
pernah lepas dariku.
Dengan kasar
Reza menarik laci mejanya dan meraih benda kecil yang tidak lain adalah sebuah
flashdisk. Flashdisk berisikan data laporan keuntungan perusahaan yang dikira
Indi sudah sampai ketangan ayahnya. Yah, data ini tetap akan sampai ketangan
ayahnya, namun dengan sedikit modifikasi. Reza tidak bisa menahan seringainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar