"Trus jadinya gimana?"
"Aku yakin
sebelum jam 7 ayah pasti selesai. Dia tidak akan sudi melewatkan makan malam
bersama ibu demi apa pun."
Senyum
terkembang dibibir Indi saat membayangkan merekalah yang menjadi pemain di
kata-kata Reza tadi dan bukan orang tuanya. Pasti setelah itu mereka akan
memakan makanan penutup yang tidak lain adalah sex on the table.
"Ini sudah
jam 5 kurang...apa aku harus menunggu?" tanya Indi sambil memainkan ujung
rambutnya dengan gaya pelacur kelas atas. Dia bahkan terkekeh sendiri melihat
tingkahnya dari pantulan cermin.
"Memangnya
kau tidak bosan? kenapa tidak pulang saja ke apartementmu nanti aku jemput
begitu pembahasan dengan ayahku selesai?...Oh sayang! si sialan Arya mengetuk
pintu kamar mandi dan memanggilku, sepertinya aku sudah terlalu lama kabur dari
mereka. Nanti aku kabari jika mau menjemputmu, okey! Bye love!"
Baru juga Indi
mau membalas perkataan Reza, sudah terdengar suara telpon yang terputus secara
sepihak. Walaupun berwajah kesal namun pancaran bahagia tetap mewarnai
wajahnya.
Indi menghela
napas dan menyapu pandangannya keseluruh ruangan.
"Sejam
lagi...ngapain yah biar ga bosan?" Indi berjalan kearah jendela ruangannya
dan mengintip keluar, tepatnya kearah bawahannya yang sudah bersiap-siap
pulang, berusaha mencari rekomendasi cara membunuh waktu yang baik dan benar.
Ada yang berdandan, Indi mendengus memikirkan buat apa gadis-gadis itu
berdandan padahal arahnya mau pulang kerumah juga. Pandangannya bergeser ke
pegawai pria yang sedang bermain game, dan Indi kembali mendengus mengingat
semua game di komputer sudah habis dibabatnya. Namun langkah seseorang yang
mendekati pria yang bermain game itu cukup menarik perhatiannya. Pria itu
tampak segar dengan rambut yang masih setengah basah. Wajahnya terlihat lebih
kering dan putih khas orang yang habis mandi. Dan Indi tersenyum puas saat
mendapatkan kunci jawaban dari kebingungannya.
"Benar
juga. Kamar mandi dilantai ini kan yang paling bagus dan..." Indi langsung
berjalan kearah lemarinya dan membuka salah satu laci.
"Bingo!"
Indi menatap dengan mata berbinar tumpukan baju dan celana terlipat rapi
didalam lemari kerjanya. Indi memutuskan dia tidak akan pulang dan menunggu
Reza selesai dari rapatnya. Dia bisa membersihkan diri saat para karyawan lain
sudah pulang. Jika dia kembali ke apartement, kemalasannya pasti akan membawa
tubuh lelah itu keatas tempat tidur dan acara kencan pertamanya pun batal.
Menyebut makan malam pertama ini dengan kencan bahkan sudah membuat Indi
berdebar-debar.
"Hm...biasanya
kan yayang Reza setelah makan malam dengan jalang-jalangnya pasti akan
'begituan' yah? Apa kami juga akan...KYAAA! Mama! Indi tidak kuaaaatt!!!"
tanpa Indi sadari sekarang dia sudah berguling-guling ke'gatel'an diatas karpet
ruangannya. Tidak tahan dengan pikiran mesumnya sendiri.
JDUUUK!
"Aaaaaggghhhh!"
Dan jidat Indi
sukses mencium kaki meja kerjanya.
"Aduuuhh..."
Indi meringis menahan betapa maknyus-nya efek belaian sang kaki meja kepada
jidat imutnya. Ini semua gara-gara Reza. Jika saja kepalanya tidak dipenuhi
janji makan malam dengan yayang nya itu, maka dia tidak akan merasakan sakit
yang entah kenapa hilangnya lama sekali. Tapi karena yayang Reza tampan dan
seksi...jadi adek Indi maafin deh, tawanya dalam hati.
Memang kita
sebagai manusia harus dapat mengambil sisi positif dari kesialan apapun yang
terjadi. Buktinya sekarang, jika kaki meja itu tidak menjedutkan dirinya
kejidat Indi, maka dia tidak akan sadar sudah membuang-buang waktu percuma.
Matanya langsung melotot saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam
sore.
"Mampus!
Mana belum mandi...trus dandan trus nyatok...hadeeeuuuhhh!!!!" Indi
langsung mengambil baju bersih yang akan dia pakai dan langsung keluar dari
ruangannya dengan setengah berlari. Indi meringis saat menyadari sudah selama
apa dia melamun tadi. Ruangan kantor bahkan sudah sepi seperti kuburan. Bahkan
si jablay Sisca sudah kembali kealamnya. Dengan cepat Indi memacu langkahnya
kearah toilet perempuan.
"Iya
sayang, ini juga sudah selesai. Aku pulang sekarang..."
Reza melirik
adiknya yang juga melakukan hal yang sama dengannya. Reza menaikkan turunkan
alisnya dan melempar bola matanya kearah sang Ayah yang sedang berbicara lewat
telpon. Arya mati-matian menahan tawa melihat tingkah Ayahnya yang langsung
berubah drastis. Tadi saja sok tegas dan marah-marah pada kedua putra
tampannya. Sekarang malah berbicara lembut sambil manggut-manggut. Kedua putra
durhaka itu pun menarik kesimpulan jika kepala keluarga mereka adalah sang Ibu.
"Apa! Mau
protes! Mau dipecat jadi anak?!" ketus Ayah mereka saat menangkap basah
kedua putranya tersenyum-senyum tidak jelas.
Reza dan Arya
langsung menggelengkan kepalanya dan memasang tampang anak baik-baik kelas
kakap. "Ah, tidak ada apa-apa, Ayah. Percayalah." Reza berusaha
tenang. Dan bisa dipastikan ucapan putra pertamanya itu 100% tidak bisa
dipercaya.
"Jadi
kalian camkan baik-baik apa yang Ayah katakan tadi. Dan untukmu Reza, ambil
keputusan yang tepat untuk karir dan hidupmu, kau mengerti?" ucap Pak
Mahendra penuh ketegasan.
"Tentu, Ayah."
jawab Reza penuh keyakinan.
"Kalau
begitu Ayah pulang sekarang dan untukmu Arya, jika kau mendekati seorang
perempuan hanya untuk senang-senang, Ayah harap jangan seorang office girl.
Hidupnya sudah susah, jangan lagi kau tambah."
Dan Bapak
Mahendra yang terhormat pun melangkah pergi meninggalkan kedua putranya dengan
tampang yang berbeda-beda. Reza dengan wajah bengong seperti orang bodoh
menatap adiknya dan Arya sendiri terdiam membeku ditempatnya dengan wajah
seputih kapas.
"Arya..."
"Oh!
Diamlah Kak!" potong Arya sebelum kakaknya melontarkan pertanyaan yang
akan menjebaknya.
"Kau tau
aku tidak akan diam, Ar. Apa benar kata Ayah tadi kalau kau menggoda seorang
office girl. Apa kau sudah kehilangan otak warasmu, Dik!" Reza menggeleng
tidak percaya pada adik semata wayangnya ini.
"Aku tidak
menggoda, Mia. Walaupun aku akui dia memang manis..." bela Arya pada
dirinya sendiri.
Yah, ternyata
yang dimaksud ayahnya adalah Mia, office girl yang memang mengurus segala
keperluan Arya. Gadis yang diakui Reza memang sangat manis, walaupun masih
lebih manis Indi.
"...dan
lagi dari mana sih Ayah tau! Pasti ada mata-matanya di kantor ini!" tuduh
Arya masih tidak terima atas tuduhan Ayahnya.
Reza menghela
napas malas. "Semua pegawai disini bisa menjadi mata-matanya, Ar. Apa kau
lupa ini kantor siapa? Makanya lain kali main yang cantik sepertiku dan jangan
mengganggu para pegawai bawah. Hidup mereka sudah berat, Ar. Kali ini aku
setuju dengan Ayah."
"Aku kan
tidak main-main padanya..." Arya bergumam ditempatnya namun masih
terdengar oleh Reza walaupun tidak jelas. "Apa?" tanyanya
"Tidak
ada!" jawab Arya langsung. Setelah itu dia menatap kakaknya tajam.
"Kau
sendiri, seperti masalahmu tidak ada saja, Kak?" tanya Arya sinis.
Seakan
diingatkan sesuatu, Reza langsung melangkah cepat menarik lacinya, meraih
sebuah remote dan memencet tombol. Seketika vertikal blinds didepannya
tersingkap dan memaparkan dari jauh ruangan seseorang yang terlihat kosong.
Reza tersenyum dan kembali menutup 'tirai penguntit' nya.
"Sepertinya
dia sudah pulang.." ucap Reza pada dirinya sendiri dan mengabaikan
pertanyaan adiknya. Matanya langsung melirik kearah jam dinding dan tersenyum
lega. Dia masih punya waktu setengah jam sebelum menjemput Indi tersayang.
Reza
menghempaskan dirinya ke sofa tepat didepan Arya.
"Hei, Kak!
Aku bertanya padamu?" desak Arya.
Reza menatap
adiknya dengan alis terangkat. "Apa?"
Arya mendesah
lelah. Menghadapi kakaknya ini haruslah ekstra sabar.
"Seperti
kata Ayah tadi...kau harus mengambil keputusan yang tepat untuk karir dan
hidupmu..." suara Arya sengaja dia beratkan agar bisa menyerupai Ayahnya,
yang sudah pasti gagal total.
"Itu bukan
masalah." jawab Reza santai sambil memejamkan mata dan menyenderkan
kepalanya kesandaran sofa.
Terdengar
decakan kesal disebelahnya, mau tidak mau Reza tersenyum geli. Dia yang punya
masalah tetapi kenapa adiknya ini yang galau.
"Masalahmu
bahkan lebih besar dariku, Kak..." Arya menarik napas sebelum melanjutkan.
"Kau sudah
mempunyai tunangan dan kalian sudah terikat sejak SMA. Jangan membantah jika
kalian juga, saling mencintai." ucap Arya tegas tanpa keraguan.
Dan senyuman
yang terbit diwajah Reza langsung meluluh lantakkan perasaan seorang gadis yang
mengintip dari celah pintu yang terbuka. Seakan belum cukup menorehkan luka,
perkataan Reza selanjutnya berhasil mencabik-cabik hati gadis itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar