Srak!
Srak!
Srak!
Indi
menyendokkan tanah organik dengan sekop mininya. Sesekali keningnya tertekuk
dan tangannya berhenti namun detik kemudian menyekop lagi. Sadar jika pot benih
cabe merahnya sudah hampir penuh, gadis itu melempar sekop mini malang hingga
menancap kedalam karung tanah.
"Apa
kemarin katanya?" Indi mengingat dan menjilat bibirnya dengan kesal.
"Ooh..itu.
Namanya Nala. Kapan-kapan aku kenalin ya?"
Indi memejamkan
matanya penuh drama. Kemudian menghembuskan napas kasar.
Malas berpikir,
Indi menggelengkan kepala dan mencari benih cabenya.
"Ck! Mana
sih tadi...kalo dicari suka banget ilang. Giliran gak dicari nongol aja macam
jerawat!"
"Anaknya
seru dan manis, kalian pasti cocok..."
"AAAGGGHHRR!!!"
Ingatan bangsat
plus benih cabe yang hilang suskes membuat Indi frustasi.
Ditendangnya pot
kecil itu hingga terbalik dan tanahnya tumpah bersama benih cabe yang ternyata
sudah dia tanam kedalam pot.
Indi terdiam.
"Mati saja
kau Reza!"
Indi puas dengan
pilihannya kemarin. Menonjok Reza tepat dihidung dan berlari pergi adalah
keputusan tepat.
Persetan dengan
pernikahan ataupun penjara. Indi punya seorang abang dan sahabat rasa kakak
ipar yang pasti akan melindunginya.
Indi tersenyum
puas.
Tapi itu sebelum
Indi tahu jika abang dan kakak Ipar kesayangannya sedang liburan keliling
Eropa. Bahkan pasangan gila itu meninggalkan sang putri dirumah neneknya.
"ANJ#%G!"
Malamnya Indi
menelpon pasutri laknat yang diam-diam pergi liburan tanpa mengajaknya.
"Emangnya
mereka mau aku gangguin bikin anak apa?!
Susah amat
nambah satu tiket lagi...dasar pelit!"
Indi
menggigit-gigit kukunya kesal karena panggilannya diabaikan pasutri kikir itu.
Tut
Tut
Tut
'Eh!'
Indi menatap
ponselnya dengan mulut menganga. Panggilannya dimatikan.
'Mati kau
Ika!!!' karena durhaka jika memaki abang gantengnya.
"Ha ha
ha...astaga, Kak! Indi benar-benar luar biasa!!"
Bukannya marah,
Reza malah ikut tersenyum simpul sambil mengusap hidungnya yang membiru.
"Ini
pukulan sayang, Ar. Yah, walaupun tetap sakit sih tapi entah kenapa aku malah
senang ngeliat wajah cemburunya itu."
Kepala Arya
menggeleng takjub. Antara gila dan cinta itu beda tipis. Bahkan istilah budak
cinta tidak cukup untuk menggambarkan sosok kakaknya saat ini.
"Dan apa
kelanjutannya sekarang, Kak? kalian resmi putus?"
"Enak saja.
Setelah semua yang sudah kulakukan..."
" Yah,
menjebaknya kedalam masalah korupsi itu cukup brilian." Arya memotong
sambil manggut-manggut.
Reza melirik
tidak suka, "Kau menyindirku?!"
"Tepat
sekali, Kak. Sungguh hanya wanita berhati sinetron yang masih mau menerimamu
setelah menyebar fitnah dan mengaku memiliki wanita lain sebagai
tunangan."
Reza menatap
adiknya dengan ragu-ragu. Apa dia terlalu percaya diri jika cinta Indi sanggup
menampung semua tingkahnya dalam wadah bertuliskan 'Aku maafkan'.
"Trus aku
harus bagaimana sekarang, Ar?" dan bodohnya Reza baru bertanya sekarang.
"Entahlah.
Kakak yang lebih berpengalaman malah nanya ke aku. Urusanku saja ga ada
kemajuan sama sekali!"
Yah, kisah cinta
cinderella antara putra pemilik perusahaan dan seorang Office Girl sedang
dilakoni Arya.
Keduanya
sama-sama menghela napas. Asmara itu benar-benar mengalahkan sulitnya ujian
STAN.
Selesai juga. Tanaman cabe sudah rapi dan
disiram. Rumah sudah disapu dan dipel tiga kali. Piring sudah bersih dan
tersusun rapi. Mandi juga sudah.
Tinggal menunggu
si Maman, kucing tetangga yang akan minta makan sebentar lagi.
Indi merebahkan
tubuhnya diatas sofa depan tv. Tangannya menekuk keatas menutupi mata. Ingin
tidur karena malas berpikir. Tepat saat hampir terpejam, suara cakaran dipintu
tanda si Maman datang membuat Indi malas-malasan menyeret tubuhnya kearah
dapur. Sebungkus makanan kucing dan mangkuk kecil sudah berada ditangannya.
Indi membuka pintu dan tertegun melihat seorang dewa seksi sedang mengelus
kepala si Maman.
"Minggir!"
Reza menyingkir
malu-malu karena bertemu Indi tanpa persiapan dulu. Baru saja dia mau mengetuk
pintu, kucing berwajah majikan itu sudah mencakar-cakar pintu apartemen Indi
dengan brutal. Lihat saja bekas cakarannya yang sudah seperti lukisan abstrak.
"Mm...Ndi?"
"..."
"Bisa kita
bicara?"
"..."
"Sebentar
aja...boleh ya?"
"..."
Indi berdiri
setelah Maman hampir menghabiskan setengah makanannya. Entah Indi yang terlalu
lama jongkok atau si Maman yang rakus.
"Ke Cafe
bawah aja." balas Indi datar dan berjalan meninggalkan Reza dibelakangnya.
Reza yang sudah
mempersiapkan kata-kata penolakan dari Indi tersentak kaget. Kepalanya menoleh
kekanan kiri antara tubuh Indi yang menjauh dengan pintu apartemen yang masih
terbuka. Buru-buru Reza menutupnya dan berlari mengejar Indi.
Akhirnya Reza
mampu menyusul dan mereka berjalan beriringan dalam diam sampai duduk di meja
cafe.
"Apa kabar,
di?"
Indi mengangkat
tangannya, memanggil pelayan.
"Mas, mau
pesan dong!"
Reza menutup
kembali mulut dan menggaruk pipinya asal, dikacangin.
"Di.."
"Makan aja
dulu baru ngomong. Sayang makanannya kalau mual duluan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar