"Iya, sebentar..."
Dengan sudah payah Hana menyeret kedua kakinya menuju pintu. Gedoran kuat yang mungkin sebentar lagi akan merubuhkan pintu rumahnya semakin kencang terdengar. Tangannya buru-buru merapikan rambut dan menarik kerutan-kerutan bajunya agar terlihat lebih rapi. Dengan cepat Hana membuka pintu agar siapapun yang berada diluar tidak semakin kesal. Bahkan di saat sedang sakit pun Hana masih memikirkan orang lain.
"Tante Ika...?"
Tanpa salam dan sapaan, Ika langsung menerobos masuk kedalam rumah kecil itu.
"Aryo, tutup pintunya." perintah Ika yang langsung dikerjakan putranya tanpa banyak bertanya.
Hana tersenyum lembut dan langsung meraih tangan Ika ingin menciumnya namun betapa kagetnya dia saat wanita paruh baya yang selalu lembut itu menepis tangannya dengan kasar.
"Tidak perlu berpura-pura baik lagi, Hana. Aku sudah tau siapa kau sebenarnya!"
Kening Hana menyerngit bingung. Dia benar-benar tidak tau apa maksud ucapan calon mertuanya ini. Perlahan Hana menoleh kearah calon suaminya meminta petunjuk namun yang didapat hanyalah Aryo yang membuang muka, seolah jijik melihatnya. Dengan sedikit keberanian, Hana mencoba bertanya.
"Maksud Tante..apa?"
Prak!
Hana meringis saat lemparan kertas-kertas yang dia tidak tau itu apa menghantam tepat kewajahnya. Hana membeku. Rasa perih karena ujung kertas yang menggores wajahnya tidak sesakit hatinya saat ini.
Tante Ika. Wanita lembut yang terlihat sangat menyayanginya, menyakitinya...tapi kenapa?
Hana menggelengkan kepalanya mencoba mengusir rasa ragu akan kebaikan Tante Ika dihatinya. "Ini...apa, Tan.."
"BERHENTILAH BERPURA-PURA HANA HABIEBAH!"
Hana langsung terdiam. Tanpa bisa dicegah matanya mulai memanas. Tante Ika membentaknya. Dan wanita itu sangat marah. Apa Hana menyakitinya.
jangan menangis Hana...kau anak yang kuat...
Hana yakin jika saat ini tidak ada seorang pun baik Tante Ika maupun Kak Aryo yang sudi berbicara padanya. Dengan berat dia menunduk dan mencari tau sendiri. Keningnya kembali menyerngit saat melihat sebuah gambar yang terasa aneh.
Aryo menatap geli dan bersiap tertawa dalam hati saat Hana perlahan bersimpuh dan meraih salah satu foto yang tercecer dikakinya. Aryo sedikit penasaran dengan wajah Hana yang meringis saat tubuhnya bergerak turun.
"AAAKKKHHH!!!"
Hana langsung terduduk, beringsut mundur menjauh sejauh-jauhnya dari ceceran foto yang menampilkan gambar tidak senonoh. Gadis itu menutup wajahnya sendiri dan menggelengkan kepalanya keras-keras dengan cepat, seolah hal itu bisa menghilangkan gambaran menjijikan yang berhasil menempel di otaknya. Sekelebat kejadian malam itu kembali terulang dikepalanya bagai sebuah putaran film. Rasa takut itu kembali memenuhi dirinya.
"Tidak...tidak...tidak..."
Ika yang muak dengan tingkah Hana yang dinilainya penuh dusta langsung beranjak dan bersimpuh didekat gadis yang masih bergumam 'tidak' seperti orang gila. Dengan kasar Ika menarik tangan yang menutupi wajah Hana yang memucat. Mengabaikan tubuh gemetaran gadis itu.
"Katakan jika itu bukan dirimu, Hana...katakan!" bentak Ika tidak sabar.
Bukannya menjawab, Hana malah menggigit bibirnya sampai darah mengalir disudut mulutnya. Aryo yang tadi bersiap menahan tawa melihat reaksi Hana malah melotot kaget. Dengan cepat pria itu ikut bersimpuh didekat ibunya.
"Hentikan itu, Bodoh! Kau menyakiti dirimu sendiri!" bentak Aryo, sedangkan Ika sudah membekap mulutnya sendiri tidak percaya.
Mendengar suara Aryo yang berbicara padanya, bagai sebuah sihir langsung menarik kesadaran Hana. Dengan pelan dan patah-patah dia menoleh dan melihat Tante Ika yang menangis dirangkulan putranya. Sedangkan Aryo sendiri menatapnya dengan pandangan yang aneh. Apa Hana terlalu naif menganggap ada sirat kekhawatiran dimanik pria itu.
"Katakan jika itu bukan kau, Hana..." isak Ika disela tanyanya.
Apa yang harus Hana katakan. Perempuan yang ada disana adalah dirinya. Apakah dengan mengatakan dia diperkosa akan merubah keadaan dan membuatnya kembali suci. Hana memejamkan matanya, menarik napas dan mengeluarkannya dengan pelan, berkali-kali. Dia memantapkan hatinya. Meyakini...jika kebahagiaan tidak akan sudi mendekati wanita kotor sepertinya. Wanita kotor yang akan menistakan nama keluarga besar Kumoro Aji. Wanita kotor yang terlalu hina untuk menjadi seorang istri pria bernama...Aryo.
Perlahan Hana membuka matanya dan tersenyum miris. "Yah, itu aku."
Plaaakkk!!!
Pipi pucat Hana langsung memerah menerima tamparan keras dari wanita yang selalu menjadi panutannya. Hana hanya diam saat wanita itu dengan lantang membatalkan pertunangan dan rencana pernikahan putranya. Tidak ada air mata yang keluar, karena Hana sudah ikhlas menerima cobaan yang sekali lagi menghampirinya. Semoga dia kuat, seperti janjinya pada sang nenek.
Aryo menatap Hana yang terduduk diam tanpa suara didekat kakinya. Tatapan perempuan itu begitu kosong seolah-olah jiwanya sudah lenyap dan hanya meninggalkan seonggok manekin. Dengan ragu, Aryo berjalan mengikuti ibunya yang sudah pergi meninggalkan mereka, namun suara lirih itu sekejap menghentikan langkahnya.
"Maaf..."
dan Aryo kembali melangkah dengan perasaan yang mengganjal. Bukankah seharusnya dia lega karena tidak jadi terikat dengan wanita ular itu.
----------------------------------------------
"Dasar pelacur!"
"Ternyata gitu yah cara dapat beasiswa.."
"Apa lu mau 'bobo' diranjang gue malam ini..."
Hana terus menulikan telinganya dan berjalan cepat kearah ruang dekan. Kali ini Hana sudah mati rasa. Cobaan beruntun yang begitu menyakiti raga dan jiwanya seolah tidak mau berhenti. Siang ini saat Hana bersiap-siap ingin kekampus, salah satu dosen menelponnya dan menyuruhnya segera datang. Bahkan Hana masih mengingat nada ketus sang dosen yang berbicara padanya.
Ternyata kejutan lain sudah menunggunya disalah satu tempat yang dia kira akan menjadi alasannya untuk tetap bertahan.
Foto-foto mesumnya yang entah siapa yang berbuat, terpampang disetiap dinding kampus. Bahkan petugas kebersihan sampai marah-marah karena 'gambar' itu tiada henti-hentinya terpasang.
Segala macam godaan, cacian, hinaan terus dia terima sepanjang perjalanan menuju ruang dekan. Walau dari luar tampak seperti es yang sangat dingin namun dalam hatinya Hana sudah meraung penuh luka.
Pintu ruang dekan itu sudah terbuka menyambut kehadirannya. Hana terus menatap kearah bawah tanpa ingin mengangkat kepalanya. Berbagai pertanyaan, keluh kesah, kemarahan, teguran bahkan permintaan untuk mengundurkan diri dari kampus diterima Hana dengan lapang dada.
Gadis itu hanya memejamkan mata dan mengangguk tanpa suara.
Tiada lagi beasiswa.
Tiada lagi kuliah kedokteran.
Tiada lagi masa depan.
Tiada lagi mimpi.
'Maafkan aku yang gagal ini...ayah...ibu...nenek...'
Hana sudah akan mencapai gerbang kampus saat tangannya ditarik oleh seseorang. Walau tarikan itu tidak kuat namun ketidaksiapan Hana dan masalah yang terus bertubi membuat tubuhnya sedikit limbung. Hana bahkan harus memegang pagar besi yang tepat persis disebelahnya. Dengan kasar tubuhnya dibalik, dan terpampanglah wajah Alya dengan raut yang aneh.
"Apa yang ada diotakmu sampai semua ini terjadi, Hah?! Aku salah mengira dirimu, Hana. Kau tidak lebih baik dari pelacur yang ada dipinggir jalan!"
"Selamat yah, Alya. Sekarang kau mendapatkan beasiswanya. Semoga ka..."
"Aku tidak butuh beasiswa yang didapat dengan cara seperti ini!" potong Alya penuh amarah.
Alya memang membenci Hana. Bahkan sangat membenci sampai urat nadinya. Namun dia adalah orang yang jujur. Dia ingin merebut beasiswa Hana dengan otaknya sendiri dan bukannya mendapat durian runtuh seperti ini.
Alya tersentak saat Hana meraih tangan kanannya dan tersenyum sendu. "Sebenarnya kau baik, Alya. Semoga kemudahan selalu menyertaimu. Aku akan selalu menyayangimu, mantan sahabatku."
Tubuh Alya membeku. Bahkan mengucap kata penghiburan saja dia tidak sanggup. Matanya terus menatap punggung Hana yang terlihat sangat kecil dan rapuh, semakin lama semakin menjauh. Punggung yang mungkin tidak akan pernah dia lihat lagi. Punggung...mantan sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar