Sabtu, 11 Oktober 2025

04

 Reza Artha Maheswara

Oh sayang, betapa kejamnya kau padaku~

Indi sekali lagi harus menahan mati-matian emosinya agar tidak menendang pintu bilik toilet di depannya. Bagai sebuah kutukan dia harus mendengar lagi kekaguman dan ketakjuban seorang perempuan hina akan calon bapak dari anak-anaknya. Yah, Reza sudah dinobatkan Indi sebagai calon suaminya dunia akhirat, bagai lirik lagu dangdut.

Dengan keras Indi membuka pintu tempat persembunyiannya dan kembali mengagetkan dua orang wanita yang sepertinya baru berinteraksi dengan 'junior' bosnya itu. Namun sial sungguh sial yang ada dihadapannya kali ini adalah sekretaris jalang berwajah ular dari CEO nya.

"Oh Indi rupanya, kirain siapa. Biasa aja kali buka pintunya" ujar Sisca culas sambil menambal kembali wajahnya dengan bedak yang sudah beterbangan seperti debu di seluruh toilet. Indi bahkan sampai terbatuk-batuk.

Wanita yang satu lagi langsung pamit pergi demi mencapai ketenangan jiwa. Bagaimanapun jabatannya tidaklah setara dengan dua wanita di depannya.

Indi menolak membalas tatapan meremehkan Sisca yang dia lemparkan dari pantulan cermin. Indi mencuci tangannya dan tetap mengabaikan Sisca.

"Oh iya, Di..."

'Enak aja da di da di...emang nama gue lidi!' batin Indi kesal

"...kalo ga salah nanti jam empat-an lu mau rapat sama Reza kan?"

'Sialan nih ular, udah sok banget ga pakai embel-embel atasan!' maki Indi dalam hati sambil mengeringkan tangannya dengan tisu dan menjawab pertanyaan Sisca dengan mengangkat alis sekilas.

Mengabaikan aura ketidaksukaan yang terpancar dari tubuh Indi, Sisca tetap meneruskan perkataanya.

"...kalo bisa lu percepat yah karena gue mau ngajak Reza dinner dan lu tau lah abis itu kita mau ngapain, jadi jangan buang-buang tenaga Reza yah, dengan mikirin laporan keuangan lu yang ga jelas itu!"

Lama-lama Indi jengah juga dengan kuntilanak yang satu ini.

"Laporan keuangan yang lu bilang ga jelas itulah yang ngasih lu duit buat makan, bahasa halusnya gaji kalo-kalo lu ga ngerti." balas Indi tak kalah sinis.

"Idih jutek amat sih, biasa aja dong ngomongnya!"

"Idih siapa juga yang mulai, biasa aja dong ngomongnya!" balas Indi sebelum Sisca keluar dari toilet dan alhasil di bantinglah pintu toilet yang malang itu.

Dengan kesal Indi kembali ke ruangannya dan langsung melempar apapun benda yang ada didekatnya dengan emosi maksimal, matanya langsung menyipit saat menyadari benda yang dilemparnya adalah sekotak teh yang sengaja dibawanya dari rumah. Yah, teh yang katanya enak pemberian dari kakak iparnya tersayang.

Matanya bergantian menatap kearah kotak teh dan berkas di mejanya. Dengan helaan berat dia merelakan waktu minum tehnya dan kembali berkutat dengan laporan keuangannya.

 

 

"Masih jadi penguntit nih?" tanya Arya kepada kakak satu-satunya itu.

Mata Reza masih tidak lepas dari siluet seorang wanita yang sedang marah-marah diruangannya. Tanpa Indi sadari jika selama ini sosok dirinya di dalam ruangan bisa terlihat jelas dari ruangan CEO nya.

Indi hanya tahu jika sisi dinding itu terpasang sebuah cermin besar. Dari dalam ruangan Reza sendiri terpasang sebuah vertikal blinds otomatis yang akan menutup rapat saat Reza menekan tombol pada remotenya.

Tersungging senyum geli dibibir tipis Reza

"Sepertinya dia sedang kesal, Ar."

Arya hanya mendengus kesal karena menyadari keusilan kakaknya ini. Laporan keuangan harus bolak balik direvisi. Padahal hitungan Indi sudah benar dan sebagai wakil CEO, Arya juga sudah mengeceknya beberapa kali. Tetapi si sialan kakaknya ini terus memasukkan bon-bon transaksi palsu. Arya sungguh tidak habis pikir sebegitu gilanya kah kakaknya ini sampai rela merugi karena mengeluarkan uang fiktif hanya untuk menggoda kepala bagian keuangannya.

Terdengar kekehan dari samping Arya beberapa kali. Benar-benar sudah gila ternyata Reza Artha Maheswara yang terhormat ini.

"Kau menyukainya...jangan membantah lagi kak!" potong Arya melihat Reza membuka mulut ingin membantah.

"Aku tidak menyukainya adikku sayang, hanya penasaran saja. Hanya dia lah satu-satunya wanita yang tidak mempan dengan pesonaku" ujar Reza sombong

Sekali lagi untuk hari ini Arya mendengus,

"Dan kau tidak merayunya terus menerus kan seperti wanita-wanita lain yang menjadi sasaranmu selama ini. Kau selalu mengalah kak, kau tidak memaksanya dan itu tandanya kau suka pada Indira Khairina, Kepala Bagian Keuanganmu, titik!"

Reza sudah tidak bisa mengelabui adiknya yang sangat peka ini. Memang benar dia menyukai tepatnya mencintai Indira. Wanita itu tidak hanya cantik dan menawan namun kecerdasannya pun sangat membanggakan. Betapa membuncah akan rasa bangga saat semua kliennya memenuhi Indira dengan pujian atas ide-ide cemerlang wanita itu. Seakan-akan Indira sudah menjadi miliknya.

Tidak jarang dia harus menahan kekesalan dan bahkan berbohong jika Indi sudah menikah pada semua patner bisnisnya agar tidak ada yang bisa menyentuh permatanya. Hanya dia yang boleh menggosok permata itu sampai mencapai keindahan sempurna. Mengingat kata 'gosok' menciptakan seringai mesum dibibirnya.

Matanya menangkap jam digital dimejanya yang sudah hampir mendekati angka 16:00.

"Arya, kau tidak pulang? Ini sudah jam empat!"

"Sejak kapan kantor tutup jam empat!" balas Arya ketus.

Bukannya menjawab, Reza malah mendorong adiknya keluar dari ruangan. Begitu pintu ruangannya tertutup dan meninggalkan Arya yang terus mengumpat diluar, Reza meraih gagang telepon dimejanya.

"Sisca, kau pulang saja sekarang dan suruh Mang Entis buatkan aku minuman seperti biasa!" dan Reza menutup telepon itu tanpa memperdulikan jeritan histeris tidak terima dari salah satu gundiknya.

Indi memijit pelan pangkal hidungnya. Pikirannya masih bingung dengan angka-angka tidak jelas yang diberikan oleh CEO nya. Bagaimana dia sampai tidak tahu jika kantornya mengadakan tender pengadaan sikat wc sampai mencapai nominal Rp 200 juta. Rp 200 juta pemirsa untuk membeli sikat wc. Apa CEO ini tidak curiga dengan permintaan dana sebesar itu. Hah, Indi benar-benar pusing dibuatnya.

Matanya menatap jam dinding dengan malas. Tinggal sepuluh menit lagi dan dia masih belum selesai. Apa coba yang mau dibahas jika bahannya saja belum selesai. Akhirnya Indi mendesah pasrah pada waktu. Kalau tidak selesai ya sudahlah, mungkin dia akan lembur atau membawa laporan-laporan sialan ini menginap di apartemennya.

Tangannya memain-mainkan kotak teh yang sedari tadi ingin diseduhnya namun tambahan sialnya hari ini, OB lupa mengganti galon dispensernya yang sudah habis. Alhasil Indi harus merelakan tenaganya untuk berjalan ke pantry.

Dengan sedikit menyeret kaki akhirnya Indi berhasil sampai ditempat tujuan. Matanya menangkap gerakan gelisah Mang Entis yang mondar-mandir membuka tutup lemari pantry. Terdengar gumaman panik tercetus dari mulut OB tua itu. Penasaran Indi mendekat.

"Kenapa, Mang?" tanyanya sembari mengambil cangkir teh untuk dirinya sendiri.

"I..ini Bu Indi, si Jumanto kan tidak masuk dari kemaren, jadi saya agak keteteran. Sampe-sampe saya lupa beli teh nya Pak Reza. Dan sekarang si bapak minta dibuatkan..." jelas Mang Entis mencoba kembali peruntungannya dengan mencari disudut-sudut lemari.

Lama-lama Indi kasihan juga melihat wajah Mang Entis yang sudah memucat.

"Seingat saya nih, tehnya Pak Reza teh biasa kan, yang ada di Indomerit atau Alphamaret. Kenapa ga beli aja?" ucap Indi datar tanpa melepaskan fokusnya menyeduh teh dicangkir.

"Nah...i...itu dia, Bu. Semua uang untuk keperluan Pak Reza dipegang Bu Sisca." jelas Mang Entis takut-takut

Tanpa Indi sadari jika dia sudah mencengkeram sendok teh dengan sangat kuat, sampai-sampai buku jarinya memutih.

'Udah kayak bini nya aja tuh kuntilanak!' maki Indi dalam hati

Akhirnya Indi berdamai juga dengan keadaan. Tidak ada salahnya kan bersedekah teh buat 'yayang' Rezanya.

"Pakai teh saya aja, Mang. Tapi satu aja yah. Mahal!" dan Indi meletakkan sekantung teh baru dicangkir kosong.

Dan Indi kembali keruangannya sambil meminum tehnya pelan-pelan. Memikirkan akan menghabiskan waktu berdua dengan Reza benar-benar menambah stamina Indi kembali. Tersungging senyum manis dibibirnya.

 

'APA INI!!!!!'

Reza menarik-narik kerah kemejanya berusaha mengendalikan rasa panas yang membakar tubuhnya. Tidak kuat akhirnya dia melepaskan dasinya dengan asal dan membuka beberapa kancing kemejanya.

Namun bagai kutil yang susah hilang. Rasa panas itu tetap menempel erat diseluruh tubuhnya, membakar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tangannya merambat kebawah kearah 'juniornya' yang sudah sangat mengeras.

"Sial! Udah keras gini!"

Keringat sudah bercucuran diseluruh bagian tubuhnya yang terlapis kulit. Tangannya mencengkeram meja dengan kuat menahan gejolak panas yang minta dilepaskan.

Terdengar ketukan pintu dan Reza mengumpati siapapun yang berusaha masuk tanpa persetujuannya.

Belum dia bersuara untuk melarang seseorang itu masuk, matanya disuguhkan sesosok bidadari yang menjadikannya penguntit selama ini. Yah, siapa lagi kalau bukan Indira Khairina.

"Permisi Pak...Astaga Bapak kenapa?" sahut Indi panik saat menatap CEO nya yang sudah sangat berantakan dengan mata yang memerah.

"Kemari kau, Indi!" dan seringai tercipta diwajah tampannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...