Reza Artha Maheswara
Oh sayang,
betapa kejamnya kau padaku~
Indi sekali lagi
harus menahan mati-matian emosinya agar tidak menendang pintu bilik toilet di
depannya. Bagai sebuah kutukan dia harus mendengar lagi kekaguman dan
ketakjuban seorang perempuan hina akan calon bapak dari anak-anaknya. Yah, Reza
sudah dinobatkan Indi sebagai calon suaminya dunia akhirat, bagai lirik lagu
dangdut.
Dengan keras
Indi membuka pintu tempat persembunyiannya dan kembali mengagetkan dua orang
wanita yang sepertinya baru berinteraksi dengan 'junior' bosnya itu. Namun sial
sungguh sial yang ada dihadapannya kali ini adalah sekretaris jalang berwajah
ular dari CEO nya.
"Oh Indi
rupanya, kirain siapa. Biasa aja kali buka pintunya" ujar Sisca culas
sambil menambal kembali wajahnya dengan bedak yang sudah beterbangan seperti
debu di seluruh toilet. Indi bahkan sampai terbatuk-batuk.
Wanita yang satu
lagi langsung pamit pergi demi mencapai ketenangan jiwa. Bagaimanapun
jabatannya tidaklah setara dengan dua wanita di depannya.
Indi menolak
membalas tatapan meremehkan Sisca yang dia lemparkan dari pantulan cermin. Indi
mencuci tangannya dan tetap mengabaikan Sisca.
"Oh iya,
Di..."
'Enak aja da di
da di...emang nama gue lidi!' batin Indi kesal
"...kalo ga
salah nanti jam empat-an lu mau rapat sama Reza kan?"
'Sialan nih
ular, udah sok banget ga pakai embel-embel atasan!' maki Indi dalam hati sambil
mengeringkan tangannya dengan tisu dan menjawab pertanyaan Sisca dengan
mengangkat alis sekilas.
Mengabaikan aura
ketidaksukaan yang terpancar dari tubuh Indi, Sisca tetap meneruskan
perkataanya.
"...kalo
bisa lu percepat yah karena gue mau ngajak Reza dinner dan lu tau lah abis itu
kita mau ngapain, jadi jangan buang-buang tenaga Reza yah, dengan mikirin
laporan keuangan lu yang ga jelas itu!"
Lama-lama Indi
jengah juga dengan kuntilanak yang satu ini.
"Laporan
keuangan yang lu bilang ga jelas itulah yang ngasih lu duit buat makan, bahasa
halusnya gaji kalo-kalo lu ga ngerti." balas Indi tak kalah sinis.
"Idih jutek
amat sih, biasa aja dong ngomongnya!"
"Idih siapa
juga yang mulai, biasa aja dong ngomongnya!" balas Indi sebelum Sisca
keluar dari toilet dan alhasil di bantinglah pintu toilet yang malang itu.
Dengan kesal
Indi kembali ke ruangannya dan langsung melempar apapun benda yang ada
didekatnya dengan emosi maksimal, matanya langsung menyipit saat menyadari
benda yang dilemparnya adalah sekotak teh yang sengaja dibawanya dari rumah.
Yah, teh yang katanya enak pemberian dari kakak iparnya tersayang.
Matanya
bergantian menatap kearah kotak teh dan berkas di mejanya. Dengan helaan berat
dia merelakan waktu minum tehnya dan kembali berkutat dengan laporan
keuangannya.
"Masih jadi
penguntit nih?" tanya Arya kepada kakak satu-satunya itu.
Mata Reza masih
tidak lepas dari siluet seorang wanita yang sedang marah-marah diruangannya.
Tanpa Indi sadari jika selama ini sosok dirinya di dalam ruangan bisa terlihat
jelas dari ruangan CEO nya.
Indi hanya tahu
jika sisi dinding itu terpasang sebuah cermin besar. Dari dalam ruangan Reza
sendiri terpasang sebuah vertikal blinds otomatis yang akan menutup rapat saat
Reza menekan tombol pada remotenya.
Tersungging
senyum geli dibibir tipis Reza
"Sepertinya
dia sedang kesal, Ar."
Arya hanya
mendengus kesal karena menyadari keusilan kakaknya ini. Laporan keuangan harus
bolak balik direvisi. Padahal hitungan Indi sudah benar dan sebagai wakil CEO,
Arya juga sudah mengeceknya beberapa kali. Tetapi si sialan kakaknya ini terus
memasukkan bon-bon transaksi palsu. Arya sungguh tidak habis pikir sebegitu
gilanya kah kakaknya ini sampai rela merugi karena mengeluarkan uang fiktif
hanya untuk menggoda kepala bagian keuangannya.
Terdengar
kekehan dari samping Arya beberapa kali. Benar-benar sudah gila ternyata Reza
Artha Maheswara yang terhormat ini.
"Kau
menyukainya...jangan membantah lagi kak!" potong Arya melihat Reza membuka
mulut ingin membantah.
"Aku tidak
menyukainya adikku sayang, hanya penasaran saja. Hanya dia lah satu-satunya
wanita yang tidak mempan dengan pesonaku" ujar Reza sombong
Sekali lagi
untuk hari ini Arya mendengus,
"Dan kau
tidak merayunya terus menerus kan seperti wanita-wanita lain yang menjadi
sasaranmu selama ini. Kau selalu mengalah kak, kau tidak memaksanya dan itu
tandanya kau suka pada Indira Khairina, Kepala Bagian Keuanganmu, titik!"
Reza sudah tidak
bisa mengelabui adiknya yang sangat peka ini. Memang benar dia menyukai
tepatnya mencintai Indira. Wanita itu tidak hanya cantik dan menawan namun
kecerdasannya pun sangat membanggakan. Betapa membuncah akan rasa bangga saat
semua kliennya memenuhi Indira dengan pujian atas ide-ide cemerlang wanita itu.
Seakan-akan Indira sudah menjadi miliknya.
Tidak jarang dia
harus menahan kekesalan dan bahkan berbohong jika Indi sudah menikah pada semua
patner bisnisnya agar tidak ada yang bisa menyentuh permatanya. Hanya dia yang
boleh menggosok permata itu sampai mencapai keindahan sempurna. Mengingat kata
'gosok' menciptakan seringai mesum dibibirnya.
Matanya
menangkap jam digital dimejanya yang sudah hampir mendekati angka 16:00.
"Arya, kau
tidak pulang? Ini sudah jam empat!"
"Sejak
kapan kantor tutup jam empat!" balas Arya ketus.
Bukannya
menjawab, Reza malah mendorong adiknya keluar dari ruangan. Begitu pintu
ruangannya tertutup dan meninggalkan Arya yang terus mengumpat diluar, Reza
meraih gagang telepon dimejanya.
"Sisca, kau
pulang saja sekarang dan suruh Mang Entis buatkan aku minuman seperti
biasa!" dan Reza menutup telepon itu tanpa memperdulikan jeritan histeris
tidak terima dari salah satu gundiknya.
Indi memijit
pelan pangkal hidungnya. Pikirannya masih bingung dengan angka-angka tidak
jelas yang diberikan oleh CEO nya. Bagaimana dia sampai tidak tahu jika
kantornya mengadakan tender pengadaan sikat wc sampai mencapai nominal Rp 200
juta. Rp 200 juta pemirsa untuk membeli sikat wc. Apa CEO ini tidak curiga
dengan permintaan dana sebesar itu. Hah, Indi benar-benar pusing dibuatnya.
Matanya menatap
jam dinding dengan malas. Tinggal sepuluh menit lagi dan dia masih belum
selesai. Apa coba yang mau dibahas jika bahannya saja belum selesai. Akhirnya
Indi mendesah pasrah pada waktu. Kalau tidak selesai ya sudahlah, mungkin dia
akan lembur atau membawa laporan-laporan sialan ini menginap di apartemennya.
Tangannya
memain-mainkan kotak teh yang sedari tadi ingin diseduhnya namun tambahan
sialnya hari ini, OB lupa mengganti galon dispensernya yang sudah habis.
Alhasil Indi harus merelakan tenaganya untuk berjalan ke pantry.
Dengan sedikit
menyeret kaki akhirnya Indi berhasil sampai ditempat tujuan. Matanya menangkap
gerakan gelisah Mang Entis yang mondar-mandir membuka tutup lemari pantry.
Terdengar gumaman panik tercetus dari mulut OB tua itu. Penasaran Indi
mendekat.
"Kenapa,
Mang?" tanyanya sembari mengambil cangkir teh untuk dirinya sendiri.
"I..ini Bu
Indi, si Jumanto kan tidak masuk dari kemaren, jadi saya agak keteteran.
Sampe-sampe saya lupa beli teh nya Pak Reza. Dan sekarang si bapak minta
dibuatkan..." jelas Mang Entis mencoba kembali peruntungannya dengan
mencari disudut-sudut lemari.
Lama-lama Indi
kasihan juga melihat wajah Mang Entis yang sudah memucat.
"Seingat
saya nih, tehnya Pak Reza teh biasa kan, yang ada di Indomerit atau Alphamaret.
Kenapa ga beli aja?" ucap Indi datar tanpa melepaskan fokusnya menyeduh
teh dicangkir.
"Nah...i...itu
dia, Bu. Semua uang untuk keperluan Pak Reza dipegang Bu Sisca." jelas
Mang Entis takut-takut
Tanpa Indi
sadari jika dia sudah mencengkeram sendok teh dengan sangat kuat, sampai-sampai
buku jarinya memutih.
'Udah kayak bini
nya aja tuh kuntilanak!' maki Indi dalam hati
Akhirnya Indi
berdamai juga dengan keadaan. Tidak ada salahnya kan bersedekah teh buat
'yayang' Rezanya.
"Pakai teh
saya aja, Mang. Tapi satu aja yah. Mahal!" dan Indi meletakkan sekantung
teh baru dicangkir kosong.
Dan Indi kembali
keruangannya sambil meminum tehnya pelan-pelan. Memikirkan akan menghabiskan
waktu berdua dengan Reza benar-benar menambah stamina Indi kembali. Tersungging
senyum manis dibibirnya.
'APA INI!!!!!'
Reza
menarik-narik kerah kemejanya berusaha mengendalikan rasa panas yang membakar
tubuhnya. Tidak kuat akhirnya dia melepaskan dasinya dengan asal dan membuka
beberapa kancing kemejanya.
Namun bagai kutil
yang susah hilang. Rasa panas itu tetap menempel erat diseluruh tubuhnya,
membakar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tangannya merambat kebawah kearah
'juniornya' yang sudah sangat mengeras.
"Sial! Udah
keras gini!"
Keringat sudah
bercucuran diseluruh bagian tubuhnya yang terlapis kulit. Tangannya
mencengkeram meja dengan kuat menahan gejolak panas yang minta dilepaskan.
Terdengar
ketukan pintu dan Reza mengumpati siapapun yang berusaha masuk tanpa
persetujuannya.
Belum dia
bersuara untuk melarang seseorang itu masuk, matanya disuguhkan sesosok
bidadari yang menjadikannya penguntit selama ini. Yah, siapa lagi kalau bukan
Indira Khairina.
"Permisi
Pak...Astaga Bapak kenapa?" sahut Indi panik saat menatap CEO nya yang
sudah sangat berantakan dengan mata yang memerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar