07.15.
Hari Senin.
Hari yang paling
ditunggu-tunggu oleh sang CEO dengan tekad yang kuat. Namun tekad hanya
tinggalah tekad semata. Reza mencengkeram bungkusan plastik yang berisikan dua
kotak bubur ayam terenak versinya dengan sangat kuat. Buku-buku jarinya bahkan
sudah memutih. Sudut matanya menangkap pergerakan Mang Entis yang berjalan
kearahnya. Mata merahnya masih terpaku kearah depan saat mulutnya memanggil si
OB.
"Mang!"
Tanpa banyak
bertanya Mang Entis berjalan dengan cepat mendekati bos besar-nya.
Reza langsung
memberikan bungkusan ditangannya kepada si OB. "Terserah mau dimakan atau
dibuang!" ujar Reza dingin. Dan berjalan meninggalkan Mang Entis yang
tersenyum lebar mendapat sarapan gratis. Dua bungkus lagi.
Mata Reza masih
tetap terpaku pada dua sosok yang sedang bercanda diselingi tawa. Langkah
kakinya serasa terbakar saat memasuki jarak dimana dia bisa mendengar
pembicaraan penuh tawa itu. Apa-apaan gadis itu, bisa-bisanya sekarang dia
mengumbar tawa seenak jidat cantiknya. Biasanya juga dia selalu pasang wajah suram
pada semua orang. Atau jangan-jangan,
"Gue minta
maaf sekali lagi deh yah...gara-gara server ga beres, lu jadi lembur. Padahal
sumpah gue sama sekali ga tau masalahnya dimana. Perasaan udah diberesin semua
sama anak-anak IT. Paling yang masih gantung perasaan gue ke lu, Ndi. Hahaha!
Dan detik ini
juga Reza akan memasukkan nama Kepala Bagian IT nya kedalam list pegawai yang
akan dipecat. Dan apa-apaan itu Indi pakai ketawa juga. Mau tebar pesona nih
ceritanya, batin Reza mulai curiga.
"Ga
apa-apa, Ji..." balas Indi mengabaikan perkataan terakhir Panji.
"...Lagian gue seneng-seneng aja kok lembur..." lanjut Indi penuh
kejujuran mengingat interaksinya dengan Reza setiap kali dia pulang kemalaman.
Namun tawa dan rasa senang Indi hari ini benar-benar dinilai lain oleh Reza.
Dengan langkah
pasti, Reza mulai mendekati dua orang yang sudah membuat kupingnya serasa mau
terbakar. Yah, tepatnya terbakar api cemburu.
"Ehm!
Sepertinya saya tidak menggaji orang-orang yang hanya menghabiskan waktunya
dengan mengobrol. Panji bukankah jaringan komputer sedang bermasalah?"
tegur Reza tegas dan untungnya Panji menerima sinyal 'Pergi.Kau.Dari. Sini,
yang dikirimkan oleh bos besarnya.
"Ah iya,
Pak. Saya permisi dulu dan Indi sekali lagi maaf yah." dan Panji berlalu
dengan langkah super cepat.
Indi menatap
kearah Reza penuh rasa curiga. "Bagaimana bapak bisa tau ada masalah
diruang server?"
Reza yang
terlanjur kesal dengan tingkah Indi hanya mendengus dan berlalu.
Indi yang
teringat sesuatu langsung berlari kearah ruangannya dengan senyum yang masih
merekah. Beda halnya dengan Reza langkahnya malah terhenti. "Apa itu
laporan keuntungan bulan lalu?"
Mirna yang
merasa diajak berbicara langsung mendongak dan tanpa bisa ditahan, pipinya
merona. "I..iya, Pak. Ini laporan keuntungan yang sudah diselesaikan Ibu
Indi. Sekarang tinggal direkap saja."
Reza menatap
angka-angka yang berjejer rapi dilayar monitor. Seringainya pun perlahan
tercipta.
"Sudah
tutup file-nya dan berikan padaku." perintah Reza mutlak.
Namun Mirna
masih mencoba peruntungannya. "Tapi Pak datanya masih belum rapi..."
"Seingatku
kau mengajukan pindah ke cabang yang di Sumatera, bukan?" Reza meraih
post-it yang tergeletak diatas meja dan menuliskan sesuatu disana, melipatnya
dan menyerahkan kepada Mirna. Dengan ragu gadis itu menerimanya.
"Berikan
catatanku tadi kepada Pak Arya, dan segera rapikan barang-barangmu. Besok kau
sudah mulai bertugas disana." tanpa bisa dicegah senyum lebar merekah
dibibir Mirna.
Baru saja dia
ingin mengucapka terima kasih, lagi-lagi Reza memotong.
"Tapi aku
memindahkanmu kesana bulan tanpa imbalan..." kata-kata Reza yang
menggantung seketika membuat Mirna terdiam.
"Aku ingin
kau menutup mulutmu serapat-rapatnya. Jangan pernah katakan jika datanya ada
padaku, mengerti?" dengan tidak rela Mirna mengangguk, bagaimanapun dia
ingin kembali kekampung halamannya. Dengan cepat Mirna menyerahkan flash disk
berisikan data yang hampir subuh baru selesai dikerjakan Indi. Reza menerimanya
dengan seringai yang semakin melebar. Entah rencana apa yang sekarang tersusun
diotak Reza.
Begitu benda
mungil itu berada digenggamannya, Reza langsung berlalu kembali keruangannya.
Diruangannya,
Indi kembali memoles bibirnya dengan lip gloss. Beberapa kali dia tersenyum
didepan cermin dan tertawa kecil saat menyadari tingkah konyolnya. Indi berdiri
dan sedikit merapikan bajunya, tepatnya menurunkan sedikit leher blouse-nya
Matanya menerawang seperti berfikir dan mengangguk kecil. Senyum usil merekah
dibibir manisnya saat tangannya melipat lingkaran pinggang rok mininya dan
membuatnya semakin mini. Jadi jalang sekali-kali sepertinya tidak buruk. Lagian
Indi kan mau menggoda sang calon penyemai benih di rahimnya, pikir Indi yang
telah kembali bersatu dengan iblis kecilnya setelah beberapa hari berpisah.
Setelah merasa
menjadi jalang sempurna, Indi meraih dua kotak bekal dan membawanya keruangan
Reza.
Dengan iringan
lantunan lagu yang mengalun dari celah bibirnya Indi berjalan santai kearah
ruangan Sang CEO tercinta dan menemukan Mirna yang terburu-buru membereskan
barangnya. Penasaran Indi mendekat dan bertanya. "Mir, lagi ngapain?"
Mirna yang
tersentak kaget langsung tergugup didepan Indi. Dan kegugupan itu tidak lepas
dari pengamatan Indi.
"itu...permohonan
pindah saya ke Medan dikabulkan, Bu." jawab Mirna takut-takut.
Seketika rasa
curiga Indi lenyap digantikan raut bahagia. "Benarkah! Syukur deh kalo
gitu. Jadi kamu bisa segera menemani ibumu disana. Oh, aku pasti akan
merindukanmu dan lontong mie buatan ibumu yang super enak itu." ekspresi
wajah Indi yang berubah-ubah dari senang tiba-tiba murung tak pelak menerbitkan
senyum diwajah Mirna. Gadis itu menghela napas berat dan meraih tangan Indi
yang bebas dari dua kotak bekal. Entah kenapa perasaannya tidak enak melihat
tingkah CEO nya tadi.
"Ibu,
baik-baik yah disini. Kalau ada masalah itu adalah cobaan karena Tuhan sayang
sama kita." dan kata mutiara yang lagi trend saat ini pun keluar dari
mulut Mirna. " Semua akan indah pada waktunya."
Indi menyerngit
dan mengangguk bingung. Kenapa calon mantan bawahannya ini jadi motivator
dadakan. "Tenang saja. Jika maksudmu tentang pekerjaan aku adalah orang
yang selalu berhati-hati. Jangan khawatir dan salam buat ibumu, yah!" Indi
memeluk tubuh Mirna dan berterima kasih atas bantuan gadis itu selama ini.
Indi menghela
napas pelan dan tanpa sadar menggigit bibirnya. Kenapa dia jadi gugup begini.
Indi tersenyum miris menatap roknya yang jadi super pendek. Untung saja Sisca
sekretaris sialan itu sedang tidak ada. Bisa kembaran mereka nanti. Indi
mengetuk pintu kayu itu dan semakin berdebar saat Reza menyuruhnya masuk.
"Em...permisi,
Pak."
Suara lembut
Indi langsung menarik perhatian Reza namun dia berusaha mati-matian menahan
keinginan untuk mendongak dan terus mengurusi lembaran berkas-berkas
didepannya.
"Em...itu..."
jawab Indi malu-malu badak.
Dengan gaya sok
malas tapi dalam hati nafsu luar biasa akhirnya Reza menoleh kearah pintu dan
pria mesum itu langsung menelan ludah saat dihidangkan sepasang paha mulus yang
menggugah kejantanannya.
Masa bodoh
dengan acara ngambeknya.
"Ehm..."
Reza membersihkan kerongkongannya yang tiba-tiba serak.
"Ada apa
Indi?" tanyanya sok tegas namun gagal total. Dan semakin gagal saat paha
itu bergesek-gesekan mendekat kearahnya, tentu saja karena Indi yang sedang
berjalan.
"Em, tadi
pagi saya bikin nasi goreng dan kalau Bapak berkenan sa..."
"Aku
mau!" potong Reza tidak tau malu. Dan pria itu langsung bersyukur
memberikan bubur ayamnya tadi pada Mang Entis.
"Tapi kau
temani aku makan disini yah." dan iblis di kepala Indi meloncat-loncat
kesenangan. Tentu saja dia akan makan disini lagian dia juga sudah membawa
bagiannya.
"Duduk
disana saja." Reza beranjak dan berjalan mendahului Indi ke sofa. Indi
mengambil tempat didepannya. Dan mata Reza semakin membola. Mungkin liurnya pun
sudah menetes.
Indi yang
semakin jahil menyilangkan kakinya yang otomatis semakin menarik kain roknya
keatas.
Jangan ditanya
lagi bagaimana Reza. Pria itu bahkan sudah keringat dingin menahan gejolak
nafsunya.
Mulus....✅
Putih....✅
Manggil-manggil
minta dibelai....sangat ✅ sekali
Untuk kesekian
kalinya hari ini Reza menelan ludahnya. Tangannya bahkan sudah gatal ingin
grepe-grepe Indi. Namun logikanya langsung mengirimkan tembok besar penahan.
Sabar,
Reza...Sabar.
Dan ketika
sendok itu jatuh dengan Indi yang berusaha mengambilnya. Bagai gerakan lambat
dimata Reza saat silangan paha itu mulai melepas dan kembali keposisi
awal...saat Indi menunduk dan celengan empuk itu terlihat mengintip memanggil
remasannya, saat itu juga robohlah dinding beton yang sudah dibangunnya sejak
tadi.
PERSETAN DENGAN
KESABARAAAN!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar