Jumat, 17 Oktober 2025

23_Love



“Oh, begitu ya. Padahal mereka berdua terutama Hana sudah sangat membantu di Panti Asuhan. Anak-anak disana juga sudah lengket banget dengan mereka. Saya juga senang karena Panti jadi lebih berwarna sejak kedatangan mereka berdua…” Bu Vanessa menghela nafas pelan mendengar kabar dari Nenek Dana jika Hana dan Bibi Yi pamit undur diri dari Panti. Selesai biacara, Bu Vanessa menutup telepon bersamaan dengan kedatangan suaminya.

“Kenapa, Ma? Kok murung?”

Bu Vanessa menoleh kearah suaminya, sudut bibirnya turun kebawah menandakan jika perasaan wanita itu sedang tidak baik. “Hana pamit dari Panti, Pa. Padahal aku suka sama anak itu. Anaknya lembut banget, ngademin kalau ketemu sama dia, kayak sejuk-sejuk gimana gitu!”

Pak Chandra tertawa pelan melihat mulut istrinya yang semakin manyun. Beginilah lucunya sang istri, jika diluar rumah orang akan melihat mereka sebagai sosok yang kaku dan teratur namun untuk orang yang sudah mengenal dekat yang terlihat adalah keramahan bahkan sedikit konyol. “Memang mereka pindah kemana, Ma?”.

“Kata Nenek Dana sih balik ke Jakarta, karena Hana harus mengurus surat-surat apa gitu, Mama juga ga nanya detil.”

“Berarti kamu harus nambah karyawan lagi dong, Ma, disana. Kasihan Nenek Dana kalau sendiri.” Pak Chandra ingat jika Nenek Dana mengatakan tidak perlu menambah orang lagi di Panti karena Hana dan Bibi Yi sudah cukup. Sebenarnya alasan Nenek Dana dulu agar rahasia Hana tetap terjaga. Takutnya keadaan Hana yang dulu hamil tanpa suami sampai ke telinga Bu Vanessa dan membuat wanita itu tidak senang.

“Udah, aku udah kirim tiga orang tadi buat bantuin Nenek Dana disana.” tiba-tiba keningnya menyerngit saat satu pemikiran melintas. Matanya terbelalak dan menepuk paha suaminya.

“Pa, apa jangan-jangan Valdie bikin ulah sama Hana pas disana? Makanya Hana tiba-tiba minta keluar? Hana kan gadis baik-baik, jangan-jangan…”

Suaminya pun jadi kaget dan melihat istrinya dengan ekspresi yang sama, “Bisa jadi, Ma! Dasar pembuat onar. Awas saja kalau dia pulang!”

Dan sepertinya do’a kedua orang tuanya terkabul agar anaknya panjang umur, Valdie pun pulang tanpa tahu apa yang akan menunggunya di dalam rumah.

Begitu sampai rumah, kebiasaan pria itu adalah langsung pergi ke arah dapur untuk minum air dingin. Melihat majikannya datang, para pembantu langsung menundukkan kepala memberi salam dan dengan cepat pamit dari sana. Valdie hanya membalas dengan anggukan samar.

Tangannya meraih satu botol kaca berisi air dingin yang memang khusus disediakan untuknya. Hanya dia yang minum air dingin dirumah ini. Ayah dan ibunya langsung pusing jika minum air dingin, mungkin pengaruh umur. Sedangkan adik laki-lakinya masih kuliah diluar negeri. Oh iya bicara tentang adik kakunya itu, sudah lama dia tidak menghubungi Valdie. Biasanya selalu minta uang jajan tambahan kalau jatah dari ayahnya tidak cukup.

“Hah! Segarnya…”

“Valdie!”

Valdie hampir saja memecahkan botol kaca itu karena kaget. Suara ibunya benar-benar menggelegar seperti petir membelah langit, padahal wanita itu masih berada di anak tangga teratas rumahnya. Ayahnya saja sampai mengelus dada beberapa kali.

“Hadiiiir!” Valdie langsung menjawab dan berjalan cepat menuju dimana ibunya berada.

“Udah dibawah saja, Ibu mau bicara sama kamu! Dasar anak nakal!”

Valdie meringis, dalam hati bertanya apa lagi salahnya kali ini. Perasaan dari tadi pagi baik-baik saja.

Begitu sampai dibawah Bu Vanessa langsung berjalan ke arah ruang keluarga dan mengabaikan keberadaan putranya. Valdie dan ayahnya hanya mengekori sang ratu rumah dari belakang. Ayahnya menyikut tangan Valdie, “Kamu sih, bikin masalah terus!”

“Pa, aku aja baru pulang, lho. bikin masalah gimana?!” Valdie balas berbisik seperti yang dilakukan ayahnya barusan.

“Duduk.”

Valdie mencibir pelan melihat sang ayah langsung duduk disebelah ibunya, mencari aman dengan menjadi sekutu.

“Kemarin waktu Mama suruh kamu ke Pandeglang, kamu ada bikin masalah apa?” cecar Bu Vanessa tanpa pembukaan.

‘Mampus!’

“M..masalah apa, Ma. Aku baik aja kok disana, kan Mama udah ngobrol sama Nenek Dana.” Semoga Ibunya tidak tahu jika dia sempat menunda kedatangan dan membuat salah satu anak sampai jatuh sakit.

“Memang kenapa, Ma?” tanya Valdie penasaran.

Ibunya hanya memandang curiga ke Valdie tanpa mengatakan apa pun. Memindai dari kepala sampai kaki, dan mengamati ekspresinya. Mencari tanda-tanda kebohongan atau menyimpan sesuatu dikepala anak nakalnya ini.

Karena ibunya masih membisu, Valdie berdecak sebal, “Ma, aku itu dua hari ini sibuk ngurusin perusahaan lho. Bukannya dapat pujian malah disidang gini, memangnya ada masalah besar apa sih, Pa?”

Dan Valdie hanya bisa menganga saat Ayahnya hanya menaikkan bahu dan melempar arah pandangan ke ibunya. Jelas ayahnya tidak mau ikut campur. Bisa tidur diluar dia kalau berani sok-sok an jadi pahlawan kesiangan.

Sekali lagi ibunya mengamati wajah Valdie sebelum berkata, “Kamu ga ganggu Hana, kan? Pas disana?”

“Hah! Siapa?”

“Hana!”

Ayahnya malah nyengir, tahu anaknya hanya menunda jawaban dengan pura-pura tuli.

Valdie berdehem dan menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal sama sekali. “Oh, Hana…enggak kok. Kita…baik-baik aja. Ga banyak ngobrol juga…”, Valdie mencari jawaban teraman menurut versinya.

“Bohong kamu, kan!”

“Enggak kok bener, abis aku ambil kue kacang dia langsung balik kok. Ga ketemu lagi. Sumpah!” Valdie melewatkan bagian dia kembali lagi ke Panti esok harinya dan menerima lemparan strike dari Hana. “Memang Hana kenapa, Ma?”

Bu Vanessa menghela nafas pelan, “Hana udah keluar dari Panti, Mama kirain itu gara-gara kamu, sekara…”

Dan kelanjutan apa yang ibunya katakan sudah mengambang diudara. Valdie hanya mendengar samar-samar karena terpaku dengan kata ‘Pergi’.

‘Hana…pergi?’



Valdie masuk kedalam kamarnya. Pembicaraan tentang Hana sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Dia baru saja kembali dari ruang kerja ayahnya membahas tentang keadaan kantor yang sedang melakukan ‘pembersihan’.

Perlahan kaki pria itu melangkah menuju cermin satu badan yang ada dikamarnya. Dengan pelan dia membuka kancing kemejanya satu persatu hingga tubuh yang terpahat sempurna itu terpampang jelas. Tubuh yang selama ini membuat air liur para wanitanya menetes. Tidak sabar ingin menikmati. Kemeja itu meluncur turun dengan mulus dari bahunya. Valdie menatap dirinya yang terlihat begitu sempurna dari pantulan cermin. Bukan menderita NPD, dia hanya menyajikan fakta. Tangan kirinya terangkat keatas dan membelai sebuah bekas luka lama memanjang dibagian dada atasnya.

Valdie mengusap bekas luka itu sambil memejamkan matanya menikmati.

“Bagaimana aku bisa melupakanmu, Hana. Kenangan yang kau tinggalkan dulu masih terlukis di tubuhku…”

Yah, bekas luka itu adalah cakaran dari Hana. Usaha wanita itu untuk membela diri saat Valdie menyetubuhinya dengan kasar. Yang akhirnya membuat pria itu kesal dan mengikat tangan Hana dengan kencang. Namun sejak kejadian itu perlahan Valdie malah menyukai ‘kenangan’ yang ditinggalkan Hana ditubuhnya. Merasakan jika ada yang terhubung diantara mereka walau hanya sebuah luka kecil. Valdie menjilat bibirnya sendiri, “Kali ini aku akan mencarimu, kucing kecil yang nakal. Kau tidak akan bisa lepas dariku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...