“Bundaaa….ayooo…adek capek…” Yuri menarik-narik ujung baju Hana. Anak sekecil itu sudah pasti sangat lelah karena harus melewati perjalanan berjam-jam dari Pandeglang ke Jakarta. Akhirnya suara Yuri yang merengek mengembalikan pikiran Hana yang sempat tidak fokus. Merasa bersalah Hana mengusap kepala Yuri dan menghapus keringat yang membasahi kening bocah kecil itu. “Iya, kita istirahat ya, jalan kedepan lagi masih kuat, kan? Atau mau bunda gendong?”
“Adek bisa jalan sendili. Adek hauuuss…”
“Ya, udah yuk!”
Bibi Yi memandang sendu pada Hana. Matanya melemparkan pertanyaan yang tidak terucap. Seperti sadar jika diperhatikan, Hana menoleh kearah Bibi Yi dan menggelengkan kepalanya.
Akhirnya mereka berjalan kembali ke depan gang. Tepatnya kearah warung bakso yang tadi mereka lewati.
Sesampainya disana, Hana langsung memesan 3 mangkuk bakso dan 3 teh hangat. Yuri memang beda dari anak lain. Disaat anak-anak lain menyukai minuman dingin seperti es teh, Yuri malah menyukai minuman hangat seperti teh manis hangat atau hanya air putih hangat yang cenderung panas. Lebih enak katanya.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Bibi Yi mencoba menanyakan yang sedari tadi mengganggu pikirannya. Tentang perasaan Hana saat ini. Walau dia tidak mengabaikan Yuri namun Bibi Yi sadar wanita itu terlalu banyak terdiam sore ini.
“Hana, apa kita pesan hotel murah disekitar sini dulu aja?
Hana menghela nafasnya pelan dan menggeser duduknya mendekati Bibi Yi. Sedangkan Yuri masih sibuk memainkan puzzle-nya.
“Ternyata aku masih butuh waktu, Bi. Apa ga masalah kita sempit-sempitan hari ini di hotel?” Hana merasa tidak enak pada Bibi Yi, takut membuat wanita paruh baya itu tidak nyaman.
“Kita coba pelan-pelan ya. Gimana mau masuk kerumah nenekmu kalau masih diseberang jalan aja kamu udah keringat dingin gini?
Hana terkekeh. Yah, sebenarnya dia merasa aman-aman saja tadi namun kakinya seperti dipaku ketanah dan keningnya langsung berkeringat. Mungkin walaupun jiwanya sudah lebih baik tapi tubuhnya masih merasakan trauma itu. Hana berharap ini hanya karena kali pertama mereka tiba. Semoga besok Hana bisa lebih baik. Dia akan terus mencoba.
Seraya menepuk pelan punggung Hana, “Kita nginap dulu aja di hotel situ…” Bibi Yi menunjuk ke arah hotel dengan tulisan berwarna biru tidak jauh dari mereka. “Tiga hari. Jadi kamu bisa pelan-pelan balik ke rumah nenekmu, hitung-hitung terapi mandiri, oke?”
Hana mengangguk pelan, dan pas sekali seakan abang bakso memang menunggu mereka selesai diskusi, tiga mangkung bakso pun datang.
“Silahkan baksonya, selamat menikmati.” sapa abang bakso ramah sambil meletakkan mangkuk-mangkuk itu dimeja.
“Makasih ya, bang!” balas Hana.
Yuri terlihat sangat lapar sampai-sampai dia menggeser puzzle kesayangannya dengan asal demi semangkuk bakso yang lezat. Abang bakso yang baik kembali mengisi gelas Yuri yang sudah kosong dengan air hangat yang sama tanpa diminta.
Mereka menikmati bakso tersebut dengan tenang karena semuanya memang sudah lapar dan lelah. Sepertinya hari ini mereka akan tidur lebih cepat.
Sambil makan sesekali mata Hana menjelajahi pemandangan disekelilingnya. Memori saat dirinya yang berangkat kuliah, memakai ransel hitamnya dengan jaket hodie kesayangan melintas diingatannya. Saat-saat yang bahagia. Saat-saat neneknya masih hidup dan dia berkuliah dengan semangat setiap hari. Denyutan sakit itu tiba-tiba terasa. Dadanya terasa sesak sampai tak sadar tersedak kuah bakso. Hana terbatuk-batuk sampai matanya memerah.
“Ya, ampun Hana, makan pelan-pelan!” Bibi Yi memberikan minum yang langsung dihabiskan Hana dengan cepat.
“Keselek sambal…” Hana berdehem beberapa kali membersihkan kerongkongannya dari rasa pedas sambal.
Setelah lumayan lega, atensi Hana beralih kearah Yuri yang masih serius memakan bakso yang telah Hana potong kecil-kecil. Bibirnya membentuk sebuah senyuman tulus dan membelai rambut lembut putrinya. ‘Sekarang Yuri-lah kebahagiaannya dan juga masa depannya. Kali ini dia akan berjuang keras menjaga kebahagiaan itu.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar