“Indi, abang bawain oleh-oleh, nih!”
Indi menyeret
kakinya keluar kamar. Abang gantengnya ini memang bebas keluar masuk
apartemennya karena tahu pin kamarnya.
“abaaaang…” Indi
malas-malas berjalan mendekati Ardi dan menubruk tubuh abangnya itu seperti
pohon ditebang.
“Abang lama
banget sih perginya…aku kan kesepian!”
“Iki kin
kisipiin! Sok imut lo!”
Ternyata ada si
mak lampir Ika, Indi melirik sinis dari balik tubuh tinggi abangnya. “Eh,
kuyang ngikut juga ternyata.”
Ardi terkekeh
melihat interaksi adik dan istrinya yang tidak pernah berubah sejak dulu.
Benar-benar menggemaskan. Jadi pengen cubit pipi adiknya dan bercinta dengan
istrinya. Eh?
“Kamu ngapain
aja selama abang ga ada?” Ardi mengacak rambut Indi yang memang sudah kayak
singa.
Indi mulai
membuat hitungan dengan jari, “Kerja trus tidur, makan, eek, kerja, makan, eek
gitu aja terus…”
“Udah mirip si
Maman, lo!” Ika tertawa.
“Siapa Maman?”
Ardi mulai waspada. Ada nama cowok didekat adik kesayangannya.
Sebelum suaminya
berpikiran macam-macam, Ika langsung mengatakan Maman adalah kucing mujair
bermuka om-om senang yang sering minta makan ke Indi. Dan suaminya itupun
langsung tenang, dasar posesif.
“Abang ga
lama-lama ya, tadi abis dari bandara langsung kesini, Lila lagi tidur dimobil
soalnya. Ini ada coklat sama cemilan. Abang balik ya.” Ardi mencium pucuk
kepala Indi.
“Dah, jelek.
Kakak pulang dulu ya.” Ika tertawa saat Indi pura-pura muntah, namun mereka
tetap berpelukan erat.
Sepeninggalan
pasutri itu, Indi membuka bungkusan besar yang berisi oleh-oleh dari abangnya.
“Wah banyak bangeeett...”
Baguslah sedikit
mengusir ingatannya akan kejadian tadi malam. Ingat hanya sedikit. Dan sialnya
Indi malah mengingatnya lagi.
“Nala?”
“Maaf kak Indi,
maaf!” Nala yang baru sadar langsung menjauh dari Indi.
Gadis itu
terlihat kebingungan dan wajahnya seperti mau menangis. Indi hanya menatapnya
kaget dan akhirnya Reza yang peka pun menengahi.
“Nala, sebaiknya
kamu istirahat aja, biar kakak yang beresin sampah disini. Kalau sisa durian
kakak kasih ke sekuriti atau orang hotel ga apa-apa kan? Masih banyak gini.”
Reza bicara sambil tangannya terus membereskan sampah bekas makan mereka dan
memasukkan durian yang masih utuh kedalam karung goni, pembungkus saat beli
tadi.
“I..iya kak.
Makasih. Kak Indi…maaf ya..” Nala langsung menghindar pergi.
Indi terus menatap
kearah Nala tadi pergi, dan tersentak saat Reza menyentuh pundaknya. “Yuk,
pulang.”
Dan Reza tidak
mengatakan apa-apa setelah itu. Mereka hanya diam sepanjang perjalanan sampai
tiba didepan apartemen Indi. Saat Indi turun pun, Reza hanya diam dan menatap
kedepan namun Indi melihat cengkraman pria itu menguat dikemudi sampai buku
jarinya memutih. Apa yang Reza sembunyikan?
Indi
mengacak-acak rambutnya. Dan kenapa pula hari ini tanggal merah. Padahal Indi
sudah gatal ingin menginterogasi Reza. Jujur saja dia tidak mau lagi
berlama-lama bermasalah dengan sayangnya itu. Semua ini harus cepat
diselesaikan, iya harus cepat. Indi merampas ponselnya dan menelpon ke nomor
yang sudah dia hapal luar kepala, mengirim pesan terlalu lama, dia tidak bisa
sabar lagi. Dan untunglah Indi tidak menunggu lama, pada panggilan ketiga
terdengar suara berat menyebut namanya.
“Ya, Di?”
Indi salah
tingkah, merapikan rambutnya entah untuk apa.
“Hei, kok
suaranya gitu, kamu sakit?”
Terdengar
kekehan pelan diseberang sana, “Enggak, Cuma baru bangun aja kok…”
Indi manggut-manggut, “Ini udah
sore, lho. Kok masih tidur…”, Indi menjeda sebelum melanjutkan, “…udah makan?”
“Belum, ini baru mau mandi trus
makan…hehehe!” tiba-tiba Reza tertawa.
“Kok ketawa?”, Indi ikut tersenyum
lebar.
“Enggak, Cuma seneng aja
diperhatiin gini sama pacar. Kangen, Di.”
“Ya udah, sini main kerumah.” dan
Indi langsung menampar bibirnya sendiri. Lupa jika pacarnya ini cowok yang
sangat mesum. Domba malah ngundang serigala.
“Jangan ah…”
‘Tumben nolak.’ Kening Indi
menyerngit bingung.
“Aku belum sempat beli kondom.”
Jawab Reza sambil tertawa kencang mendengar Indi misuh-misuh.
“Tuh bener kan, kalo mesum mah
pikirannya ga jauh-jauh dari situ! Siapa juga yang ngajakin begituan!” muka
Indi sekarang sudah memerah malu. Indi cuma jago teori doang dan otaknya saja
yang kotor, kalau pengalaman jelas nol besar.
“Becanda, sayaaaang…tapi kalo
bener juga ga ap…”
“Tutup nih!”
“Jangan…jangan
ditutup dulu!” suara tawa usil Reza masih terdengar ditelinga Indi.
Hening.
“Za…”
“Hm.”
“Kamu…ga ada
pengen ngomong apaaa gitu sama aku.”
Agak lama Reza
baru membalas, mungkin pria itu sedang menimbang apa yang akan dia katakan pada
Indi, “Banyak, Di…banyak.”
“Trus, kok ga
cerita?”
“Aku cuma takut
kamu masih kaget, dan mending Nala sendiri aja yang cerita, gimana? kamu masih
mau ketemu dia? Anaknya dari kemaren murung terus kata Arya.”
Indi tidak tega
juga dengan gadis yang kiyowo itu. Kalau dia menolak maka rasa penasarannya
tidak akan hilang, walau pura-pura tidak tahu tetap ada yang mengganjal.
“Nanti malam,
kalian kerumahku aja, bisa?” tawar Indi.
“Emang boleh?
Aku nginap ya…ok..ok jangan ditutup!” hari ini puas sekali Reza mengusili Indi.
“Lagian, becanda
lagi langsung aku tutup nih!” ancam Indi sok imut dengan bibir dimanyun-manyunkan.
Kalau Ika ada sudah dijambak bibir manisnya ini.
“Ok, aku kabarin
Nala ya. Jam 7an gimana?”
“Ok, jam 7 ya,
nanti makan malam disini aja. Aku masakin.”
“Uluh-uluh,
calon istri aku bener-bener idaman banget deh. Jadi makin cinta, pengen
ciuuuumm….”
Indi tertawa
geli mendengar rayuan maut kekasihnya ini. “Ya udah aku tunggu ya, Love u!”
“Aku kesana
sekarang!”
Indi tertawa
lagi, “Ga usah aneh-aneh ya, tinggal balas Love u too aja!”
“Ih pelit banget
sih! Love u too too too too…..muaaaaach!” balas Reza walau masih kesal dilarang
Indi datang sekarang.
Indi mematikan
panggilan setelah membalas ciuman jauh Reza. Gadis itu langsung keluar kamar
berjalan cepat kearah kulkas dan mengecek isinya. Isinya lumayan banyak karena
kemarin dia baru belanja. “Cukuplah buat tiga orang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar