"Masuk."
Perlahan pintu itu langsung terbuka. Pria yang masuk seperti sudah paham tabiat dari bos nya ini. Aryo terus menatap berkas dan layar laptopnya tanpa menoleh kearah pria yang sudah berjalan mendekati mejanya.
"Saya dapat petunjuk, Pak."
Dan kalimat itu langsung menarik atensi Aryo dan lenyap sudah keinginannya untuk memenangkan tender besar yang begitu menggiurkan. Ada hal yang jauh lebih penting dari apapun didunia ini, bagi dirinya.
Tanpa berkata apa-apa Aryo langsung mengambil berkas yang sudah diletakkan bawahannya dimeja.
Dengan cepat jemarinya membolak-balik mencari yang dia inginkan.
Keningnya berkerut saat menemukan sesuatu yang menarik...tanpa sadar pria itu terkekeh.
"Pandeglang...dan aku mencarimu sampai keseberang pulau. Ternyata kau sedekat ini...dan.." Aryo tertawa semakin kencang. Dia senang.
"Maaf, Pak. Hanya itu informasi yang bisa saya dapatkan. Itu data imunisasi massal yang diikuti putrinya dan sayangnya itu data tahun lalu."
Aryo menggeleng. Dia terlalu bahagia untuk merasa kesal karena informasi yang dia dapat belum sepenuhnya pasti. Bisa saja Hana sudah pindah. Tapi ini sudah cukup, dia mampu melacak dimanapun Hana berada jika sudah mendapatkan ekornya. Dan...Hana punya seorang putri...anaknya kah?
Sekali lagi Aryo tertawa.
"Aku pergi, kau lanjutkan data untuk tender besok."
Supir sekaligus asistennya itu mengangguk.
Aryo mengambil jasnya yang tergantung, merampas ponsel dan kunci mobilnya dengan terburu-buru. Senyum lebar tak lepas dari wajah tampannya.
"Aryo."
Langkah Aryo terhenti saat seorang pria paruh baya berdiri diambang pintunya.
Aryo menarik napasnya dalam, memaki dalam hati pada pria perusak rencana ini.
"Om Indra." balas Aryo sopan.
Pria itu melihat jas yang tersampir ditangan dan kunci mobil digenggaman Aryo.
"Kau mau pergi?"
Aryo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya...ada urusan mendadak." balasnya tidak enak.
Asisten Aryo yang mengerti situasi menawarkan diri untuk mengganti jika ini masalah pekerjaan.
"Tidak apa-apa." balas Aryo dan asistennya kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Bisa kita bicara diluar saja." ajak Om Indra yang tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang lain.
Aryo mengangguk.
"Sudah lama ya kita tidak bertemu."
Aryo hanya membalas dengan senyuman dan melirik jam tangannya.
Om Indra. Pria yang mendapat amanah menjalankan cabang perusahaan keluarga Valdie di Indonesia, dimana seluruh keluarga besar Chandra malah menyebar di beberapa negara lain.
Jujur Aryo tidak tega mengabaikan pria paruh baya ini. Orang yang paling setia yang pernah dia kenal. Orang yang masih rela menjaga amanah disaat pemilik tanggung jawab sebenarnya malah tidak pernah muncul.
"Apa Valdie pernah menghubungimu?" tanya Om Indra.
Aryo menggeleng. Matanya menyapu halaman belakang kantor miliknya yang ditata begitu asri. Punggungnya masih menyandar kaku dikursi taman yang terbuat dari besi.
Om Indra tersenyum pahit. Sikap tidak nyaman Aryo terlihat jelas. Sepertinya dia sudah merusak rencana pemuda ini.
"Bisakan Om minta tolong padamu untuk menghubungi Valdie. Seharusnya dia sudah sampai sejak beberapa hari yang lalu..."
Lama-lama Aryo iba juga. Dia menoleh dan mendapati raut lelah diwajah senja itu.
"...Om sudah tidak dianggap lagi, apapun peringatan, nasehat dan bentakan tidak mampu untuk menghentikan mereka membuat masalah...keadaan semakin tidak terkendali diperusahaan dan Om membutuhkan Valdie untuk membantu. Hanya dia yang bisa."
Aryo melirik Om Indra yang menunduk. Terlihat jelas pria itu sudah lelah. Mungkin tidak ada salahnya dia membantu pria tua ini dulu, dan sungguh dia ingin menjewer keras kuping Valdie. 'Kemana si bodoh itu!' maki Aryo dalam hati.
"Baiklah Om, aku akan coba menghubungi anak nakal itu lagipula ibunya juga sempat menelponku. Tapi aku tidak janji cepat memberi kabar, aku juga ada...urusan lain." jelas Aryo tidak enak.
Raut wajah Om Indra berubah cerah walaupun masih ada gurat lelah disana. Kasihan.
"Terima kasih, Nak. Tidak apa-apa...sesempatnya kau saja. Om tunggu kabar darimu ya. "
Om Indra menghela napas dan berdiri. "Baiklah, aku tidak mau menahanmu lebih lama. Kakimu yang terus bergerak-gerak itu membuatku sadar diri...hahaha! Permisi." Om Indra menepuk bahu Aryo, pamit.
Alis kanan Aryo naik. "Memang kakiku kenapa?"
"Astaga! Aku buang-buang waktu disini!"
Aryo langsung berlari menuju mobilnya diparkir. Lupa jika dia masih punya sekuriti yang biasa mengantarkan mobilnya kedepan gedung.
Tergesa Aryo membuka pintu mobilnya dan lagi-lagi langkahnya menuju Hana kembali tertahan.
"Aryo, baguslah...kebetulan kau disini. Jadi aku tidak perlu capek-capek keatas."
Mendongak keatas , mata terpejam rapat. Aryo mengusap wajahnya kasar. Ada saja halangan dari tadi. Sepertinya semua orang mencoba menghalanginya untuk bertemu dengan Hana.
"Iya jalan didepan juga kena banjir..."
Aryo memandang dua pegawainya yang kebetulan lewat dengan tak percaya. Bahkan alam juga ikut serta. Sempurna.
Manghela napas lelah Aryo berbalik, menghadap ayahnya.
"Ayah..." Aryo mencium tangan pria tua itu.
"Tumben, Yah. Kok ga nelpon dulu atau biar Aryo yang datang ke rumah."
Ayahnya mendengus, "Seperti kau ada waktu saja. Sudah hampir dua bulan kau tidak mengunjungi kami lagi."
Aryo membuka mulut dan langsung diam saat ayahnya mengangkat tangan.
"Sudahlah. Ayah kebetulan lewat dan mampir. Ayah dan Ibu mengerti kesibukanmu..."
Dalam hati Aryo meringis. Hanya ibunya yang tahu jika dia sibuk mencari Hana, tapi tidak dengan ayahnya.
"Besok ayah akan menemani ibumu check up ke Singapura. Dan ingin kau ikut. Ayah juga sekalian menghadiri seminar disana. Jadi kau bisa menemani ibumu selama Ayah pergi. Kau tidak sibuk kan?
'Iya Aku sibuk, Yah!'
"Tidak, Yah. Aku tidak ada acara apa-apa. Aku ikut."
Aryo menepis rasa kesalnya. Kenapa semuanya harus bersamaan dengan keinginannya menjumpai Hana, mencari wanita itu dan kembali membawanya kesini. Disampingnya.
Rasa bersalah karena sudah melalaikan tugasnya sebagai anak membuat Aryo tidak kuasa menolak permintaan ayahnya. Dia tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya. Aryo terlalu menyayangi mereka berdua.
"Ya, sudah. Nanti kau menginap dirumah saja. Kita akan berangkat bersama pagi-pagi sekali."
Aryo kembali mencium tangan ayahnya, memandang punggung pria tua itu menjauh dan masuk kemobil yang pintunya sudah dibukakan sopir. Kebiasaan ayahnya yang memang suka ikut melihat dimana mobilnya diparkir. Buat jaga-jaga katanya. Entah jaga-jaga apa.
Aryo kembali menghela napas kesal. Mungkin sudah 50 kali hanya dalam beberapa jam.
Baru juga senang sudah harus kesal lagi.
Dan salah satu teman bodohnya akan menjadi pelampiasan amarahnya hari ini. Harus.
Aryo masuk kedalam mobil dan menyalakan mesin hanya untuk menghidupkan AC. Dia butuh ruang privasi untuk memaki.
Dengan cepat jarinya mulai menganiaya ponsel. Memencetnya keras-keras. Menyalakan speaker karena memang ingin bicara dengan teriakan kesal.
Sambungan pertama. Nihil.
Aryo mencoba lagi. Kali ini rahangnya mengeras.
Sambungan kedua. Nihil.
"Buang saja ponselnya kalau ga dipake lagi!" Aryo menggerutu. Tapi kembali mencoba.
Dan syukurlah kali ini diangkat. Entah akan jadi apa ponsel itu jika orang disana tidak mengangkat lagi.
"Ha..hallo! Ada apa, bro. Tumben nelpon. Udah kangen banget ya? Tapi sorry ya...gue masih di dataran bule."
Aryo menggigit pipi dalamya. Mulut pembual ini perlu disumpal sampah.
"Sekali lagi lo bilang belum di Indonesia, gue tarik usus lo keluar!"
Terdengar suara tawa kencang diseberang sana. "Udah tau ya?"
Aryo memijit pangkal hidungnya. Kesal setengah mampus sama manusia yang satu ini namun ujung bibirnya tetap terangkat sedikit. Sibodoh ini benar-benar bisa mengembalikan mood-nya.
"Nyokap lo udah telpon gue."
"Kok lo ga nelpon gue...kan katanya kangen."
Aryo merinding najis. "Mati aja lo."
Terdengar lagi tawa keras disana. Dan kali ini Aryo ikut terkekeh.
"Udah serius nih. Kapan lo kekantor. Om Indra sampe minta tolong gue buat nyuruh lo segera muncul. Pemegang saham kecil diperusahaan lo itu banyak. Kalo dikumpulkan mereka bisa jadi genk emak-emak yang bikin repot. Lo ga kasihan sama Om Indra?"
Terdengar decakan dari mulut Valdie diseberang sana.
"Iya, kemaren gue ada urusan sedikit. Ini baru jalan ke sana. Gue emang mau beli saham mereka yang sebutir itu secara paksa dan menendang mereka semua keluar dari perusahaan. Seharusnya sudah dari dulu tapi bokap selalu aja ga tega."
"Ya sudah...nanti kita ketemuan setelah gue balik dari Singapura. Nyokap mau check up."
"Oke, sekalian gue beresin dulu kotoran disini. Salam buat Tante Ika ya. Sumpah gue kangen banget sama ortu lo. Bye bro. I love u!"
"Astaga! untung gue belum makan. Sialan lo! Mual gue."
Valdie kembali tertawa dan sambungan itu terputus.
Aryo terdiam dan memandang jejeran mobil yang terparkir rapi didepannya. Jarang dia datang keparkiran. Karena memang selama ini mobilnya selalu sudah tersedia didepan lobi. Ternyata disini lumayan bagus juga buat menyendiri. Jarak mobil yang tidak terlalu rapat dan lantai parkiran yang sangat bersih cukup membuatnya nyaman. Mungkin dia akan menaikkan gaji penjaga kebersihan disini.
"Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk kita bertemu, Hana. Tapi secepatnya aku akan menyusul dimana pun kau berada...dimana pun."
Aryo tersenyum kecil. Jalannya sudah terbuka dan semoga Tuhan merestui usahanya. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar