Jumat, 17 Oktober 2025

25_Love



“Hana, kamu dimana , nak. Kok udah gelap masih belum balik?”

Suara khawatir Bibi Yi terdengar dari seberang sana membuat Hana menggigit bibirnya. “Maaf, Bi. Tadi Hana ga enak badan trus agak pusing, jadi istrirahat bentar dulu.”

“Oh syukurlah. Tapi beneran kamu ga apa-apa kan? Udah makan? Ini udah jam 8, lho!”

“Udah, Bi. Ini lagi makan. Bibi sama Yuri udah makan?” Hana sedikit kaget karena sedari tadi dia belum melihat jam.

“Udah, kamu makan aja dengan tenang. Yuri juga lagi nonton kartun di tivi. Tadi sempat nanyain kamu tapi Bibi bilang kamu lagi ada urusan bentar. Untungnya banyak kartun, jadi dia ga rewel.”

Setelah Bibi Yi berkata hati-hati saat pulang, Hana menutup telponnya. “Terima kasih ya, Kak. Udah repot anterin ke rumah sakit.”

Aryo memandang Hana yang terlihat kurus dan ringkih. Ingatannya kembali mengingat perkataan dari dokter yang menangani Hana saat di rumah sakit tadi.

'Pasien kelelahan dan terlihat ada tanda-tanda tekanan. Apakah Bu Hana sedang punya masalah atau punya trauma sebelumnya?'

“Ga masalah, Han. Kamu habiskan makannya ya, biar ada tenaga. Dan ini jerukmu tadi, hampir aja ketinggalan.”

Mau tak mau Hana tersenyum kecil. Bisa-bisanya Aryo ingat membawa jeruknya saat dia pingsan tadi. Lagian jeruk itu juga belum dibayar kan? Apa Aryo yang membayarnya.

“Ini kakak yang bayar? Aku ganti ya?” Hana buru-buru membuka tasnya.

“Udah ga usah diganti, ini digratisin sama supermarket tadi, karena kamu pingsan gara-gara bau amis ikan.” Balas Aryo cepat.

Dan Hana yakin seyakin-yakinnya jika Aryo hanya membual. Lagi-lagi dia tak mampu menahan senyum. Aryo yang mendapatkan rejeki nomplok karena candaannya tidak garing ikut tertular senyum Hana yang sangat manis.

“Ternyata Kak Aryo bisa bercanda juga.”

“Eh, kamu ga tau aku humoris?”

Hana menggeleng dan menjawab jujur, “Enggak, karena dulu Kak Aryo galak sama aku…eh, maaf aku ga bermaksud..” Hana terlihat panik. Sikap Aryo yang sangat berbeda, jauh lebih hangat membuat dirinya hampir lupa diri.

Aryo menundukkan kepalanya, tertawa miris. Sebelum Hana sadar dia sudah kembali membuat ekspresinya lebih rileks, “Mungkin karena pengaruh umur kali, Han. Jadi lebih sabaran sekarang. Udah cepat makan, biar ga lemes lagi kayak tadi. Kamu tuh ringan banget lho, Han!”

Wajah Hana kembali memerah. Padahal dia sudah sempat lupa dengan kejadian tadi malah diingatkan lagi. “Iya, Kak.”

Setelah dokter berkata jika tensi darah Hana rendah begitupun gula darah dan kolesterolnya, Aryo langsung membawa Hana ke restoran padang yang cukup besar. Memesan segala menu yang entah bisa dihabiskan Hana atau tidak.

Aryo hanya memperhatikan Hana makan yang ternyata cukup cepat juga untuk ukuran seorang wanita. Bibirnya mengulum senyum geli. Sebenarnya banyak yang ingin dia tanyakan pada Hana namun momen seperti ini saja sudah cukup buat Aryo saat ini.

‘Pelan-pelan, Ar. Pelan-pelan.’

“Aku cuci tangan dulu ya, Kak.”

Aryo tersentak dari lamunannya. Ternyata Hana sudah menghabiskan makanannya tanpa sisa dan hal itu membuat Aryo tersenyum puas. “Iya.”

Setelah Hana kembali Aryo sudah berdiri dan mengambil jaket yang dia gantungkan disandaran kursi. Tanpa beban dia menyampirkan jaket itu ke bahu Hana. Tingkahnya sontak membuat Hana membeku. Aroma parfum Aryo melingkupi tubuhnya.

“Biar ga masuk angin.”

“Makasih, Kak.” Hana menarik jaket itu lebih rapat. Membuat Aryo lagi-lagi tersenyum seperti orang gila.

“Yuk!”.



Aryo mencuri-curi pandang kearah Hana saat wanita itu melihat pemandangan jalanan diluar jendela mobil. Tarik nafas. Buang. Tarik lagi. Buang.

“Han…”

Hana menoleh ke Aryo saat namanya disebut. “Iya, Kak?”

“Kamu…selama ini kemana aja? Ibu dan…aku nyariin, lho?” kali ini Aryo menoleh penuh ke Hana dan kembali lagi melihat jalan.

Hana tidak langsung menjawab. Wanita itu meremas-remas jemari tangannya. Beberapa kali Aryo melihat Hana menarik nafas dan menelan ludahnya. Aryo menunggu dengan sabar.

“Tante Ika dan Om Yudha, apa kabar, Kak?” Hana menolak membicarakannya. Dan Aryo langsung paham. Dia tidak akan mendesak lagi.

“Baik, semua baik. Kamu ga nanya kabar aku, Han? Masa Ayah sama Ibu aja yang ditanya.”

Hana tersenyum malu, dengan polos membalas, “Kan, Kak Aryo yang sakit cuma lututnya doang…”

Aryo tertawa dan hal itu tak luput dari mata Hana. Ada desiran aneh saat mendengar pria yang selalu sinis dan kasar padanya ini tertawa lepas. Aryo terlihat semakin tampan dimatanya. Mantan tunangannya memang mempesona.

“Kamu udah pinter ngeledek ya! Ini sakit banget lho, Han! Udah membiru lho, eh hijau deh!”.

Hana tersenyum geli melihat Aryo mengangkat ujung celana, memperlihatkan bekas memar dilututnya, setelah itu dia melempar pandangannya kembali ke luar. Untunglah jarak rumah sakit tidak terlalu jauh dari hotel tempat Hana menginap. Dan akhirnya mereka sampai.

“Kamu nginap disini berapa lama, Han?”

Mata Hana melihat hotelnya sebelum menjawab, “Tiga hari, Kak. Ini udah hari kedua.”

Aryo manggut-manggut sok mengerti. Padahal beribu pertanyaan sudah mau meledak di kepalanya.

Kenapa Hana kembali ke Jakarta?

Kenapa dia tidak tinggal dirumah lama neneknya?

Apa dia sudah menikah?

dan

Siapa Yuri?

“Kalau gitu aku pamit dulu ya, Kak. Makasih banyak bantuannya hari ini. Nanti aku ganti biaya rumah sakit dan makanannya.” Hana beranjak keluar mobil sambil membawa bungkusan makanan yang sengaja Aryo beli untuknya.

“Kalau mau ganti, berarti kamu harus tau nomorku dong?”, Aryo ikut keluar dan melancarkan modus mautnya.

“Eh, iya..”

“Sini hapenya!” Aryo mengambil ponsel Hana dan dengan lancar mengetik nomornya sendiri dan menghubungkan panggilan. Tidak lama ponselnya bergetar dan dengan puas dia menyimpan nomor Hana. “Ini nomorku, simpan ya, jangan dihapus trus kasih nama.”

“Iya, Kak.” Hana menerima ponselnya kembali.

“Udah sana. Aku liatin sampe kamu masuk.” Aryo bersandar dimobilnya dengan tangan disilangkan.

Hana mengangguk dan tersenyum malu-malu sebelum berbalik dan masuk ke dalam hotel.

Setelah Hana menghilang kedalam lobi hotel, Aryo buru-buru langsung masuk kedalam mobil dan memegang dadanya yang berdebar sangat kencang.

“Ya ampun, dapat serangan bertubi-tubi…”

Entah berapa kali Hana tersenyum padanya hari ini. Walaupun hanya senyuman samar dan terkesan malu-malu namun efeknya sangat dasyat untuk Aryo. Wajahnya kini sudah memerah dan pria bodoh itu menutup wajahnya sambil teriak-teriak tidak jelas.

“Hana….kamu gemesin banget sih! Kan jadi makin sukaaaa…!”

Tok!

Tok!

Jendela mobilnya diketuk. Aryo kembali menguasai diri. Tampangnya kini kembali ke setingan awal. Dengan santai dia menurunkan jendela mobil, “Ya, kenapa?”

“Pak, jangan parkir disini. Nanti mobil lain tidaks bisa masuk.”

Aryo mengamati sekitarnya dan benar saja posisi mobilnya menghalangi pintu masuk hotel. “Oh iya, maaf!” Dan Aryo kembali melihat kearah hotel dan tersenyum. Perlahan dia memajukan mobilnya dan menjauh pergi dengan hati yang berbunga-bunga.

24_Love



Dia yang hanya menggunakan instingnya, menebak kemana Hana pergi setelah sampai ke Jakarta tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Bahkan tanpa dia sadari matanya sudah berkaca-kaca. Pencarian selama hampir lima tahun. Rencana-rencana yang disusun jika bertemu. Bahkan sapaan jika bertatap muka semua itu seolah menguap entah kemana karena perasaan senang sekaligus gugup yang Aryo rasakan saat ini. Saat matanya menangkap sosok indah yang berdiri mematung di depan rumah lama neneknya. Rumah yang sering Aryo lewati saat rasa rindu menyiksa batin.

“Hana…”

Aryo mensyukuri keputusannya untuk turun dari mobil dan masuk kedalam gang. Walaupun saat ini dia masih bersembunyi dibalik pohon karena belum berani menemui Hana secara langsung.

Aryo tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum lebar. Hilang sudah sosoknya sebagai seorang pemimpin perusahaan saat ini. Mengintip dari balik pohon sambil senyum-senyum tidak jelas seperti orang mesum.

“Astaga!” Aryo gelagapan saat melihat Hana berbalik dan berjalan kearahnya. Pria itu semakin menempelkan tubuhnya ke pohon agar tidak terlihat. Sepertinya Aryo berbakat menjadi ninja. Dan mendesah lega saat Hana melintas tanpa menyadari keberadaannya.

Hana berjalan seperti melamun tanpa menyadari jika ada seorang pria tampan yang sedang mengekorinya dari belakang. Untungnya Hana sedang tidak fokus dan tidak menyadari Aryo yang mengikutinya sambil masih memasang senyuman aneh.

Saat Hana berhenti tiba-tiba, Aryo kembali panik dan menyembunyikan dirinya dibalik kandang ayam.

“Ugh! Baunya!”

Aryo menutup hidung karena kandang ini bau sekali tanpa memikirkan perasaan si ayam yang sepertinya mulai tersinggung. Alhasil ayam-ayam itu mengibas-ibaskan sayapnya dan membuat Aryo semakin kebauan. Syukurnya Hana masih tidak sadar dengan kehebohan dibelakangnya. Ternyata wanita itu berhenti karena mau menelpon. Sayup-sayup Aryo bisa mendengar suara Hana.

“Bi, titip Yuri bentar ya, aku mau ke supermarket…”

Aryo melihat Hana terdiam sambil menengadahkan wajahnya keatas dan menghalangi sinar matahari dengan tangan. Ingin Aryo berdiri disamping Hana dan menjadi payung untuk wanita itu.

“belum…nanti aku coba lagi…iya.” dan Hana menutup panggilannya.

Melihat Hana kembali berjalan, Aryo mengikuti, terus mengikuti tanpa suara sampai melihat Hana masuk ke supermarket berlogo singa. Aryo menggeram saat melihat beberapa pria menatap Hana tanpa berkedip. Aura Hana memang sangat terpancar. Walaupun berpakaian sederhana, kecantikan wanita itu tidak bisa ditutupi.

“Mata lo jaga! Bini gue itu!” cecar Aryo saat melintasi kumpulan pria itu.

“Maap, Bang…maap! Kita ga tau!” balas pria-pria itu menciut. Dan Aryo mengabaikannya sambil berjalan cepat menyusul Hana yang sudah hilang dibalik pintu supermarket.

Aryo masuk kedalam supermarket dan matanya mulai mencari-cari keberadaan Hana. Suasana yang cukup ramai lumayan merepotkan Aryo, bagaimanapun dia harus bisa mendapati Hana tanpa ketahuan jika sedang menguntit. Aryo terus berjalan pelan sambil fokus mencari di balik-balik rak tanpa sadar membuat beberapa perempuan curi-curi pandang kearahnya.

Bagian susu, ga ada.

Bagian cemilan, ga ada.

Bagian buah...

Aryo langsung mundur menyembunyikan diri saat menemukan sosok Hana berdiri dekat dengannya. Untung tidak sampai ketahuan. Pelan-pelan Aryo mengintip dari balik rak. Dari tempatnya dia bisa melihat Hana sedang melihat-lihat buah.

‘kalau pura-pura pilih buah, terus ga sengaja pegangan tangan seperti di film-film?’ Aryo menggelengkan kepalanya mengusir skenario yang dia rancang. Bagaimana kalau buah yang dipilih beda, kan jadi awkward.

Aryo menghela nafas berulang kali dan memantapkan niatnya. Setelah mengambil keputusan, dia berjalan memutari rak yang berlawanan arah dengan Hana. Dari jauh dia bisa melihat Hana sedang memilih buah jeruk.

Aryo melemaskan tangan dan bahunya seperti orang yang sedang pemanasan. Menghilangkan rasa gugup dan dengan penuh tekad mengambil langkah pertama sebelum,

Brug!

“Aaggh!” lutut Aryo menghantam troli seorang kakek-kakek.

“Aduuuh…dek maap, bapak ndak lihat tadi. Maap dek!”

Aryo berlutut menahan sakit nyut-nyutan tingkat tinggi yang dia rasakan sekarang. Orang-orang disekitarnya sudah heboh sedangkan Aryo hanya melambaikan tangannya mengatakan ‘aku baik-baik saja’ tanpa suara. Bagaimana mau ngomong, bilang pisang saja tidak tidak sanggup karena ini sakit sekali.

“Kak…Aryo?”

Aryo mendongak. Dan dua pasang mata itu pun bertemu. Dalam kondisi yang sangat memalukan untuk Aryo. Pria itu ingin mengubur dirinya diantara tumpukan bawang merah yang ada persis dirak sebelah. Kenapa pula Hana melihatnya dengan posisi memalukan seperti ini. Aryo mau menangis saja rasanya.

“Ha..Hana.”

Hana bergegas membantu Aryo berdiri. Membantu memapah tubuh Aryo kembali tegak. Dan jangan tanya Aryo sekarang. Dia bahkan ingin mencium kakek-kakek yang sudah menghantamkan lututnya dengan troli jika hadiahnya seperti ini. Hana memeluknya.

‘Oh, indahnya dunia.’

Namun seperti tersadar, Hana tiba-tiba menjauhkan diri dan memberi jarak. Dan kernyitan tidak suka muncul dikening Aryo karena Hana menyudahi interaksi skin to skin mereka. Sedangkan Hana yang melihat ekspresi Aryo mengira jika pria itu tidak suka dengan kehadiran Hana dan risih karena berdekatan dengannya.

“Kalau Kak Aryo tidak apa-apa, saya pamit dulu.” Hana segera membalik tubuhnya namun reaksi tangan Aryo lebih cepat. Pria itu menahan pergelangan tangan Hana mencegah wanita itu kabur. Hana yang terlalu kaget menatap tangan Aryo dipergelangannya dan perlahan naik ke wajah pria itu.

“Kak…”

“Hai!” Aryo ingin menggigit lidahnya karena cuma tiga huruf itu yang mampu dia ucapkan. Dasar culun.

“Apa kabar, Hana? Lama ga jumpa?”, Aryo ingin memukul kepalanya sendiri. Kenapa pula suaranya bergetar. Semoga Hana tidak menyadarinya.

Hana yang ditatap intens oleh Aryo hanya menunduk. Keningnya sudah berkeringat dan jantungnya berdetak cepat. Ternyata bertemu langsung dengan pria itu sama tidak nyamannya seperti saat ingatan masa lalunya melintas. Walau masih bisa ditahan, rasa sesak didada Hana tetap terasa.

“Baik.”

Hanya itu yang mampu Hana katakan. Aryo ingin kembali bertanya namun betapa kagetnya dia saat melihat wajah Hana memutih dengan cepat. “Hana, kamu sakit?!”

Belum sempat menjawab, tubuh wanita itu sudah terhuyung dan jatuh pingsan. Kebetulan ini terlalu berlebihan untuk Hana. Dia bahkan masih belum bisa mendekati rumah neneknya tadi, sekarang malah harus bertemu langsung bahkan bersentuhan dengan pria dari masa lalunya.

Dengan cepat Aryo langsung menahan tubuh Hana agar tidak ambruk ke lantai. Tanpa ragu Aryo menggendong tubuh Hana yang ringan. Saat sekuriti supermarket menahan Aryo hanya menjawab,

“Dia istri saya.” Dengan cepat Aryo menggendong dan membawa Hana ke arah mobilnya di parkir. Walau cukup jauh dan menarik perhatian orang sekitar, Aryo tidak perduli. Saat ini yang dia fikirkan hanya keadaaan Hana saja. Begitu sampai, dengan lembut Aryo meletakkan tubuh Hana dikursi depan, menurunkan sedikit sandaran dan memasangkan seatbelt. Memutari depan mobil, Aryo masuk dan duduk. Dilihatnya wajah pucat Hana yang sudah berkeringat dengan sendu. Aryo mengambil tisu di dashboard mobil dan mengelap keringat Hana dengan hati-hati. Setelah itu dia menghidupkan mobil, dan membawa Hana ke rumah sakit.

23_Love



“Oh, begitu ya. Padahal mereka berdua terutama Hana sudah sangat membantu di Panti Asuhan. Anak-anak disana juga sudah lengket banget dengan mereka. Saya juga senang karena Panti jadi lebih berwarna sejak kedatangan mereka berdua…” Bu Vanessa menghela nafas pelan mendengar kabar dari Nenek Dana jika Hana dan Bibi Yi pamit undur diri dari Panti. Selesai biacara, Bu Vanessa menutup telepon bersamaan dengan kedatangan suaminya.

“Kenapa, Ma? Kok murung?”

Bu Vanessa menoleh kearah suaminya, sudut bibirnya turun kebawah menandakan jika perasaan wanita itu sedang tidak baik. “Hana pamit dari Panti, Pa. Padahal aku suka sama anak itu. Anaknya lembut banget, ngademin kalau ketemu sama dia, kayak sejuk-sejuk gimana gitu!”

Pak Chandra tertawa pelan melihat mulut istrinya yang semakin manyun. Beginilah lucunya sang istri, jika diluar rumah orang akan melihat mereka sebagai sosok yang kaku dan teratur namun untuk orang yang sudah mengenal dekat yang terlihat adalah keramahan bahkan sedikit konyol. “Memang mereka pindah kemana, Ma?”.

“Kata Nenek Dana sih balik ke Jakarta, karena Hana harus mengurus surat-surat apa gitu, Mama juga ga nanya detil.”

“Berarti kamu harus nambah karyawan lagi dong, Ma, disana. Kasihan Nenek Dana kalau sendiri.” Pak Chandra ingat jika Nenek Dana mengatakan tidak perlu menambah orang lagi di Panti karena Hana dan Bibi Yi sudah cukup. Sebenarnya alasan Nenek Dana dulu agar rahasia Hana tetap terjaga. Takutnya keadaan Hana yang dulu hamil tanpa suami sampai ke telinga Bu Vanessa dan membuat wanita itu tidak senang.

“Udah, aku udah kirim tiga orang tadi buat bantuin Nenek Dana disana.” tiba-tiba keningnya menyerngit saat satu pemikiran melintas. Matanya terbelalak dan menepuk paha suaminya.

“Pa, apa jangan-jangan Valdie bikin ulah sama Hana pas disana? Makanya Hana tiba-tiba minta keluar? Hana kan gadis baik-baik, jangan-jangan…”

Suaminya pun jadi kaget dan melihat istrinya dengan ekspresi yang sama, “Bisa jadi, Ma! Dasar pembuat onar. Awas saja kalau dia pulang!”

Dan sepertinya do’a kedua orang tuanya terkabul agar anaknya panjang umur, Valdie pun pulang tanpa tahu apa yang akan menunggunya di dalam rumah.

Begitu sampai rumah, kebiasaan pria itu adalah langsung pergi ke arah dapur untuk minum air dingin. Melihat majikannya datang, para pembantu langsung menundukkan kepala memberi salam dan dengan cepat pamit dari sana. Valdie hanya membalas dengan anggukan samar.

Tangannya meraih satu botol kaca berisi air dingin yang memang khusus disediakan untuknya. Hanya dia yang minum air dingin dirumah ini. Ayah dan ibunya langsung pusing jika minum air dingin, mungkin pengaruh umur. Sedangkan adik laki-lakinya masih kuliah diluar negeri. Oh iya bicara tentang adik kakunya itu, sudah lama dia tidak menghubungi Valdie. Biasanya selalu minta uang jajan tambahan kalau jatah dari ayahnya tidak cukup.

“Hah! Segarnya…”

“Valdie!”

Valdie hampir saja memecahkan botol kaca itu karena kaget. Suara ibunya benar-benar menggelegar seperti petir membelah langit, padahal wanita itu masih berada di anak tangga teratas rumahnya. Ayahnya saja sampai mengelus dada beberapa kali.

“Hadiiiir!” Valdie langsung menjawab dan berjalan cepat menuju dimana ibunya berada.

“Udah dibawah saja, Ibu mau bicara sama kamu! Dasar anak nakal!”

Valdie meringis, dalam hati bertanya apa lagi salahnya kali ini. Perasaan dari tadi pagi baik-baik saja.

Begitu sampai dibawah Bu Vanessa langsung berjalan ke arah ruang keluarga dan mengabaikan keberadaan putranya. Valdie dan ayahnya hanya mengekori sang ratu rumah dari belakang. Ayahnya menyikut tangan Valdie, “Kamu sih, bikin masalah terus!”

“Pa, aku aja baru pulang, lho. bikin masalah gimana?!” Valdie balas berbisik seperti yang dilakukan ayahnya barusan.

“Duduk.”

Valdie mencibir pelan melihat sang ayah langsung duduk disebelah ibunya, mencari aman dengan menjadi sekutu.

“Kemarin waktu Mama suruh kamu ke Pandeglang, kamu ada bikin masalah apa?” cecar Bu Vanessa tanpa pembukaan.

‘Mampus!’

“M..masalah apa, Ma. Aku baik aja kok disana, kan Mama udah ngobrol sama Nenek Dana.” Semoga Ibunya tidak tahu jika dia sempat menunda kedatangan dan membuat salah satu anak sampai jatuh sakit.

“Memang kenapa, Ma?” tanya Valdie penasaran.

Ibunya hanya memandang curiga ke Valdie tanpa mengatakan apa pun. Memindai dari kepala sampai kaki, dan mengamati ekspresinya. Mencari tanda-tanda kebohongan atau menyimpan sesuatu dikepala anak nakalnya ini.

Karena ibunya masih membisu, Valdie berdecak sebal, “Ma, aku itu dua hari ini sibuk ngurusin perusahaan lho. Bukannya dapat pujian malah disidang gini, memangnya ada masalah besar apa sih, Pa?”

Dan Valdie hanya bisa menganga saat Ayahnya hanya menaikkan bahu dan melempar arah pandangan ke ibunya. Jelas ayahnya tidak mau ikut campur. Bisa tidur diluar dia kalau berani sok-sok an jadi pahlawan kesiangan.

Sekali lagi ibunya mengamati wajah Valdie sebelum berkata, “Kamu ga ganggu Hana, kan? Pas disana?”

“Hah! Siapa?”

“Hana!”

Ayahnya malah nyengir, tahu anaknya hanya menunda jawaban dengan pura-pura tuli.

Valdie berdehem dan menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal sama sekali. “Oh, Hana…enggak kok. Kita…baik-baik aja. Ga banyak ngobrol juga…”, Valdie mencari jawaban teraman menurut versinya.

“Bohong kamu, kan!”

“Enggak kok bener, abis aku ambil kue kacang dia langsung balik kok. Ga ketemu lagi. Sumpah!” Valdie melewatkan bagian dia kembali lagi ke Panti esok harinya dan menerima lemparan strike dari Hana. “Memang Hana kenapa, Ma?”

Bu Vanessa menghela nafas pelan, “Hana udah keluar dari Panti, Mama kirain itu gara-gara kamu, sekara…”

Dan kelanjutan apa yang ibunya katakan sudah mengambang diudara. Valdie hanya mendengar samar-samar karena terpaku dengan kata ‘Pergi’.

‘Hana…pergi?’



Valdie masuk kedalam kamarnya. Pembicaraan tentang Hana sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Dia baru saja kembali dari ruang kerja ayahnya membahas tentang keadaan kantor yang sedang melakukan ‘pembersihan’.

Perlahan kaki pria itu melangkah menuju cermin satu badan yang ada dikamarnya. Dengan pelan dia membuka kancing kemejanya satu persatu hingga tubuh yang terpahat sempurna itu terpampang jelas. Tubuh yang selama ini membuat air liur para wanitanya menetes. Tidak sabar ingin menikmati. Kemeja itu meluncur turun dengan mulus dari bahunya. Valdie menatap dirinya yang terlihat begitu sempurna dari pantulan cermin. Bukan menderita NPD, dia hanya menyajikan fakta. Tangan kirinya terangkat keatas dan membelai sebuah bekas luka lama memanjang dibagian dada atasnya.

Valdie mengusap bekas luka itu sambil memejamkan matanya menikmati.

“Bagaimana aku bisa melupakanmu, Hana. Kenangan yang kau tinggalkan dulu masih terlukis di tubuhku…”

Yah, bekas luka itu adalah cakaran dari Hana. Usaha wanita itu untuk membela diri saat Valdie menyetubuhinya dengan kasar. Yang akhirnya membuat pria itu kesal dan mengikat tangan Hana dengan kencang. Namun sejak kejadian itu perlahan Valdie malah menyukai ‘kenangan’ yang ditinggalkan Hana ditubuhnya. Merasakan jika ada yang terhubung diantara mereka walau hanya sebuah luka kecil. Valdie menjilat bibirnya sendiri, “Kali ini aku akan mencarimu, kucing kecil yang nakal. Kau tidak akan bisa lepas dariku.”

22_Love



Langit sudah gelap saat Aryo keluar dari bandara. Ayah dan ibunya telah pulang duluan dijemput oleh supir keluarga. Karena Aryo tidak berniat lagi menunda kepergiannya untuk menemui Hana, pria itu menolak saat diajak pulang ke rumah utama dan memilih kembali ke apartemen. Sebaiknya dia istirahat dan kembali segar saat menemui Hana nanti. Entah kenapa dia jadi tidak percaya diri dengan penampilannya kali ini.

Saat Aryo menunggu taksi online yang telah dipesan, ponselnya bergetar menandakan ada telpon masuk. “Hallo…”

“Pak Aryo maaf. Saya tadi beberapa kali mengirim pesan ke bapak…”

Aryo menjauhkan ponselnya dan melihat jika memang benar supir yang dia perintahkan untuk mencari kabar Hana telah mengirim pesan yang lumayan banyak, dan ada juga beberapa panggilan masuk. Tanpa mengecek pesan tersebut, Aryo memilih untuk langsung bertanya kepada si pengirim pesan.

“Iya saya sudah lihat. Ada apa, Pak?” tanya Aryo tanpa ada curiga sedikitpun jika supirnya akan memberi kabar kurang menyenangkan.

“Begini, Pak Aryo. Tadi saat saya mengawasi Panti Asuhan, tempat tinggal Bu Hana, saya melihat Bu Hana, putrinya dan seorang wanita lain pergi dari Pnati Asuhan dengan membawa dua tas besar. Sepertinya itu pakaian dan barang-barang mereka, Pak. Saya sempat mengambil foto mereka dan saya kirimkan ke bapak tadi.”

Aryo buru-buru mengecek ponselnya dan benar ada beberapa file gambar yang terkirim. “Nanti saya hubungi lagi, Pak!”

Pesan-pesan berisi tulisan langsung Aryo lewatkan dan lebih memilih membuka beberapa file gambar yang telah terdownload.

Begitu satu gambar terbuka, Aryo hanya bisa terdiam dan memandang sosok Hana yang tertawa lepas dengan begitu mempesona. Tanpa bisa ditahan, senyum Aryo pun terbit dengan cepat. Semakin dia membuka gambar lain semakin lebar senyumnya.

“Cantik…”

Aryo menarik nafas dalam-dalam. Udara langsung memenuhi dadanya yang tadi dia biarkan kosong karena begitu terpaku melihat foto-foto wanita yang sudah lama dia cari-cari. Sosok Hana yang tertawa tanpa beban baru kali ini dia lihat. Cantik. Bahkan sangat cantik. Entah mengapa ada rasa bangga yang memenuhi hatinya sejak melihat foto Hana.

“Tunangan gue cantik banget.”

Lalu Aryo membaca pesan-pesan yang tadi dia lewatkan. Supirnya mengabarkan jika Hana dan putrinya pergi dengan kereta arah Tanah Abang, setelah itu supirnya tidak bisa mengikuti lagi. Aryo tidak menyalahkan supirnya karena memang tidak mungkin meninggalkan mobil di stasiun Rangkasbitung.

Setelah membaca pesan, Aryo kembali membuka galeri dan melihat ulang foto-foto Hana. Sekali lagi senyuman terbit dibibirnya. Aryo memperbesar fokus sosok Hana. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir kuda. Tanpa make up yang berlebihan pipi wanita itu sudah merona merah karena terkena sinar matahari. Memakai baju tunik dan celana putih membuat tubuh Hana terlihat tinggi semampai. Aryo langsung membayangkan jika mereka sangat cocok jalan berdampingan. Aryo merasa bodoh karena emosi dan kebodohannya dulu dia melewatkan seorang Hana yang sangat cantik dan sempurna.

Keningnya menyerngit dan memperpesar gambar seorang anak dengan jarinya. Tanpa bisa dicegah kekehan terdengar dari mulutnya. Mungkin orang mengira dia sudah gila. Tapi anak ini lucu sekali. Aryo ingin menggigit pipi itu. Gadis kecil ini sangat mirip dengan Hana. Namun perlahan senyumnya memudar dan rasa takut memenuhi hatinya.

‘Apa gadis kecil ini anaknya atau anak…’, bahkan dalam hati pun Aryo tidak sanggup menyebutkan nama itu.

Persetan! jika gadis kecil ini bukan anaknya akan tetap menjadi anaknya, tidak ada yang perlu tahu, ini akan menjadi rahasianya sendiri! Si ‘bodoh’ itu tidak akan tahu bahkan perduli dengan ‘kejadian’ dulu.

Kali ini Aryo yakin akan bertemu dengan Hana. Tidak ada kekhawatiran dihatinya karena setelah Hana menjejakkan kaki di Jakarta, dia akan mudah menemukannya. Sebaiknya hari ini dia pulang dan menyambut esok hari dengan penuh semangat.





Diwaktu yang sama ditempat berbeda, Hana masih tidak bisa memejamkan matanya. Wanita itu takut jika traumanya akan kambuh lagi dan kembali menghalangi niatnya untuk bangkit. Sebenarnya ada rasa kesal dan marah pada dirinya sendiri karena selemah ini menghadapi trauma. Padahal Hana bisa merasakan kekuatannya seperti ditambah oleh Tuhan, sejak dia menjadi seorang ibu.

Hana melihat kesebelahnya, kedua orang yang sudah terlelap mengejar mimpi. Begitu kepala mereka menempel ke bantal Yuri dan Bibi Yi langsung tertidur. Mereka sudah begitu lelah seharian ini. Hana kembali menatap langit-langit kamarnya, berdo’a semoga besok dia tidak mengacaukan niatnya lagi. Semoga rasa trauma ini berubah menjadi kekuatannya, demi dia dan juga Yuri.

Namun saat matanya sudah terpejam, entah mengapa sebersit wajah seseorang melintas diingatannya. Memori terakhir saat pria itu pergi meninggalkannya yang terduduk tak berdaya dilantai. Wajah yang sekilas terlihat khawatir namun tertutupi rasa jijik. Ekspresi yang menjadi pemicu rasa rendah diri dan juga traumanya. Hana mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba mengusir bayangan itu. Mencoba tidur karena tubuhnya juga sudah lelah. Dan tidak lama Hana sudah menyusul Yuri kealam mimpi.

21_Love



“Bundaaa….ayooo…adek capek…” Yuri menarik-narik ujung baju Hana. Anak sekecil itu sudah pasti sangat lelah karena harus melewati perjalanan berjam-jam dari Pandeglang ke Jakarta. Akhirnya suara Yuri yang merengek mengembalikan pikiran Hana yang sempat tidak fokus. Merasa bersalah Hana mengusap kepala Yuri dan menghapus keringat yang membasahi kening bocah kecil itu. “Iya, kita istirahat ya, jalan kedepan lagi masih kuat, kan? Atau mau bunda gendong?”

“Adek bisa jalan sendili. Adek hauuuss…”

“Ya, udah yuk!”

Bibi Yi memandang sendu pada Hana. Matanya melemparkan pertanyaan yang tidak terucap. Seperti sadar jika diperhatikan, Hana menoleh kearah Bibi Yi dan menggelengkan kepalanya.

Akhirnya mereka berjalan kembali ke depan gang. Tepatnya kearah warung bakso yang tadi mereka lewati.

Sesampainya disana, Hana langsung memesan 3 mangkuk bakso dan 3 teh hangat. Yuri memang beda dari anak lain. Disaat anak-anak lain menyukai minuman dingin seperti es teh, Yuri malah menyukai minuman hangat seperti teh manis hangat atau hanya air putih hangat yang cenderung panas. Lebih enak katanya.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Bibi Yi mencoba menanyakan yang sedari tadi mengganggu pikirannya. Tentang perasaan Hana saat ini. Walau dia tidak mengabaikan Yuri namun Bibi Yi sadar wanita itu terlalu banyak terdiam sore ini.

“Hana, apa kita pesan hotel murah disekitar sini dulu aja?

Hana menghela nafasnya pelan dan menggeser duduknya mendekati Bibi Yi. Sedangkan Yuri masih sibuk memainkan puzzle-nya.

“Ternyata aku masih butuh waktu, Bi. Apa ga masalah kita sempit-sempitan hari ini di hotel?” Hana merasa tidak enak pada Bibi Yi, takut membuat wanita paruh baya itu tidak nyaman.

“Kita coba pelan-pelan ya. Gimana mau masuk kerumah nenekmu kalau masih diseberang jalan aja kamu udah keringat dingin gini?

Hana terkekeh. Yah, sebenarnya dia merasa aman-aman saja tadi namun kakinya seperti dipaku ketanah dan keningnya langsung berkeringat. Mungkin walaupun jiwanya sudah lebih baik tapi tubuhnya masih merasakan trauma itu. Hana berharap ini hanya karena kali pertama mereka tiba. Semoga besok Hana bisa lebih baik. Dia akan terus mencoba.

Seraya menepuk pelan punggung Hana, “Kita nginap dulu aja di hotel situ…” Bibi Yi menunjuk ke arah hotel dengan tulisan berwarna biru tidak jauh dari mereka. “Tiga hari. Jadi kamu bisa pelan-pelan balik ke rumah nenekmu, hitung-hitung terapi mandiri, oke?”

Hana mengangguk pelan, dan pas sekali seakan abang bakso memang menunggu mereka selesai diskusi, tiga mangkung bakso pun datang.

“Silahkan baksonya, selamat menikmati.” sapa abang bakso ramah sambil meletakkan mangkuk-mangkuk itu dimeja.

“Makasih ya, bang!” balas Hana.

Yuri terlihat sangat lapar sampai-sampai dia menggeser puzzle kesayangannya dengan asal demi semangkuk bakso yang lezat. Abang bakso yang baik kembali mengisi gelas Yuri yang sudah kosong dengan air hangat yang sama tanpa diminta.

Mereka menikmati bakso tersebut dengan tenang karena semuanya memang sudah lapar dan lelah. Sepertinya hari ini mereka akan tidur lebih cepat.

Sambil makan sesekali mata Hana menjelajahi pemandangan disekelilingnya. Memori saat dirinya yang berangkat kuliah, memakai ransel hitamnya dengan jaket hodie kesayangan melintas diingatannya. Saat-saat yang bahagia. Saat-saat neneknya masih hidup dan dia berkuliah dengan semangat setiap hari. Denyutan sakit itu tiba-tiba terasa. Dadanya terasa sesak sampai tak sadar tersedak kuah bakso. Hana terbatuk-batuk sampai matanya memerah.

“Ya, ampun Hana, makan pelan-pelan!” Bibi Yi memberikan minum yang langsung dihabiskan Hana dengan cepat.

“Keselek sambal…” Hana berdehem beberapa kali membersihkan kerongkongannya dari rasa pedas sambal.

Setelah lumayan lega, atensi Hana beralih kearah Yuri yang masih serius memakan bakso yang telah Hana potong kecil-kecil. Bibirnya membentuk sebuah senyuman tulus dan membelai rambut lembut putrinya. ‘Sekarang Yuri-lah kebahagiaannya dan juga masa depannya. Kali ini dia akan berjuang keras menjaga kebahagiaan itu.’

20_Love



Bibi Yi melihat kearah Yuri yang sudah tertidur lelap disebelah mereka. Anak lucu itu senang sekali mendengar orang yang sedang mengobrol dan lama-lama tertidur.

“Trus bagaimana keputusanmu, Hana?”

Hana melipat baju-baju dengan telaten dan rapi kemudian meletakkannya didalam keranjang baju yang akan disetrika besok. Pertanyaan dari Bibi Yi membuat lipatannya terhenti, dan wanita itu memandang Bibi Yi dengan muka memelas.

“Sebenarnya aku sudah sangat nyaman Bi, disini. Tadinya aku berencana berangkat sendiri ke Jakarta buat ngurus surat-surat Yuri, gimana pun harus segera diurus. Nanti juga bakal ditanya lagi saat masuk SD, SMP trus SMA. Kata Pak RT sebenarnya ga ribet kok ngurus surat-surat Yuri tapi…”

“Tapi…” Bibi Yi mengulang pertanyaan Hana.

“Tapi…aku memikirkan ke depannya, Bi. Benar saran Rika. Ga mungkin juga selamanya kita menumpang disini, aku harus mulai mencari pekerjaan, kebutuhan Yuri pasti akan bertambah seiring semakin dia besar.”

‘Apalagi setelah tahu siapa pemilik Panti Asuhan ini. Jujur Hana tidak ingin menumpang hidup dari orang seperti Valdie walaupun Ibunya baik.’

Bibi Yi menganggukkan kepalanya tanda setuju, “Kamu…siap kembali ke Jakarta, Hana?” bagaimanapun Bibi Yi yang menemukan Hana hampir meregang nyawa, pastinya wanita itu masih khawatir dengan kesehatan mental Hana.

“Harus, Bi. Sekarang aku seorang ibu jadi harus kuat.” Hana tersenyum meyakinkan Bibi Yi, padahal dia sendiri masih ragu dengan keputusan ini.

Bibi Yi mengambil telapak tangan Hana dan mengusapnya pelan, hati-hati wanita itu kembali bertanya, “Balik kerumah nenekmu? Kalau masih belum kuat kita bisa cari kontrakan atau kost-kostan mungkin yang kira-kira sesuai? Andai saja rumah Bibi tidak dijual kita bisa tinggal disana.”

Hana tak kuasa menahan harunya. Dia memeluk erat seorang wanita yang telah berkorban banyak untuknya. Bibi Yi menjual rumah sekaligus warung bakminya demi menambah biaya perawatan Hana dan bekal mereka pindah dari Jakarta. Sebelum tinggal di Panti Asuhan ini sudah berkali-kali mereka keluar masuk kontrakan dan kost-kostan, untuk menghindari pandangan negatif orang-orang kepada Hana yang hamil tanpa suami. Untunglah mereka bertemu dengan Nenek Dana yang dengan ikhlas menerima kehadiran Hana dan bayinya.

“Terima kasih, Bi…terima kasih karena terus ada disampingku..” Hana terisak dipelukan Bibi Yi.

Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mengusap-usap punggung Hana yang masih bergetar, “Kamu udah Bibi anggap anak sendiri, Hana. Kamu udah jadi tanggung jawab Bibi. Sejak awal Bibi sudah merasa harus melindungi kamu…apalagi sekarang sudah ada Yuri. Kita berdua sanggup melewati masa lalu yang kelam itu dan Bibi yakin kali ini petualangan kita tidak akan seberat dulu. Bibi akan mendukung apapun keputusanmu, ya!”

Bibi Yi menjauhkan wajah Hana dan mengusap air matanya dengan sayang. Dipandangnya wajah Hana yang masih basah, dalam hati dia pun memanjatkan do’a.

‘Ya Tuhan, lindungilah anak baik ini. Dia terlalu banyak menderita. Berikannya kebahagiaan padanya dan jagalah dia serta putrinya dalam lindunganmu..’

“Besok kita bicara ke Nenek Dana, ya.”

“Iya, Bi”.

“Ya sudah kalau begitu kita juga tidur, Bibi udah dari tadi nahan-nahan meluk si bawel ini dan cium bau acem kepalanya! Bibi Yi menggeser tubuh Hana dan menguasai Yuri yang berfungsi sebagai obat tidur wanita paruh baya itu.

Besok paginya Hana langsung mendatangi Nenek Dana, sayangnya rencana Bibi Yi akan menemani batal karena harus mempersiapkan sarapan anak-anak Panti.

Begitu Hana mengutarakan niatnya untuk kembali ke Jakarta tidak langsung disetujui oleh Nenek Dana. Wanita itu terlihat sangat berat untuk melepas kedua wanita yang selama ini menemaninya mengurus anak-anak terutama hatinya sangat berat buat berpisah dari Yuri.

“Hana ingin berusaha lagi, Nek. Jujur Hana juga berat untuk meninggalkan Nenek dan anak-anak panti, Hana sangat menyayangi kalian…”

“…kalau begitu jangan pergi Hana. Kamu dan Bibi Yi juga bisa bekerja disini dan digaji, nenek akan segera menghubungi Bu Vanessa jika kau mau tetap tinggal dan bekerja disini, ya?” Nenek Dana berusaha membujuk agar Hana berubah fikiran. Namun ucapan nenek Dana malah membuat tekad Hana semakin bulat. Mana mau dia berhutang budi pada ibu dari pria brengsek itu. Itu sama saja dia jadi pegawai pria mesum itu kan? Jelas Hana menolak keras.

“Saya hanya ingin berusaha memperbaiki hidup dan diri saya sendiri, Nek. Saya tidak bisa selamanya lemah dan menghindar dari masa lalu. Sekarang saya akan berusaha menjadi ibu yang kuat, demi Yuri. Hana sangat berharap nenek mengerti dan mendukung Hana.”

Perlahan Hana mendekati nenek Dana yang terlihat sangat berat menerima keputusannya. Dengan lembut Hana meraih tangan wanita tua itu dan mencium punggung tangannya lama. Tanpa bisa ditahan Hana menangis. Betapa beruntungnya dia dipertemukan dengan orang-orang baik yang mau menerimanya, melindunginya, menemaninya bahkan menganggapnya sebagai keluarga. “Hana hanya bisa mengucapkan terima kasih, Nek…terima kasih karena menerima…Hana…” rasa sedih ini membuat Hana susah berbicara. Dia ingin menumpahkan semua perasaannya namun mulutnya hanya bisa terisak menahan luapan emosinya.

“Hana…Nak…” Nenek Dana merengkuh Hana dalam pelukannya dan kedua wanita itu menangis bersama menyampaikan semua kata yang susah untuk diungkapkan. Saling mengerti walau tak terucap. Saling memahami walau tidak dijelaskan.

“Kamu kuat, Hana. Nenek belum pernah bertemu dengan wanita sekuat dirimu. Semoga kebahagian selalu menyertaimu, Nak. Datanglah kembali jika kau mau, Nenek akan selalu menyambut kehadiranmu dan Bibi Yi.” Nenek Dana membelai lembut rambut panjang Hana, dan mencium pipi Hana sayang. “Nenek mendo’akan yang terbaik untuknya, Hana, kesayangan nenek.” tidak tahan wanita tua itu kembali memeluk Hana erat. Merekam momen ini untuk dijadikan kenangan indah.



Hana, Bibi Yi dan Yuri membutuhkan waktu selama tiga hari untuk dapat menjelaskan kepergian mereka pada anak-anak panti. Tidak ada yang rela. Tidak ada yang setuju. Mereka marah. Menangis. Memohon berharap Hana membatalkan kepergian mereka. Bahkan Yuri pun sempat mogok makan saat tahu jika dia harus meninggalkan teman-teman pantinya. Hana, Bibi Yi dan Nenek Dana menjelaskan dengan sabar dan membujuk anak-anak itu untuk mengerti. Perpisahan memang menyakitkan namun jika untuk menjemput kebahagiaan maka harus terus dijalani.

Nenek Dana mengajak anak-anak panti untuk mengantar kepergian Hana. Dia sengaja meminjam angkot Pak RT sekaligus sopirnya untuk mengantar ke stasiun kereta Rangkasbitung. Barang-barang Hana, Bibi Yi dan Yuri tidak terlalu banyak. Mereka hanya membawa dua tas travel ukuran besar dan sedang. Sedangkan keperluan Yuri dia bawa sendiri diransel kuda poninya.

Hana mencium dan memeluk anak-anak yang masih terisak. Walau malu dilihat orang lain, namun anak-anak itu tidak dapat menahan air matanya dan bolak balik menghapus dengan baju. “Jangan keras-keras nanti merah lho matanya digosok gitu!” Hana mengingatkan dengan lembut.

Terdengar tangisan histeris disebelahnya dan tanpa melihat pun Hana sudah tahu siapa pemilik suara itu.

“Aaaaa…jangan nangiiiss…aku kan jadi nangis jugaaaa….!!!” Yuri menangis bersama dua teman lainnya dan membuat semua orang melihat kearah mereka.

Hana dan Bibi Yi jadi kelabakan. Air mata langsung berhenti seketika. Bibi Yi langsung panik saat dua orang sekuriti datang mendekati mereka. “Waduh bisa dikira kita culik anak ini, Hana!”

“Selamat pagi ibu-ibu. Apa ada masalah disini?” tanya salah satu sekuriti. Dan syukurlah nenek Dana mengenal mereka.

“Maaf, Pak, mereka anak-anak Panti Kasih Bunda, lagi kangen-kangenan jadinya bikin heboh!” jelas Nenek Dana.

“Iya Bu, ga apa-apa, hanya saja tadi sempat bikin heboh.” sekuriti yang lebih tua menatap geli pada Yuri dan sahabatnya yang masih menangis namun dalam volume suara yang lebih kecil.

Tak lama suara pemberitahuan memenuhi seluruh stasiun. Menginformasikan jika kereta menuju Tanah Abang, Jakarta akan sampai sebentar lagi. Kali ini semuanya lebih tenang dan sudah merelakan perpisahan hari ini. Sekali lagi Hana memeluk Nenek Dana dan anak-anak panti yang diikuti oleh Bibi Yi. Yuri pun tak lupa mencium tangan Nenek Dana dan dihadiahi ciuman pada pipi gembul itu.

“Baik-baik ya kalian di Jakarta.”

“Iya, Nek. Makasih.”

Dan kereta yang akan membawa Hana ke jalan hidupnya kemudian telah tiba di stasiun. Mereka saling melambaikan tangan dengan haru. Tidak ada tangis lagi. Hanya ada senyuman yang menjanjikan pertemuan selanjutnya yang lebih indah. Namun tanpa Hana sadari, keputusannya kembali ke Jakarta pada hari ini lagi-lagi menjauhkannya pada pencarian seorang pria yang baru akan kembali ke Indonesia. Entah takdir pertemuan yang seperti apa yang akan mereka alami selanjutnya.

19_Love




Aryo menatap malas pada ayah dan ibunya. Apakah ajakan mereka hanya sebuah jebakan dan Aryo sudah terperangkap di dalamnya. Bagaimana bisa Andini ikut mereka ke Singapura. Alasan jika dokter muda itu adalah dokter yang akan mendampingi ibunya terasa sangat omong kosong. Apa lagi rencana ibunya kali ini. Aryo benar-benar kecewa.

“Ibu kan didalam lama nih, kalian bisa sekalian jalan-jalan selagi nunggu Ibu selesai, gimana?

Aryo hanya menghela nafas kasar, berbalik dan melangkah pergi tanpa mengatakan apapun. Jujur dia malas berbicara dengan Ibunya saat ini.

“Mas Aryo, tunggu!” Andini mengejar Aryo yang semakin menjauh.

Dokter Yudha hanya bisa melihat punggung mereka, namun bisa ditebak jika saat ini hati putranya itu sedang tidak baik-baik saja.

“Sudah kubilang ini bukan ide yang bagus, Ka.”

Ika menatap suaminya dengan pandangan serba salah, “Aku hanya berharap Aryo bisa kembali seperti dulu, Mas. Sekarang Aryo seperti boneka yang dikasih nyawa. Sampai kapan dia mau mencari Hana, Mas. Ini sudah hampir lima tahun!”

Yudha mengusap-usap punggung istrinya. Setelah Ika memberitahu dia jika Aryo menolak perjodohan dengan Andini karena sedang mencari Hana, cukup membuatnya kaget. Seingatnya dulu Aryo bahkan lebih marah dan kecewa saat Hana berhubungan dengan pria lain. Bahkan Aryo langsung setuju pertunangan mereka batal. Namun putranya sudah dewasa, apapun jalan yang diambil pasti sudah atas pemikiran matang dan sebagai orang tua jujur dia tidak mau ikut campur, tapi sepertinya istrinya punya pemikiran lain.

Mata Yudha kembali melihat kearah Aryo dan Andini yang sekarang sudah tidak terlihat lagi.

“Mas Ar, tunggu.”

Aryo mengabaikan Andini yang terus memanggil bahkan dia tidak mau repot-repot berhenti atau hanya sekedar mengurangi kecepatannya. Sejak dulu Aryo memang menuruti apapun kata kedua orangtuanya tanpa paksaan. Dia malah merasa itu hal yang wajar dan harus dilakukan seorang anak kepada orangtuanya namun Aryo bukanlah tipe yang mau diatur jika dia memang tidak mau. Seperti situasi saat ini. Aryo bahkan mengabaikan kehadiran Andini sejak awal mereka berangkat.

Andini merasa senang saat langkah Aryo memelan, padahal pria itu hanya ingin duduk di sebuah kursi taman yang terbuat dari kayu. Nafas Andini putus-putus saat sudah berada di depan Aryo. Dengan gugup gadis itu mendudukkan dirinya disebelah Aryo namun tetap memberi jarak kesopanan.

“Wah, cuacanya bagus ya?”

Aryo yang sudah mengenakan kacamata hitamnya sejak keluar dari rumah sakit hanya menatap ke depan tanpa berkomentar apapun. Tangan pria itu disenderkan dipegangan kursi dan satunya dia biarkan diatas pahanya sedangkan kakinya menyilang santai. Siang ini Aryo mengenakan kaos putih berkerah yang dipadukan dengan jeans hitam. Karena akan keluar negeri ibunya memaksa Aryo untuk merapikan segala macam rambut yang ada di kepala pria itu, alhasil Aryo kehilangan brewok yang tanpa sadar dia pelihara.

Andini menatap bangga sosok Aryo lama, menikmati dan merekam keindahan seorang pria yang akan menjadi calon suaminya kelak. Sangat bahagia, itulah yang Andini rasakan saat ini. Seorang pria sempurna yang selama ini hanya mampir dalam mimpi dan jauh dari jangkauan kini ada didepan matanya. Lihat saja bukan hanya dia yang terlena dengan pemandangan ini. Semua orang yang melewati mereka terutama perempuan pasti akan tertegun beberapa detik atau kembali menoleh menatap sosok Aryo yang sangat mencolok. Kulit putihnya bagai memantulkan cahaya matahari dan baju putih yang dipakai membuat pria itu semakin bersinar.

“Mas, selagi menunggu Ibu Ika kita mau kemana?” Andini mencoba menarik perhatian Aryo yang sedari tadi hanya diam.

“Bukankah kau disini untuk menjadi dokter pendamping? kenapa tidak lakukan saja tugasmu?” Yah, inilah Aryo yang sebenarnya. Dia tidak akan menahan diri kepada orang yang sejak awal sudah tidak dia sukai. Apalagi perempuan yang berkedok kerja namun punya niat lain didalamnya.

“A..itu tadi kata dokter Yudha untuk hari ini beliau yang akan mendampingi, jadi aku…”

Ucapan Andini terhenti saat Aryo menghela nafas kasar, “Aku tidak akan mengatakan untuk kedua kali jadi pasang kupingmu dan dengarkan…” Aryo melepas kacamatanya, tubuhnya sedikit maju dan menatap Andini lurus. Wanita itu tanpa sadar menahan nafasnya saat atensi Aryo penuh kepadanya.

“Jika kau mengharapkan ada hubungan yang berlanjut antara kita berdua maka jawabannya adalah tidak. Kita tidak akan kemana-mana. Tapi kalau ambisimu memang ingin menjadi direktur rumah sakit silahkan, aku tidak akan menghalangi. Tapi jika niat yang ada dipikiranmu itu termasuk mengikatku maka dengan tegas aku katakan, Tidak! Dan asal kau tau Ibu juga tidak akan bisa memaksaku.” Aryo kembali menyenderkan tubuhnya kesandaran kursi.

“Kau juga tidak kusalahkan sepenuhnya karena sudah terlibat dalam rencana ibuku dan percayalah kau tidak spesial. Sudah ada perempuan-perempuan lain sebelum kau yang juga masuk ke rencana itu namun hasilnya tetap sama, Nihil!”

Kepala Andini tertunduk. Sungguh dia merasa sangat malu. Keyakinan yang sudah mengakar dihatinya sejak sebulan yang lalu kini dicabut dengan paksa. Andini bukanlah orang bodoh yang tidak paham situasi. Pria didepannya ini tidak pernah menganggap dia ada, bahkan mungkin tidak masuk jarak pandangnya. Aryo tidak ingin mengenalnya, tidak ingin berlama-lama dengannya, dan Andini cukup tahu diri. Namun tetap saja ada rasa sakit dan rasa penasaran yang mencokol dihati wanita itu.

“Apa Mas Aryo sudah punya kekasih?”

Aryo tertegun sejenak. Dikepalanya langsung muncul sosok Hana yang sedang tersenyum dan kemudian ingatan itu tergeser paksa kesaat Hana menangis pilu dan kesakitan. Aryo memejamkan matanya, rahangnya mengeras menahan segala macam emosi yang kembali terangkat.

“Bukan urusanmu, dan sebaiknya kau kembali ke Jakarta sekarang. Sudah tidak ada gunanya kau disini.” Aryo bangkit dan pergi meninggalkan Andini yang masih terduduk di kursi taman.

Aryo tidak langsung masuk kembali kedalam rumah sakit. Pria itu hanya berputar-putar tidak tentu arah. Dia hanya ingin menghabiskan waktu sendiri tanpa diganggu oleh siapa pun.

Langkahnya perlahan berhenti saat melihat kios penjual aksesoris. Bentuk yang lucu dan manis cukup menarik perhatiannya.

‘Bukankah Hana punya seorang anak perempuan?’

Aryo mendekati kios aksesoris itu dan melihat-lihat bentuk yang dia anggap menarik. Namun sampai beberapa menit dia masih belum menemukan yang cocok. Diambil. Diletakkan lagi. Ambil. Letak. Begitu terus sampai penjual kios penasaran.

“Boleh, apa yang bisa dibantu?”

“Ah, saya mencari aksesoris untuk anak perempuan, tapi masih bingung.” Aryo menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Hilang sudah sosok sinisnya saat bersama dengan Andini tadi.

“How old, ah?” Tanya si bapak penjual sambil memilih-milih gelang dan ikatan rambut.

“4 Tahun.”

Bapak penjual kios menepuk tangannya, “Aduhai, anak perempuan empat tahun, ya? Banyak pilihan aksesoris yang comel dan cute untuk umur segitu! Ini, cantek, ah?

Aryo menatap dua benda yang ada ditangan penjual kios, di kanan ada ikat rambut berwarna putih dengan hiasan boneka beruang kecil berwarna coklat dan ditangan kirinya ada gelang etnik berwarna biru muda dengan hiasan bintang-bintang yang sangat lucu.

“Saya ambil dua-duanya dan tambah ini, ini, ini…” merasa belum cukup Aryo kembali menambah barang belanjaannya yang semakin membuat si penjual tertawa lebar.

Akhirnya belanjaan Aryo jadi banyak. Dengan santai pria itu menenteng dua paper bag yang berwarna feminin dan bermotif lucu. Entah kapan dia akan memberikan semua ini pada Hana dan putrinya. Semoga saja dalam waktu dekat. Jujur Aryo sudah tidak sabar kembali ke Jakarta dan langsung berangkat ke Pandeglang.

Kakinya melangkah mendekati ruang chek up ibunya. Pintu masih tertutup yang menandakan ibunya belum selesai. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Andini disini. Mudah-mudahan perempuan itu sudah pergi dan tidak mengganggunya lagi. Aryo duduk dikursi tunggu dan meletakkan belanjaannya dipaha. Dengan senyum geli dia melihat semua aksesoris yang dibeli tadi. Sepertinya si bapak penjual bisa langsung pulang karena Aryo hampir memborong semua dagangannya.

Perlahan pintu ruang pemeriksaan terbuka dan Aryo kembali memasukkan belanjaannya ke paper bag. Dia meletakkan paper bag itu dikursi dan beranjak membantu ibunya. Ayahnya masih berkonsultasi dengan dokter sambil berjalan dibelakang.

Dokter Yudha mengucapkan terima kasih dan pamit kepada dokter tersebut.

Ika yang sadar jika Aryo hanya sendiri mulai melihat kesekelilingnya, “Andini dimana, Ar?”

Aryo hanya menaikkan bahu, “Ga tau, tadi pisah diluar. Kita balik ke hotel sekarang, Yah?”

“Iya, Ibumu harus istirahat. Ayah juga masih capek. Untung saja acaranya diundur besok.” Pak Yudha menahan tubuh Ika, “Sayang, pakai kursi roda aja ya?” dan lagi-lagi Ika menggeleng, “Ga mau, udah mirip orang sakit. Aku kan cuma chek up bukan sakit dan Ar…”

Aryo yang kembali ke kursi untuk mengambil paper bag menoleh saat dipanggil, perasaannya tidak enak.

“…coba kamu telpon ponselnya Andini, tanya dia dimana?”

Benar kan?

“Paling balik ke hotel duluan, Bu. Aku kirim pesan aja ya?” tanpa menunggu jawaban ibunya Aryo mengirim pesan ke Andini mengatakan jika ibunya sudah selesai dan mereka kembali ke hotel.

Dokter Yudha menatap aneh pada dua paper bag berwarna manis seperti kue yang ada ditentengan tangan Aryo. Kombinasi yang sangat tidak cocok sekali.

“Kamu beli apa, Ar?”

Aryo mengangkat paper bag ditangannya dan menjawab tanpa beban, “Buat oleh-oleh. Ya udah Ayah dan Ibu tunggu di lobi ya, aku ambil mobil dulu.”

Sepeninggalan Aryo, Ika menarik sikut suaminya, “Kayaknya mood anakmu udah ga segelap tadi deh, Mas?”

Dokter Yudha menghela nafas lega. “Iya, tadi Mas juga kepikiran didalam, eh ternyata pas pulang Aryo udah keliatan baik-baik aja.”

Kedua suami istri itu mengucap syukur karena uring-uringan putranya tidak berlangsung lama. Namun dalam hati keduanya tetap merasa janggal dengan paper bag lucu yang dibawa-bawa Aryo. Tumben dia beli oleh-oleh sendiri dan tidak meminta sekretarisnya yang memesan seperti biasa.

Dan kenapa pula oleh-olehnya seimut itu?

18_Love



"Kau tidak bisa memperlakukan kami seper..."

BRAK!!!

Semuanya terdiam. Valdie menggebrak meja dengan sangat keras. Mata tajam itu menatap seorang pria tua yang tidak terima sahamnya diambil alih.

"TENTU SAJA AKU BISA! BAHKAN SANGAT BISA!".

Bentakan Valdie semakin menciutkan nyali para koruptor itu. Semua berusaha mencari tahu apa kalimat Valdie selanjutnya dalam kepala masing-masing.

"Dua tahun...dua tahun waktu yang sudah aku berikan untuk kalian berhenti berulah. Tapi sepertinya masih kurang ya..."

Semuanya memucat. Mereka yakin hari ini adalah hari eksekusi yang mereka kira tidak akan pernah datang. Mengingat betapa melimpahnya harta kekayaan keluarga Chandra. Betapa samarnya keberadaan mereka. Betapa cueknya Putra Mahkota mereka yang tidak akan mungkin mau repot-repot mengurusi cabang perusahaan yang ada di Indonesia. Cabang yang menjadi peringkat kesekian dibandingkan cabang lain yang tersebar di seluruh dunia.

Valdie tersenyum sinis. "Apa kalian kira kami akan membiarkan kalian berulah walaupun cabang perusahaan ini beromset paling rendah diantara yang lain." Valdie tersenyum sinis.

Valdie mengamati satu persatu wajah kalah dan gelisah para manusia tamak di depannya, dengan rasa puas. Sungguh hiburan yang menyenangkan membuat orang berada dibawah kakinya. Membayangkan mereka pulang dan berkata...'Papa dipecat!' atau membayangkan istri-istri mereka menangis histeris karena jatuh miskin, tanpa sadar membuat Valdie tertawa kecil. Keterlaluan memang, tapi ini benar-benar sangat menyenangkan.

Membuat orang bertekuk lutut bahkan sampai mencium kakinya adalah hal yang sangat menyenangkan bukan?

Dengan santai putra mahkota keluarga Chandra itu mengangkat tangannya seakan memberi perintah, dan benar saja saat melihat Zaki berjalan mendekat perasaan para jajaran direksi yang merasa memiliki dosa gelisah dan tidak nyaman sedangkan mereka yang memiliki integritas dan loyalitas tinggi pada perusahaan hanya menatap penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dengan cepat dan pasti, Zaki langsung menyambungkan laptop yang dia bawa dengan kabel yang tersambung kelayar infokus. Begitu tampilan layar itu muncul, berderet-deret angka terpampang rapi dan detil.

“Kalian tau ini apa?” suara Valdie terdengar tajam namun penuh ejekan. Seringai dibibirnya tidak perlu repot-repot dia tutupi.

“Kami tidak tahu apa maksud Anda, Pak Valdie.” Salah seorang direksi bertanya dengan raut yang terlihat bingung.

Valdie tersenyum, “Tentu saja Pak Hendro tidak tau, karena hanya beberapa orang saja yang paham dengan apa yang ditampilkan disini, benar bukan, Pak Hilman?”

“Sa…ya tidak paham maksud Pak Valdie..”

“Ya sudah…” Valdie malas untuk berbasa-basi dan langsung memotong usaha seseorang yang masih ingin berkelit dari bukti yang sudah terpampang jelas.

“Berhubung hari ini saya sedang baik hati…biar saya saja.” Valdie berdiri, berjalan mendekati layar dan menolak Zaki yang ingin menggantikannya.

“Saya akan memberi penjelasan untuk para direksi yang tidak tahu tentang apa yang ada dibalik angka-angka ini, dan…” Valdie memberi jeda yang cukup dramatis sebelum melanjutkan, “…menyegarkan kembali ingatan beberapa orang tentang angka-angka ini.”

“Baik, saya akan memulai presentasi saya hari ini. Semoga bapak/ibu dapat memperhatikannya dengan baik.” Valdie mengambil posisi dengan tangan yang ditangkupkan didepan dada. Terlihat sopan namun menakutkan bagi sebagian orang. Apa pria itu punya kepribadian ganda?

“Pada slide pertama, anda akan melihat pembukuan palsu yang dibuat oleh bagian keuangan kita yang tercinta. Bagian merah adalah kolom pengadaan yang fiktif, pengadaan yang ditujukan untuk proyek yang bahkan belum berjalan. Bagaimana sudah jelas? Apa ada pertanyaan?” tingkah Valdie yang menjelaskan tanpa beban dan santai malah membuat semua yang terlibat sudah keringat dingin.

“Selanjutnya…next Zaki!” dan slide berganti dengan foto-foto yang membuat semua mata terbelalak. “Pada slide kedua, kita dapat melihat foto-foto dari jajaran direksi yang sangat kita kenal baik…” saat Valdie bicara direksi yang lain memandang kearah tokoh yang ada difoto tersebut. “…sedang melakukan transaksi dengan oknum pemerintah dan lagi-lagi tidak berkontribusi untuk perusahaan.”

Valdie kembali duduk dengan anggun keatas kursinya, menyatukan jari dan menopang dagunya. “Jujur, cara kotor tidak saya larang untuk kepentingan perusahaan. Tapi jika hal itu malah merugikan perusahaan maka ceritanya akan lain…”

Belum sempat Valdie menyelesaikan paparannya yang masih berlangsung, tiba-tiba ada seseorang yang mendobrak pintu ruang rapat dan membuat semua perhatian teralih kepada seorang pemuda yang bertampang menyedihkan. Nafas pria itu terputus-putus seperti habis berlari dan bajunya bahkan sudah basah dengan keringat yang bercucuran.

“APA YANG KAMU LAKUKAN, WAWAN! DASAR TIDAK SOPAN! INI RAPAT DIREKSI! KELUAR KAMU!” bentak salah satu direksi wanita yang sudah jelas atasan pria itu.

“Ta..tapi bu Anne, ibu sudah janji kalau saya tidak akan terbawa. Ibu kan..”

“Tutup mulutmu, dan keluar dari ruangan!” suara seseorang lagi entah siapa.

Sedangkan sang pemimpin rapat hanya menonton dengan tatapan tertarik seperti sedang menyaksikan drama china yang sedang popular saat ini. Bibirnya bahkan tersenyum lebar kesenangan. Om Indra disamping hanya menutup wajahnya dengan pasrah.

Yah, semua ini rencana Valdie. Meminta Zaki, menyebarkan gosip jika hari ini adalah rapat penyidangan para direksi yang sudah mengkhianati perusahaan dan akan memecat siapapun yang terlibat baik pimpinan maupun pegawai terendah sekalipun. Bahkan ada ancaman mengganti kerugian perusahaan yang nilainya bahkan mencapai milyaran.

Dan sekarang tanpa dia perlu repot-repot ikan sudah terpancing dengan mudah. Valdie yakin pria yang baru datang itu adalah salah satu pegawai yang terlibat dan benar saja tidak lama beberapa orang pegawai lain menyerbu masuk kedalam ruang rapat. Suasana menjadi sangat gaduh.

Ada beberapa pegawai yang marah, ada yang menangis bahkan ada yang hanya terdiam pasrah akan nasibnya. Sedangkan para atasan mereka wajahnya sudah merah padam bahkan ada yang sampai mengkah maju ingin memukul bawahannya namun karena hal itu sudah diduga maka pihak sekuriti sudah berjaga-jaga dan menghalangi dengan tangan mereka.

“Pak Hilman, bapak sudah berjanji akan melindungi saya, kan? Uang yang bapak kasih belum saya pakai dan akan saya kembalikan, tapi tolong jangan sampai dipecat, saya mohon pak!” salah satu pegawai wanita bagian proyek menangis tersedu-sedu.

“JANGAN BICARA SEMBARANGAN KAMU, YA! KURANG AJAR!” sekali lagi pria arogan itu mau menampar namun kali ini tangannya ditahan. Zaki melihat pria itu dengan tatapan datar dan mendorong tubuh pria itu menjauh. “Saya peringatkan jangan main kasar, Pak Hilman.”

Tepukan tangan terdengar dari balik beberapa tubuh direksi yang ternyata telah berdiri semua karena kegaduhan yang baru saja terjadi. Semua atensi kembali tertarik kearah Valdie. Dengan anggun namun penuh ancaman, pria tampan itu berjalan mendekati kerumunan pegawai yang menatapnya dengan campuran perasaan yang berbeda-beda.

“Hukuman tetap ada untuk yang bersalah…” suara Valdie bagaikan irama kematian ditelinga mereka semua. Bahkan Om indra sampai bergidik.

“Namuuunn…dalam hukuman terdapat keringanan, bukan?” kalimat yang diucapkan dengan lembut dan mendayu tersebut malah membuat semua orang merinding ketakutan.

“Jika kalian mau bicara jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi, maka saya tidak akan keberatan untuk memberikan keringanan. Tapi itupun jika kalian mau?”

“Mau, Pak…mau. Saya bersedia asal jangan dipecat, saya mohon. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini..” jawab pria pertama yang tadi membuka pintu ruang rapat dan diikuti oleh semua pegawai lainnya.

“Tapi pak Valdie, mereka hanya…”

“Bu Anne tenang saja. Tim investigasi perusahaan yang akan menyelesaikan semua ini. Pemberian hukuman dan keringanan pun akan berasal dari rekomendasi mereka, saya hanya tanda tangan diakhir saja.”

“Baiklah sepertinya rapat hari ini sudah selesai dengan sangat jelas dan ‘tenang’. Jadi saya akan membentuk tim investigasi yang akan menyelidiki semua penyelewengan dana dan aktivitas fiktif yang terjadi beberapa tahun ini. Tim akan diketuai oleh Pak Indra dan Zaki sebagai wakil, anggota lain akan ditentukan selanjutnya. Jadi saya mohon kerjasama yang baik dari anda-anda semua. Kalau begitu saya permisi.”

Valdie langsung berjalan keluar ruang rapat diikuti oleh Om Indra dan Zaki. Kerumunan orang-orang yang berkumpul didepan pintu ruang rapat langsung terbelah saat mereka berjalan, Valdie menepuk bahu pria yang dengan nekat mempertaruhkan nasib dan karirnya hingga berani mendobrak pintu ruang rapat. Apapun alasan, situasi dan kondisi yang mereka hadapi, kecurangan tetap tidak dibenarkan. Dan Valdie cukup memberikan apresiasi untuk pria ini, yang segera sadar jika dia sudah dimanfaatkan atasannya. Yah, dipindahkan ke luar pulau domisili tidak terlalu buruk kan?

Zaki mengarahkan ruangan yang akan ditempati Valdie selama di Indonesia. Dulunya ruangan itu kosong karena Om Indra tidak pernah mau diangkat menjadi Direktur di kantor cabang Jakarta. Alasannya kalau sudah diangkat susah pensiun dan ayahnya yang baik hati itu selalu menyetujui permintaan adik sepupunya.

“Silahkan, Pak.” Zaki memundurkan tubuhnya setelah membuka pintu, memberi jalan untuk Valdie masuk.

Tidak buruk. Besarnya sedikit lebih luas dari ruangannya Aryo. Valdie mengamati setiap sudut yang akan mengurungnya selama disini. Semua susunan dan dekorasi ruangan cukup membuatnya puas. Sepertinya Om Indra sudah bertanta ini itu pada kedua orang tuanya tentang selera Valdie. Namun ada satu yang kurang menurutnya. Valdie mengusap-usap dagunya dan akhirnya tersenyum senang saat menemukan jawaban.

“Zaki, carikan sekertaris untukku.”

“Perempuan. Sudah cukup satu laki-laki saja yang menjadi asistenku.” Otak gilanya mulai kambuh.

Zaki terlihat mengerutkan kening. Otaknya memindai para wanita yang sekiranya memenuhi syarat menjadi sekretaris bos barunya ini.

“Ada Chintya, Gema dan Putri, Pak. Mereka lulusan terbaik dari kampusnya masing-masing. Manjadi pegawai terbaik dibagiannya dan selal…”

“Apa mereka cantik atau menarik?”

Dalam hati Zaki menghela nafas. Bisa dipecat dia jika benar melakukannya. Ternyata apa yang dikatakan Pak Indra benar jika jangan tertipu dengan kepintaran dan ketegasan sang putra mahkota karena kenyataannya pria didepannya ini adalah kaisarnya buaya darat. Catat kaisar dan bukan raja. Dan syukurlah Zaki sudah memilih para wanita cantik, menarik dan cukup pintar sebagai cadangan pilihan.

“Ada Celia, Maura dan Siwi, Pak.”

Valdie tersenyum puas. “Panggil mereka kesini.”



Tidak sampai lima belas menit menunggu, para calon sekretaris yang dipilih Zaki sudah berjejer berdiri didepan Valdie. Puas. Itulah yang dia rasakan saat ini. Ukuran dada yang lumayan besar dari Maura yang menatapnya genit. Kaki jenjang dan mulus dari Celia yang menatapnya lurus namun wanita itu selalu membuka mulutnya sedikit seolah ingin menarik bibir Valdie agar menciumnya dan si gadis berkaca mata bernama Siwi, yang terlihat polos namun Valdie yang seorang player tahu itu hanya kedoknya saja.

Namun jangan salahkan wanita-wanita ini bersikap seperti itu. Mereka hanya sedang dihadapkan oleh sosok pria yang sangat amat tampan, berbadan ‘wow’ dan bermata menggoda. Senyumannya pun sangat seksi yang menjanjikan malam panas yang tidak akan terlupakan. Dan tentunya wanita-wanita itu akan melakukan apapun untuk jadi sekretaris dari pria sesempurna Adonis ini.

“Jadi namamu, Maura?”

“Iya, Pak. Dan saya siap untuk menjadi sekretaris bapak dalam tugas apapun.”

Dan Zaki hanya bisa terbelalak melihat keberanian para wanita ini. Apa mungkin ini karena feromon atasannya yang terlalu kuat.

“Menarik. Dan yang di teng..”

Om Jahat!

‘Eh?’

Valdie mengedipkan matanya beberapa kali.

“Yang ditengah Celia, kan?”

“Iya, Pak. Saya ak…”

Om Jahat!

Valdie menggelengkan kepalanya beberapa kali dan hal itu tak lepas dari perhatian Zaki.

“Ada apa, Pak? Apa bapak kurang enak badan?”

“Tidak…aku tidak apa-apa.” Kok bisa-bisanya dia mengingat suara si squishy saat ini. Dan suara itu seakan memarahinya.

“Kalian keluarlah!”

Dan wanita-wanita itu hanya menatap Valdie bingung. Apa pria itu sudah menetapkan pilihannya.

“Kalian bisa kembali kepekerjaan masing-masing.” Zaki mengusir halus dan langsung mengarahkan wanita-wanita itu keluar.

Setelah kembali Zaki hanya berdiri di depan Valdie, walau dia pun bingung dengan tingkah atasannya ini namun dia harus tetap professional.

“Diantara wanita yang pertama kau sebutkan tadi, siapa yang kau rekomendasikan?” Tanya Valdie sambil mengurut keningnya.

“Saya rekomendasikan Gema, Pak. Gema masih lajang dan biasa bekerja lembur. Anaknya gesit dan paham IT. Selama dia berada di perusahaan ini sudah beberapa aplikasi ciptaannya yang dipergunakan untuk mempermudah pekerjaan para pegawai.” Jelas Zaki.

Valdie mempertaruhkan keberuntungannya saat bertanya, “apa dia…menarik?”

Zaki terdiam sebelum menjawab. “Gema pernah menjuarai turnamen Taekwondo tingkat Nasional mewakili daerah Jakarta, Pak.”

Dan jawaban dari Zaki menghapus semua harapan Valdie untuk bersenang-senang dikantor dengan sekretarisnya. “Ya sudah, besok dia sudah bisa bekerja dengan kita.” Balas Valdie pasrah. 

‘Dan ini semua karena si squishy itu. Awas ya nanti kalau ketemu.’

17_Love



"Harus ya? Apa tidak bisa diganti Surat Keterangan Lahir dari bidannya, bu? Kalau itu saya ada...nanti difotokopi."

"Tidak bisa bu Hana, maaf. Tapi sesuai peraturan yang dibuat Kepala Yayasan yang baru, pendaftar harus melampirkan fotokopi Akte Kelahiran dan memperlihatkan yang asli pada pihak sekolah."

Sungguh, salah satu guru yang memang sudah mengenal Hana tidak tega melihat wajah lesu wanita itu. Tapi apa boleh buat. Kepala Yayasan yang sekarang begitu ketat dengan peraturan.

Ada sih beberapa sekolah yang masih menerima Surat Lahir tapi lokasinya terlalu jauh hanya untuk TK. Dan Yuri sudah sangat bersemangat untuk masuk sekolah. Gadis kecil itu pasti kecewa jika Hana membatalkannya.

"Ya sudah bu...apa boleh buat. Terima Kasih ya, bu. Permisi." pamit Hana.

"Sama-sama bu Hana. Sekali lagi saya minta maaf."

Hana hanya membalas dengan senyum dan anggukan samar.

Sampai diluar, Hana kembali berbalik dan memandang bangunan yang dia kira bakal menjadi sekolah putrinya. Desahan lelah dan kesal pun terhembus.

"Ck...kenapa juga Kepala Yayasan harus ganti pas Yuri mau masuk..." gerutunya sambil berjalan kearah parkiran motor.

Hana pulang dengan membawa kembali berkas-berkas Yuri.





Rika. Mahasiswi yang sedang liburan dan pulang kekampung. Hitung-hitung memperbaiki gizi katanya.

Gadis manis itu sekarang sedang bermain dengan Yuri dan seekor kucing berbulu setengah lebat. Hasil perselingkuhan kucing persia Pak RT dengan joni, si kucing kampung yang suka berkeliaran didekat Panti Asuhan.

"si Kutil makin gede makin lucu ya, Dek?"

Yuri manggut-manggu dengan semangat. "Iya Kak Lika...lucu banget deh...Adek suka. Tapi mamanya udah ga cinta cinta lagi sama joni..."

Rika takjub. Apa ini. Inikah wujud anak gen alpha yang sebenarnya. TK aja belum udah tau cinta cinta.

"Ee...emang adek tau cinta itu apa?" tanya Rika penasaran.

"Tau dong!"

Bibi Yi yang sudah memperhatikan mereka dari tadi jalan mendekat dan duduk disebelah Rika. Sama-sama penasaran.

"Cinta cinta itu kalo cowok sama cewek ketawa-ketawa beldua, bicik-bicik tlus dekat-dekat."

Tawa Rika langsung pecah dan Bibi Yi mengurut dada mengucap syukur. Untung Yuri tidak berpikir jauh. Mulai malam ini Bibi Yi akan melarang sinetron diputar di Panti. Nenek Dana harus nurut dan tidak boleh membantah. Padahal Bibi Yi dan Hana juga suka nimbrung. Nonton bareng, bahas bareng, baper bareng, emosi bareng.

Suara motor Hana terdengar mendekat. Ketiga perempuan berbeda generasi itu langsung menoleh.

Yuri yang tahu bundanya pulang langsung bangkit berlari kearah motor Hana yang sudah berhenti.

Yuri menunggu Hana selesai mematikan mesin dan menggantung helm, baru gadis kecil itu melompat kepelukan bundanya.

"Bunda gimana? Adek jadi sekolah kan?"

Hana tersenyum dan menyelipkan anak rambut Yuri kebalik telinganya. Dengan gemas dicubitnya pipi gembil itu lembut.

"Iya dong, Dek...masa ga jadi. Tapi syaratnya Adek harus bobo siang sekarang, ya?"

Yuri langsung merosot turun dari gendongan Hana dengan cepat sampai membuat Hana kaget.

"Dek Yuri jangan gitu lagi, bahaya!"

Yuri tertawa sambil berlari kearah Panti dan berbalik saat sudah dekat pintu.

"Bunda kalo malah gitu milip Om Ganteng!" teriak Yuri dan tertawa. Belum sempat Hana membalas putrinya itu sudah masuk kedalam Panti.

Mood Hana semakin memburuk saat diingatkan tentang Valdie. Hana meletakkan berkas-berkas Yuri keatas saung dengan sedikit membanting. Rika memandang Bibi Yi yang mengangkat bahu tanda tidak tahu.

"Kenapa Hana? Ada masalah tentang sekolah?"

Hana menghela napas lelah dan ikut duduk, "Iya, Bi. Harus pakai Akte Kelahiran katanya."

"Cari sekolah lain aja mba, kalau disitu susah..." saran Rika. Bibi Yi juga mengangguk setuju.

"Tadinya sempat mikir gitu, Ka. Tapi sekolah lain kan lumayan jauh..." Hana menarik napas sebelum melanjutkan.

"...mana tadi mba baru sadar kalau Surat Keterangan Lahir Yuri ga dicap sama bidannya."

"Ya ampun...ada-ada aja.." Bibi Yi menyesali keteledoran mereka. Kehamilan yang tadinya tidak diinginkan, kelahiran yang terburu-buru dengan biaya yang pas-pasan membuat mereka tidak memperhatikan hal-hal penting seperti ini. Sudah kejadian baru sadar.

"Trus sekarang gimana, mba?"

Hana terdiam. Sepanjang jalan pulang dia sudah memikirkan segala cara. Namun tetap buntu. Hingga saran dari Rika sampai ketelinganya.

"Kenapa mba Hana ga balik ke Jakarta lagi aja?"

.

.

Valdie terus berjalan lurus tanpa memperdulikan orang-orang yang didominasi paruh baya terbungkuk-bungkuk menyambutnya dan terus berbicara penuh pemujaan dan penjilatan.

Dasar mental kacung tetap saja menjadi kacung walau sudah didandani dengan jas dan dasi mahal.

Valdie tiba-tiba berhenti. Tubuhnya berputar kebelakang pelan dengan kesombongan yang sangat terpancar.

"Anda semua tahu jika saya paling tidak suka dengan penjilat. Jadi diamlah." dan Valdie berjalan menjauh meninggalkan orang-orang yang membeku dan bingung apakah berhenti atau tetap mengikuti Valdie dan terus menjilat tanpa rasa malu.

Om Indra yang ada dibelakangnya tersenyum puas. Mata tuanya menangkap wajah-wajah koruptor itu memucat seperti mau digantung. Senang rasanya saat Valdie menghubunginya tadi pagi. Penantiannya berakhir.

Bayangan hari pensiun yang diisi dengan acara memancing sudah menari-nari dimatanya.
Saatnya putra mahkota itu mengambil alih apa yang memang menjadi kuasanya.
Bocah jenius berhati kejam yang lebih memilih bermain-main dengan kehidupannya.
Om Indra yang sedikit memberi jarak dibelakang memandang bangga pada punggung tegap Valdie.

Mampus para penjilat itu sekarang.

Valdie berhenti tepat didepan lift. Pria muda yang ditugaskan menjadi asistennya memencet tombol lift kelantai 3. Lantai khusus ruangan CEO perusahaan.

Saat suara dentingan lift terdengar, para penjilat yang ternyata lebih memilih mengabaikan rasa malunya, mencoba berdesakan agar dapat tempat mengekori Valdie.

"Rapat satu jam lagi. Lebih baik siapkan diri kalian daripada mengikutiku seperti anjing."

Dan pintu lift terbuka tepat saat Valdie selesai bicara. Pria itu masuk dan hanya mengizinkan asisten serta Om Indra bersamanya. Meninggalkan wajah-wajah ketakutan, tersinggung, sinis dari kumpulan manusia-manusia yang akan menerima hukuman matinya nanti.

Begitu pintu lift tertutup,Valdie menggeram dan mendengus jijik.

"Om Indra, Kau ini mati rasa atau apa?. Mampu bertahan bersama orang-orang gila itu. Semenit lagi disana, aku rasa aku akan muntah."

Om Indra terkekeh. "Mereka begitu karena itu kau, Valdie. Padaku mereka sama sekali tidak perduli dan merendahkanku. Berusaha menjatuhkanku dengan cara-cara kotor. Syukurlah Zaki selalu awas dan teliti."

Zaki, pria muda yang sekarang menjadi asisten Valdie mengangguk hormat atas perkataan Om Indra.

"Ruang rapat sudah disiapkan, Pak. Dan ini berkas-berkas penting yang Anda minta." Zaki menyerahkan map putih dengan isi berkas yang cukup tebal kepada Valdie.

Valdie mengambil map berkas itu dan membuka isinya. Mata tajamnya memindai seluruh informasi dan angka-angka yang berjejer rapi disana.

"Bagus. Tarik lagi data terbaru sekarang. "Valdie kembali menyerahkan berkas itu pada Zaki.

"Baik, Pak."

Om Indra tersenyum. "Sudah berkali-kali aku peringatkan, sekarang baru tau rasa mereka". Valdie membalas dengan seringai sinis.

Novel Unggulan

01_Janda Labil

Cup… “Aku duluan yah…” “Iyah…hati-hati. Jangan ngebut! Love you! ” Yuri melambaikan tangannya dan mengirim satu ciuman jauh sebagai ...